Selasa, 06 April 2021

 

Pelayanan Penyakit Jantung Anak

 Wira Dika Orizha Piliang ; Ketua Divisi Litbang GMNI Universitas Andalas

                                                         KOMPAS, 06 April 2021

 

 

                                                           

Istilah radikalisme berasal dari bahasa latin, yaitu radix atau radicis yang berarti akar. Dalam bahasa Inggris, kata radical dapat bermakna ekstrem, menyeluruh, fanatik, revolusioner, dan fundamental.

 

Dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya netral, bisa berarti positif ataupun negatif. Mitsuo Nakamura, seorang antropolog dalam tulisannya menjelaskan bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang berwatak tradisionalisme radikal.

 

Istilah radikal dipilih oleh Mitsuo Nakamura untuk menggambarkan bahwa Nahdlatul Ulama adalah organisasi yang otonom dan independen, dan bukan merupakan derivasi dari organisasi yang lain.

 

Secara definitif, radikalisme merupakan suatu sikap atau pemahaman yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan cara menodai nilai-nilai yang ada, sehingga sering kali berkaitan dengan gerakan ekstremis yang terimplementasikan melalui aksi-aksi terorisme.

 

Sederhananya, radikalisme adalah embrio dari lahirnya gerakan-gerakan terorisme yang berkembang hingga saat ini. Kejadian bom bunuh diri di Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan pada Minggu (28/3/2021) lalu, menambah catatan kelam aksi terorisme yang terjadi di Indonesia dan merupakan pekerjaan rumah yang berkelanjutan untuk diselesaikan oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia.

 

Lahan subur terorisme

 

Terorisme tidak hanya berbicara mengenai siapa pelaku, kelompok ataupun jaringannya. Lebih dari itu, terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang bisa menyerang kesadaran masyarakat.

 

Tumbuh suburnya paham radikal tergantung di mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit untuk menemukan tempat. Sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur, maka ia akan cepat berkembang.

 

Anomalinya adalah bahwa paham radikal itu seperti jamur, ia akan tumbuh di tempat lembap. Sebagai bangsa yang plural, bangsa kita tentu menjadi lahan subur bagi paham radikal untuk berkembang di dalamnya.

 

Islam dan stereotip radikalisme

 

Secara historis, sebenarnya istilah radikalisme diproduksi pertama kali oleh negara Barat. Akan tetapi, perilaku dan gejala kekerasan yang mengatasnamakan agama itu dapat ditemukan dalam sejarah dan tradisi umat Islam.

 

Fenomena radikalisme yang terdapat dalam masyarakat Islam, sebenarnya diyakini sebagai gejala penyakit keberagamaan yang muncul pada abad ke-20 di dunia islam, dan lahir di wilayah Timur Tengah. Hal tersebut terjadi sebagai hasil dari krisis identitas agama yang berujung pada resistensi dan reaksi terhadap negara-negara Barat yang kerap kali melebarkan modernisasi, kolonialisme dan imperialisme ke dunia masyarakat Islam.

 

Di Indonesia sebenarnya aksi terorisme bukanlah hal yang baru. Era Reformasi yang memberikan keterbukaan informasi dan kebebasan dalam mengekspresikan sesuatu, mengakibatkan paham radikalisme akan sangat mudah untuk berkembang, tanpa terkecuali dalam topeng religiositas sekalipun.

 

Indonesia sebagai negara yang bersifat heterogenitas secara kultural di dalamnya, akan menjadikan perkembangan paham radikalisme semakin diterima secara mentah oleh masyarakat di Indonesia. Ditambah lagi dengan tingkat pendidikan masyarakat yang rendah, menjadikan kesadaran akan bahaya dari paham radikalisme oleh masyarakat di Indonesia juga terbatas.

 

Radikalisme Islam di Indonesia muncul dan dipicu oleh persoalan domestik, di samping itu sebenarnya juga diakibatkan oleh konstelasi politik internasional yang dinilai telah memojokkan kehidupan sosial politik umat Islam.

 

Dalam konteks domestik, misalnya, berbagai kemelut telah melibatkan kelompok islam di Indonesia, mulai dari pembantaian kiai yang berkedok dukun santet di Poso tahun 1998, maupun juga tragedi yang terjadi di Ambon pada 1999.

 

Akan tetapi, meskipun telah memakan korban, kemelut tersebut tidak segera mendapat penanganan eksklusif dari pemerintah. Akibatnya, hal itu memunculkan inisiatif dari kelompok Islam tertentu di Indonesia untuk melakukan perlawanan.

 

Radikalisme dan agama

 

Merujuk pada konsep radikalisme yang kita pahami bersama, perlu digarisbawahi bahwa paham radikalisme tidak bisa untuk disandingkan pada kelompok masyarakat ataupun agama tertentu.

 

Radikalisme merupakan pemahaman yang tumbuh di dalam setiap individu, dalam menyikapi suatu hal dengan aksi-aksi yang ekstrem.

 

Radikalisme tak seharusnya terfokus pada umat Islam. Jika kita interpretasikan kembali konsep perlawanan yang kemudian melahirkan gerakan ekstremis, maka siapapun juga memiliki tindakan radikal masing-masing tanpa terbatas aliran kepercayaan apapun.

 

Pemahaman agama mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap sikap pemeluknya. Secara literal, Islam berarti pasrah kepada Tuhan dan kedamaian. Kedamaian dalam Islam mengacu pada kondisi batin yang ada pada setiap individu yang mengamalkan Islam, yakni seseorang yang berusaha memahami dan menjalankan kehendak Tuhan.

 

Namun perjalanan hidup seseorang tidak terlepas dengan permasalahan yang dihadapi. Hal ini berpengaruh terhadap pemahaman dan pengamalan agama, yang terkadang menarik dan mendorong seorang individu kepada tindakan ekstremisme karena menyangkut keyakinan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya. Pada hakikatnya, setiap agama tidaklah mengajarkan kekerasan dan cara-cara yang tidak manusiawi.

 

Pemahaman radikal muncul seiring dengan tekanan terhadap kelompok masyarakat, dan tidak terpaku hanya kepada golongan tertentu.

 

Cara-cara perlawanan ekstrem yang cenderung lahir dari adanya pemahaman radikal juga tak mencerminkan masyarakat Indonesia dalam hidup berbangsa dan bernegara yang menjunjung tinggi segala bentuk keberagaman yang ada.

 

Hal ini dibuktikan dengan slogan Bhinneka Tunggal Ika dalam menjunjung tinggi persatuan di atas keberagaman yang menghiasi warna persaudaraan di Indonesia.

 

Pada akhirnya, berangkat dari impian kehidupan damai dalam masyarakat yang multikultural di Indonesia, peran negara memang sangat diperlukan.

 

Karl Marx, seorang filsuf dari Jerman menyatakan bahwa negara merupakan satu organisasi kekuasaan yang mempertahankan dirinya terhadap organisasi yang lainnya. Artinya, negara dalam hal ini berkewajiban untuk ikut andil dalam perdamaian di wilayahnya, serta wajib untuk membentengi diri dari serangan paham-paham yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di wilayahnya.

 

Menumbuhkan kembali semangat Pancasila dalam koridor persatuan adalah mutlak dilakukan. ●

 

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Tulisan ini judulnya bukan pelayanan penyakit jantung anak pak. Btw, bapaknya kerja di Kompas, atau comot tulisan dari kompas saja ya, Pak?

    BalasHapus