Selasa, 13 April 2021

 

Kepemimpinan dalam Kearifan Masa Lalu

 Tri Agung Kristanto ; Wartawan Senior Kompas

                                                         KOMPAS, 12 April 2021

 

 

                                                           

“Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang.” (Ir Soekarno (1901-1970), Proklamator dan Presiden I Republik Indonesia)

 

Soekarno merupakan salah satu presiden di negeri ini yang mempunyai perhatian tinggi pada seni dan budaya, khususnya budaya Jawa, dan lebih khusus lagi wayang dan seni rupa. Namun, bukan berarti Soekarno mengabaikan seni-budaya daerah lain. Ia juga mengembangkan seni-budaya daerah yang lain di Nusantara pada masa pemerintahannya. Bahkan, dia berkesempatan terlibat langsung dalam pengembangan seni-budaya daerah, selain di Jawa, sebab pernah dibuang, seperti di Bengkulu dan Ende, Nusa Tenggara Timur.

 

Selama masa pemerintahan Presiden I Republik Indonesia (RI) itu, banyak sekali patung dan monumen yang didirikan, terutama di ibu kota Jakarta Raya, selain ribuan lukisan dari perupa ternama menjadi koleksi istana. Pada masa pemerintahan Soekarno, seni dan budaya amat diberikan perhatian untuk dikembangkan serta menjadi kekayaan dan kebanggaan bangsa. Bahkan didorong menjadi budaya bangsa Indonesia.

 

Dalam bukunya berjudul Menyingkap Tirai Sejarah: Bung Karno & Kemeja Arrow (Penerbit Buku Kompas, 2021), Sejarawan Asvi Marwan Adam menuliskan, ”Selain seorang negarawan, Soekarno adalah seniman besar. Ia menulis drama dan menyutradarainya selama diasingkan penjajah di Flores dan Bengkulu…. Soekarno juga pengagum seni lukis yang luar biasa. Ia memiliki pelukis istana, mulai dari Dullah sampai Lee Man-Fong dan Lim Wasim. Ketika wafat, ia meninggalkan 2.300 bingkai lukisan, mungkin ini koleksi lukisan seorang presiden yang terbanyak di dunia.”

 

Asvi melanjutkan, ”Bung Karno memikirkan pula ibu kota yang memiliki sarana yang berbudaya, seperti berbagai kota dunia lainnya. Itulah sebabnya, ia menginginkan sebuah patung di tengah kota yang mengisi ruang publik, tetapi juga melambangkan semangat penerimaan bagi setiap orang yang berkunjung ke ibu kota.”

 

Paparan ini menggambarkan, seni dan budaya bukan hanya berbentuk fisik, tetapi juga merupakan interaksi sosial antarwarga, nonfisik, dan dapat menyentuh kejiwaan warga, bukan hanya indera. Seorang pemimpin sudah seharusnya memikirkan dan menjadikan seni dan budaya sebagai bagian dari strategi mempersatukan bangsa, serta mendorong kebersamaan dan persatuan bangsa.

 

Memang saat itu internet dan teknologi informasi belum berkembang seperti sekarang ini sehingga perhatian kepada seni-budaya Nusantara sangatlah tinggi. Budaya mancanegara, seperti K-pop dan budaya ”instan”, belum masif memengaruhi kehidupan warga negara Indonesia, bahkan bisa masuk ke ruang-ruang pribadi. Bangsa Indonesia ketika itu hidup dengan budaya yang diwariskan oleh leluhur, sekaligus menggali dan mengakulturasikan seni dan budaya yang ada. Harus diakui, seni-budaya di negeri ini tak seluruhnya berasal dari negeri ini, melainkan hasil perpaduan dengan seni-budaya dari bangsa lain.

 

Wayang yang sangat diminati Soekarno juga merupakan hasil perpaduan dengan seni-budaya dari bangsa lain. Cerita Mahabarata atau Ramayana yang menjadi sumber utama ”lakon” wayang, khususnya wayang purwa: wayang kulit dan wayang orang, diyakini bersumber, setidak-tidaknya berkaitan dengan seni-budaya India (Hindu). Kecintaannya pada wayang itu digambarkan dalam berbagai buku, yang menunjukkan Soekarno menyaksikan pergelaran wayang kulit sejak ia berusia belia. Bahkan, Soekarno bisa nutug menonton wayang, semalaman suntuk.

 

Kecintaan Soekarno pada wayang juga dituliskan Cindy Adams dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Yayasan Bung Karno, 2007). Soekarno menceritakan, ”Pertunjukan wayang di dalam sel itu tidak hanya menyenangkan dan menghiburku. Dia juga menenangkan perasaan dan memberi kekuatan pada diriku. Bayangan-bayangan hitam di kepalaku menguap bagai kabut dan aku bisa tidur nyenyak dengan penegasan atas keyakinanku. Bahwa yang baik akan menang atas yang jahat.” Kecintaan pada wayang dan budaya juga memengaruhi gaya kepemimpinannya di negeri ini, dan arah kebijakan politik, termasuk saat membangun negeri ini.

 

Saat melahirkan Pancasila, hasil permenungannya di Ende, yang menjadi dasar dan falsafah bangsa ini, bahkan kepribadian bangsa ini, Soekarno diyakini terpengaruh budaya Jawa, karena nama yang dipilihnya adalah bahasa Jawa atau Sanskerta. Panca berarti ’lima’, dan sila berarti ’asas/prinsip’. Pancasila digali dari kearifan lokal yang menjadi ciri bangsa ini, yakni gotong royong dan saling pengertian-saling menghormati (toleransi). Bahkan, kelahiran Pancasila juga tidak bisa dipisahkan dari kecintaan Soekarno kepada wayang.

 

Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, dalam kajian gotak-gatik-gatuk menggambarkan hanya ada satu tuhan (dewa) yang paling berkuasa dalam pewayangan, yakni Sang Hyang Wenang (Yang Maha Kuasa), dan bukan dewa-dewa, seperti Bathara Guru, Bathara Narada, Bathara Ismaya, atau yang lain. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, menggambarkan suluk pembuka pergelaran wayang kulit, yakni tata titi tentrem kerta raharja.

 

Bahkan, Soekarno sering kali dipersonifikasikan seperti satria Pandawa, Arjuna atau Permadi, yang adalah lelananging jagad. Sebagai pria sejati, Soekarno selalu ingin mengayomi semua orang, semua warga negara Indonesia, meskipun sebagian di antaranya justru mengancam dan merugikannya. Sikap ini juga sering kali disalahartikan, hingga saat ini.

 

Trisakti dan pesan kearifan

 

Kebudayaan sebagai jalan menemukan makna kepribadian bangsa untuk kemajuan Indonesia menjadi tema yang diangkat Badan Penelitian Pusat (Balitpus) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dalam rangkaian peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-48 partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri. Tema ”Jalan Kebudayaan: Makna Kepribadian dalam Kebudayaan untuk Indonesia Maju” dibahas dalam sebuah diskusi secara dalam jaringan (daring), pekan lalu di Jakarta.

 

Rangkaian HUT Ke-48 PDI-P berlangsung sejak tahun lalu. Kelahiran PDI-P, yang adalah jawaban dari kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mengintervensi kepemimpinan PDI, dengan menolak Megawati yang terpilih sebagai ketua umum, sehingga meletuslah kerusuhan 27 Juli 1996, bermula dari perebutan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI di Jakarta Pusat.

 

PDI-P menjadi penerus dari sejarah PDI, yang dilahirkan pada 10 Januari 1973. Sesungguhnya PDI juga merupakan buah campur tangan pemerintahan Orde Baru, yang memaksakan lima partai politik peserta Pemilu 1971 untuk berfusi, melebur, sebagai bagian dari kebijakan penyederhanaan partai. Kelima partai itu adalah Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik.

 

Selain kelima partai itu, empat parpol yang berbasiskan keislaman juga dipaksa berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Keempat partai itu adalah Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang berfusi secara resmi pada 5 Januari 1973.

 

Jalan kebudayaan sebagai pembentuk karakter bangsa tidak bisa dipisahkan dengan ajaran Soekarno pula, yang disebut Trisakti. Dalam buku Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno (Penerbit Buku Kompas, 2014), yang ditulis Asvi bersama Bonnie Triyana, Hendri F Isnaini, dan MF Mukthi dituliskan, sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki tiga hal, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Pesan Soekarno itu disampaikan Maulwi, yang mendampingi Proklamator hingga akhir hayatnya. Hanya dengan mengetahui ilmu pengetahuan serta mengerti sejarah kebudayaan Indonesia, barulah konsep Trisakti itu dapat dipahami.

 

Pesan kearifan ajaran Trisakti itu juga dipaparkan Ketua Badan Kebudayaan Nasional PDI-P Aria Bima saat memimpin diskusi daring mengenai jalan kebudayaan. Menurut ia, selama ini ajaran Trisakti lebih banyak dibicarakan terkait kedaulatan dalam bidang politik dan kemandirian di bidang ekonomi. Berkepribadian di bidang kebudayaan acap kali terlupa. Padahal, tanpa pembentukan karakter yang berbasis kebudayaan, kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi menjadi tidak bermakna.

 

Selain Soekarno, kepemimpinan Presiden ke-2 RI Soeharto juga mendasarkan pada budaya, khususnya Jawa. Soeharto juga menyukai wayang dan mengembangkannya. Dalam berbagai kesempatan, Soeharto menjelaskan dasar kepemimpinannya yang mengacu pada ajaran Astabrata atau Hastabrata (delapan laku baik). Kedelapan laku baik seorang pemimpin itu mengacu pada sifat delapan dewa dalam pewayangan, yakni Indra yang melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran, Yama (keadilan), Surya (menghidupi, menyemangati), Baruna (lautan, berwawasan luas dan bijaksana), Chandra (rembulan, menerangi dan mengatasi kebodohan), Agni (api, nasionalisme), Maruta (angin, menyejukkan), dan Bumi (teguh dalam pendirian).

 

Soeharto seringkali pula menjelaskan makna ”Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Dha Ja Ya Nya, Ma Ga Ba Tha Nga”, filosofi dan kearifan dari rangkaian huruf Jawa. Manusia memiliki zat (citra) Tuhan yang tidak boleh disangkal. Hingga saat ini, selain Soekarno, kepemimpinan Soeharto masih terasa menyertai perjalanan negeri ini, bahkan mewarnai kepribadian bangsa ini. Harapannya, dapat  mendorong kemajuan Indonesia pula.

 

Presiden Joko Widodo juga terlihat menggunakan jalan kebudayaan, khususnya budaya Jawa, untuk mendorong kemajuan bangsa ini serta menyejahterakan rakyat melalui program kerja dan arah kebijakan, terutama pada periode pertama, yang dirumuskan dalam Nawacita. Rumusan itu pun menggunakan bahasa Jawa. Nawa berarti ’sembilan’, dan cita.

 

Kepemimpinan: wakil Tuhan

 

Dalam bukunya berjudul Falsafah Kepemimpinan Jawa: Butir-butir Nilai yang Membangun Karakter Pemimpin Menurut Budaya Jawa (Narasi, 2013), Suwardi Endraswara mengungkapkan, ”Pribadi adalah akar kejiwaan Jawa yang halus. Kepribadian Jawa sulit digoyahkan oleh apa pun. Maka ketika memegang kekuasaan, pribadi Jawa amat menentukan. Ketika pimpinan dijatuhkan pada berbagai pilihan hidup, memutuskan sesuatu, tentu kepribadian yang akan bermain.”

 

Pilihan sikap, langkah, pemikiran, dan kebijaksanaan yang diambil seorang pemimpin sangat menentukan kondisi bangsa ini, sebab masih kuatnya pola patron-klien dalam masyarakat Indonesia. Rakyat atau kawula sering kali mengamini dan mengikuti saja pilihan dan langkah pemimpinnya pada nyaris semua tingkatan di masyarakat. Di negeri ini, pemimpin masih menjadi acuan bagi warganya. Pemimpin adalah teladan.

 

Pergulatan keseharian seorang pemimpin dengan seni-budaya, seperti yang diperlihatkan Soekarno, Soeharto, atau pemimpin negeri ini yang lain, akan memengaruhi kepemimpinannya, menjadi jalan kebudayaan, jalan yang berbudaya, atau hanya asal jalan. Kebudayaan yang hidup dan menghidupi keseharian seseorang, termasuk pemimpin nasional atau pemimpin pada level apa pun, akan membentuk kepribadiannya. Dalam konsep kekuasaan Jawa: Mandala, pemimpin adalah ”pusat energi” yang menggerakkan sekitarnya, termasuk rakyat untuk menjadi apa pun, atau melakukan apa saja, termasuk untuk bergerak maju bersama.

 

Bahkan, pemimpin dalam konsep raja atau sultan di Jawa, dia adalah wakil Tuhan, sehingga ia yang harus menggerakkan kehidupan masyarakatnya. Hal ini tergambar dalam gelar seorang raja atau sultan di Jawa, yang adalah Senopati ing Ngalaga, Ngabdurahman, Sayidin Panata Gama, Kalifatullah ingkang Kaping… ing Tanah Jawa. Kepribadian dan karakter pemimpin harus mampu menjadi panglima di medan perang: turun dan bekerja bersama rakyat secara langsung, orang baik, penata agama (semua), dan wakil Allah. Oleh sebab itu, tidaklah mudah dan ringan menjadi seorang pemimpin, dalam segala tingkatan.

 

Ciri seorang pemimpin, yang bisa menyebarkan karakter baik untuk bangsanya dan bergerak maju, adalah yang bisa ngemong atau mengayomi. Bahkan, ia bisa menyatu, bersinergi baik dengan rakyat atau orang yang dipimpinnya, seperti pesan kearifan manunggaling kawula-gusti (menyatu rakyat dengan pemimpinnya). Warga disebutkan duluan, bukan manunggaling gusti-kawula, karena seorang pemimpin memang harus menanggalkan ego pribadi dan lebih mengutamakan kepentingan orang lain, orang yang dipimpinnya. Rakyat, dalam konteks kepemimpinan nasional.

 

Namun, dalam banyak kasus, seperti diingatkan dalam berbagai paparan mengenai falsafah kekuasaan dan kebudayaan Jawa, seorang pemimpin sering kali terpeleset, tidak berhasil memimpin dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena tidak mampu mengendalikan nafsunya. Ada sembilan lubang nafsu (babagan hawa sanga) yang harus dikendalikan, bahkan ditutup oleh seorang pemimpin. Babagan hawa sanga bukan diartikan sebagai sembilan lubang dari panca indera semata, tetapi diartikan lima ”nafsu” panca indera, ditambah dengan nafsu kekuasaan, kekayaan, seksualitas, dan popularitas pula. Sering kali seorang pemimpin tergelincir dalam nafsu itu bukan hanya tidak bisa membawa warganya bergerak maju dan berkembang, tetapi memunculkan kegaduhan dan konflik di masyarakat. Lahirkan perpecahan.

 

Untuk bisa mendorong bangsanya maju dan berkembang, berkepribadian, dan berkarakter, seorang pemimpin sejalan dengan ajaran Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, yang dikenalkan oleh pendiri Perguruan Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara. Bapak Pendidikan Nasional itu mengembangkan buah permenungan tokoh Tamansiswa asal Magelang, Jawa Tengah, Ki Cokrodirdjo, tahun 1922. Ajaran Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa dipraktikkan di lingkungan Pendidikan Tamansiswa yang dikenal dengan sistem among. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga belum mengartikan kata among. Namun, makna kata momong, ngemong, dan among adalah sebuah kesatuan.

 

Among mengarah pada figur. Sosok yang bisa menjadi teladan: satunya kata dan perbuatan. Ngemong bersifat kata kerja, tindakan. Momong bisa menjadi kata benda, tetapi juga kata kerja. Momong, ngemong, dan among tak bisa dipisahkan. Agar bisa ngemong, seseorang pemimpin harus bisa momong mereka yang dipimpinnya dan bisa menjadi among. Pemimpin harus berusaha berada dan bersama dengan mereka yang dipimpinnya.

 

Seorang pemimpin adalah teladan saat berada di depan warganya. Pemimpin saat di tengah orang yang dipimpinnya harus bisa membangun harapan dan inisiatif (karsa). Saat berada di belakang pun pemimpin dapat mendukung aspirasi dan kehendak mereka yang dipimpinnya. Konsep Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa itu bisa diterapkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, organisasi, berbangsa, bernegara, dan global.

 

Inilah jalan kebudayaan yang perlu terus diingatkan kembali, dan dilaksanakan, jika bangsa ini ingin bergerak maju. Pemimpin di segala tingkatanlah yang harus memimpin perjuangan dan pergerakan ke masa depan itu. Tak perlu mencari lagi jalan kebudayaan seperti apa yang mesti kita tempuh, para pendiri negeri ini dan kearifan dari masa lalu sudah memberikan jalan dan gambaran yang sangat jelas.

 

Bahkan, pesan, teladan kepemimpinan, dan kearifan dari masa lalu, seperti diingatkan Bung Karno, masih relevan dengan hari ini. Bukan hanya menjadi cermin, kaca benggala, tetapi bahkan relevan dengan peristiwa politik nasional yang baru lalu. Pemilu 2019, yang diwarnai dengan warga yang terbelah, seperti saat Pemilu 2014 dan Pemilu Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017. Konflik di masyarakat menajam, bahkan terasa sampai saat ini. Padahal, mereka yang bertarung dalam pemilu kini sudah berada dalam perahu yang sama.

 

Seperti dituliskan budayawan GP Sindhunata dalam bukunya yang mengadopsi cerita dalam pewayangan, Ramayana, Anak Bajang Menggiring Angin (Gramedia Pustaka Utama, 2018), tertulis, ”Anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini telah kehilangan ayah-ayah mereka, yang mati dalam peperangan. Tapi tiada kesedihan pada mereka. Tiada dendam dan permusuhan di antara mereka. Dan, tiada peduli mereka akan api yang menjilat-jilat kejam Dewi Sinta. Hanya sukacita ada dalam diri mereka.... Rukun dan damailah hati anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini. Dan, mereka tidak berpikir apa-apa, kecuali bergembira. Kegembiraan mereka seakan mengejek kisah dan riwayat yang dialami orangtua mereka, ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan kesia-siaan belaka.”

 

Bangsa ini akan maju pesat jika pemimpin dan rakyatnya hidup dalam jalan kebudayaan dengan melihat kembali kearifan masa lalu: gotong royong, harmoni, saling menghargai dan menghormati, serta bertoleransi. Seperti diingatkan pujangga Mpu Tantular (abad ke-14) dalam kitabnya, Kakawin Sutasoma, yaitu bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, berbeda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang rancu. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar