Kepemimpinan
dalam Kearifan Masa Lalu Tri Agung Kristanto ; Wartawan
Senior Kompas |
KOMPAS,
12 April
2021
“Janganlah
melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna
sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang.” (Ir Soekarno (1901-1970), Proklamator dan
Presiden I Republik Indonesia) Soekarno merupakan salah satu presiden di
negeri ini yang mempunyai perhatian tinggi pada seni dan budaya, khususnya budaya
Jawa, dan lebih khusus lagi wayang dan seni rupa. Namun, bukan berarti
Soekarno mengabaikan seni-budaya daerah lain. Ia juga mengembangkan
seni-budaya daerah yang lain di Nusantara pada masa pemerintahannya. Bahkan,
dia berkesempatan terlibat langsung dalam pengembangan seni-budaya daerah,
selain di Jawa, sebab pernah dibuang, seperti di Bengkulu dan Ende, Nusa
Tenggara Timur. Selama masa pemerintahan Presiden I
Republik Indonesia (RI) itu, banyak sekali patung dan monumen yang didirikan,
terutama di ibu kota Jakarta Raya, selain ribuan lukisan dari perupa ternama
menjadi koleksi istana. Pada masa pemerintahan Soekarno, seni dan budaya amat
diberikan perhatian untuk dikembangkan serta menjadi kekayaan dan kebanggaan
bangsa. Bahkan didorong menjadi budaya bangsa Indonesia. Dalam bukunya berjudul Menyingkap Tirai
Sejarah: Bung Karno & Kemeja Arrow (Penerbit Buku Kompas, 2021),
Sejarawan Asvi Marwan Adam menuliskan, ”Selain seorang negarawan, Soekarno
adalah seniman besar. Ia menulis drama dan menyutradarainya selama diasingkan
penjajah di Flores dan Bengkulu…. Soekarno juga pengagum seni lukis yang luar
biasa. Ia memiliki pelukis istana, mulai dari Dullah sampai Lee Man-Fong dan
Lim Wasim. Ketika wafat, ia meninggalkan 2.300 bingkai lukisan, mungkin ini koleksi
lukisan seorang presiden yang terbanyak di dunia.” Asvi melanjutkan, ”Bung Karno memikirkan
pula ibu kota yang memiliki sarana yang berbudaya, seperti berbagai kota
dunia lainnya. Itulah sebabnya, ia menginginkan sebuah patung di tengah kota
yang mengisi ruang publik, tetapi juga melambangkan semangat penerimaan bagi
setiap orang yang berkunjung ke ibu kota.” Paparan ini menggambarkan, seni dan budaya
bukan hanya berbentuk fisik, tetapi juga merupakan interaksi sosial
antarwarga, nonfisik, dan dapat menyentuh kejiwaan warga, bukan hanya indera.
Seorang pemimpin sudah seharusnya memikirkan dan menjadikan seni dan budaya
sebagai bagian dari strategi mempersatukan bangsa, serta mendorong
kebersamaan dan persatuan bangsa. Memang saat itu internet dan teknologi
informasi belum berkembang seperti sekarang ini sehingga perhatian kepada
seni-budaya Nusantara sangatlah tinggi. Budaya mancanegara, seperti K-pop dan
budaya ”instan”, belum masif memengaruhi kehidupan warga negara Indonesia,
bahkan bisa masuk ke ruang-ruang pribadi. Bangsa Indonesia ketika itu hidup
dengan budaya yang diwariskan oleh leluhur, sekaligus menggali dan
mengakulturasikan seni dan budaya yang ada. Harus diakui, seni-budaya di
negeri ini tak seluruhnya berasal dari negeri ini, melainkan hasil perpaduan
dengan seni-budaya dari bangsa lain. Wayang yang sangat diminati Soekarno juga
merupakan hasil perpaduan dengan seni-budaya dari bangsa lain. Cerita
Mahabarata atau Ramayana yang menjadi sumber utama ”lakon” wayang, khususnya
wayang purwa: wayang kulit dan wayang orang, diyakini bersumber,
setidak-tidaknya berkaitan dengan seni-budaya India (Hindu). Kecintaannya
pada wayang itu digambarkan dalam berbagai buku, yang menunjukkan Soekarno
menyaksikan pergelaran wayang kulit sejak ia berusia belia. Bahkan, Soekarno
bisa nutug menonton wayang, semalaman suntuk. Kecintaan Soekarno pada wayang juga
dituliskan Cindy Adams dalam buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat
Indonesia (Yayasan Bung Karno, 2007). Soekarno menceritakan, ”Pertunjukan
wayang di dalam sel itu tidak hanya menyenangkan dan menghiburku. Dia juga
menenangkan perasaan dan memberi kekuatan pada diriku. Bayangan-bayangan
hitam di kepalaku menguap bagai kabut dan aku bisa tidur nyenyak dengan
penegasan atas keyakinanku. Bahwa yang baik akan menang atas yang jahat.”
Kecintaan pada wayang dan budaya juga memengaruhi gaya kepemimpinannya di
negeri ini, dan arah kebijakan politik, termasuk saat membangun negeri ini. Saat melahirkan Pancasila, hasil
permenungannya di Ende, yang menjadi dasar dan falsafah bangsa ini, bahkan
kepribadian bangsa ini, Soekarno diyakini terpengaruh budaya Jawa, karena
nama yang dipilihnya adalah bahasa Jawa atau Sanskerta. Panca berarti ’lima’,
dan sila berarti ’asas/prinsip’. Pancasila digali dari kearifan lokal yang
menjadi ciri bangsa ini, yakni gotong royong dan saling pengertian-saling
menghormati (toleransi). Bahkan, kelahiran Pancasila juga tidak bisa
dipisahkan dari kecintaan Soekarno kepada wayang. Sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa,
dalam kajian gotak-gatik-gatuk menggambarkan hanya ada satu tuhan (dewa) yang
paling berkuasa dalam pewayangan, yakni Sang Hyang Wenang (Yang Maha Kuasa),
dan bukan dewa-dewa, seperti Bathara Guru, Bathara Narada, Bathara Ismaya,
atau yang lain. Sila kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia,
menggambarkan suluk pembuka pergelaran wayang kulit, yakni tata titi tentrem
kerta raharja. Bahkan, Soekarno sering kali
dipersonifikasikan seperti satria Pandawa, Arjuna atau Permadi, yang adalah
lelananging jagad. Sebagai pria sejati, Soekarno selalu ingin mengayomi semua
orang, semua warga negara Indonesia, meskipun sebagian di antaranya justru
mengancam dan merugikannya. Sikap ini juga sering kali disalahartikan, hingga
saat ini. Trisakti
dan pesan kearifan Kebudayaan sebagai jalan menemukan makna
kepribadian bangsa untuk kemajuan Indonesia menjadi tema yang diangkat Badan
Penelitian Pusat (Balitpus) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)
dalam rangkaian peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-48 partai yang dipimpin
Megawati Soekarnoputri. Tema ”Jalan Kebudayaan: Makna Kepribadian dalam
Kebudayaan untuk Indonesia Maju” dibahas dalam sebuah diskusi secara dalam
jaringan (daring), pekan lalu di Jakarta. Rangkaian HUT Ke-48 PDI-P berlangsung sejak
tahun lalu. Kelahiran PDI-P, yang adalah jawaban dari kebijakan pemerintahan
Orde Baru yang mengintervensi kepemimpinan PDI, dengan menolak Megawati yang
terpilih sebagai ketua umum, sehingga meletuslah kerusuhan 27 Juli 1996,
bermula dari perebutan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI di Jakarta
Pusat. PDI-P menjadi penerus dari sejarah PDI,
yang dilahirkan pada 10 Januari 1973. Sesungguhnya PDI juga merupakan buah
campur tangan pemerintahan Orde Baru, yang memaksakan lima partai politik
peserta Pemilu 1971 untuk berfusi, melebur, sebagai bagian dari kebijakan
penyederhanaan partai. Kelima partai itu adalah Partai Nasional Indonesia
(PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik. Selain kelima partai itu, empat parpol yang
berbasiskan keislaman juga dipaksa berfusi menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Keempat partai itu adalah Partai Nahdlatul Ulama (NU),
Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti),
dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang berfusi secara resmi pada 5
Januari 1973. Jalan kebudayaan sebagai pembentuk karakter
bangsa tidak bisa dipisahkan dengan ajaran Soekarno pula, yang disebut
Trisakti. Dalam buku Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno (Penerbit Buku
Kompas, 2014), yang ditulis Asvi bersama Bonnie Triyana, Hendri F Isnaini,
dan MF Mukthi dituliskan, sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan
mutlak memiliki tiga hal, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari
(berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di
bidang kebudayaan. Pesan Soekarno itu disampaikan Maulwi, yang mendampingi
Proklamator hingga akhir hayatnya. Hanya dengan mengetahui ilmu pengetahuan
serta mengerti sejarah kebudayaan Indonesia, barulah konsep Trisakti itu
dapat dipahami. Pesan kearifan ajaran Trisakti itu juga
dipaparkan Ketua Badan Kebudayaan Nasional PDI-P Aria Bima saat memimpin
diskusi daring mengenai jalan kebudayaan. Menurut ia, selama ini ajaran Trisakti
lebih banyak dibicarakan terkait kedaulatan dalam bidang politik dan
kemandirian di bidang ekonomi. Berkepribadian di bidang kebudayaan acap kali
terlupa. Padahal, tanpa pembentukan karakter yang berbasis kebudayaan,
kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi menjadi tidak bermakna. Selain Soekarno, kepemimpinan Presiden ke-2
RI Soeharto juga mendasarkan pada budaya, khususnya Jawa. Soeharto juga
menyukai wayang dan mengembangkannya. Dalam berbagai kesempatan, Soeharto
menjelaskan dasar kepemimpinannya yang mengacu pada ajaran Astabrata atau
Hastabrata (delapan laku baik). Kedelapan laku baik seorang pemimpin itu
mengacu pada sifat delapan dewa dalam pewayangan, yakni Indra yang
melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran, Yama (keadilan), Surya (menghidupi,
menyemangati), Baruna (lautan, berwawasan luas dan bijaksana), Chandra
(rembulan, menerangi dan mengatasi kebodohan), Agni (api, nasionalisme),
Maruta (angin, menyejukkan), dan Bumi (teguh dalam pendirian). Soeharto seringkali pula menjelaskan makna
”Ha Na Ca Ra Ka, Da Ta Sa Wa La, Pa Dha Ja Ya Nya, Ma Ga Ba Tha Nga”,
filosofi dan kearifan dari rangkaian huruf Jawa. Manusia memiliki zat (citra)
Tuhan yang tidak boleh disangkal. Hingga saat ini, selain Soekarno,
kepemimpinan Soeharto masih terasa menyertai perjalanan negeri ini, bahkan
mewarnai kepribadian bangsa ini. Harapannya, dapat mendorong kemajuan Indonesia pula. Presiden Joko Widodo juga terlihat
menggunakan jalan kebudayaan, khususnya budaya Jawa, untuk mendorong kemajuan
bangsa ini serta menyejahterakan rakyat melalui program kerja dan arah
kebijakan, terutama pada periode pertama, yang dirumuskan dalam Nawacita.
Rumusan itu pun menggunakan bahasa Jawa. Nawa berarti ’sembilan’, dan cita. Kepemimpinan:
wakil Tuhan Dalam bukunya berjudul Falsafah
Kepemimpinan Jawa: Butir-butir Nilai yang Membangun Karakter Pemimpin Menurut
Budaya Jawa (Narasi, 2013), Suwardi Endraswara mengungkapkan, ”Pribadi adalah
akar kejiwaan Jawa yang halus. Kepribadian Jawa sulit digoyahkan oleh apa
pun. Maka ketika memegang kekuasaan, pribadi Jawa amat menentukan. Ketika
pimpinan dijatuhkan pada berbagai pilihan hidup, memutuskan sesuatu, tentu
kepribadian yang akan bermain.” Pilihan sikap, langkah, pemikiran, dan
kebijaksanaan yang diambil seorang pemimpin sangat menentukan kondisi bangsa
ini, sebab masih kuatnya pola patron-klien dalam masyarakat Indonesia. Rakyat
atau kawula sering kali mengamini dan mengikuti saja pilihan dan langkah
pemimpinnya pada nyaris semua tingkatan di masyarakat. Di negeri ini,
pemimpin masih menjadi acuan bagi warganya. Pemimpin adalah teladan. Pergulatan keseharian seorang pemimpin
dengan seni-budaya, seperti yang diperlihatkan Soekarno, Soeharto, atau
pemimpin negeri ini yang lain, akan memengaruhi kepemimpinannya, menjadi
jalan kebudayaan, jalan yang berbudaya, atau hanya asal jalan. Kebudayaan
yang hidup dan menghidupi keseharian seseorang, termasuk pemimpin nasional
atau pemimpin pada level apa pun, akan membentuk kepribadiannya. Dalam konsep
kekuasaan Jawa: Mandala, pemimpin adalah ”pusat energi” yang menggerakkan
sekitarnya, termasuk rakyat untuk menjadi apa pun, atau melakukan apa saja,
termasuk untuk bergerak maju bersama. Bahkan, pemimpin dalam konsep raja atau
sultan di Jawa, dia adalah wakil Tuhan, sehingga ia yang harus menggerakkan
kehidupan masyarakatnya. Hal ini tergambar dalam gelar seorang raja atau
sultan di Jawa, yang adalah Senopati ing Ngalaga, Ngabdurahman, Sayidin
Panata Gama, Kalifatullah ingkang Kaping… ing Tanah Jawa. Kepribadian dan
karakter pemimpin harus mampu menjadi panglima di medan perang: turun dan
bekerja bersama rakyat secara langsung, orang baik, penata agama (semua), dan
wakil Allah. Oleh sebab itu, tidaklah mudah dan ringan menjadi seorang
pemimpin, dalam segala tingkatan. Ciri seorang pemimpin, yang bisa
menyebarkan karakter baik untuk bangsanya dan bergerak maju, adalah yang bisa
ngemong atau mengayomi. Bahkan, ia bisa menyatu, bersinergi baik dengan
rakyat atau orang yang dipimpinnya, seperti pesan kearifan manunggaling
kawula-gusti (menyatu rakyat dengan pemimpinnya). Warga disebutkan duluan,
bukan manunggaling gusti-kawula, karena seorang pemimpin memang harus
menanggalkan ego pribadi dan lebih mengutamakan kepentingan orang lain, orang
yang dipimpinnya. Rakyat, dalam konteks kepemimpinan nasional. Namun, dalam banyak kasus, seperti
diingatkan dalam berbagai paparan mengenai falsafah kekuasaan dan kebudayaan
Jawa, seorang pemimpin sering kali terpeleset, tidak berhasil memimpin dan
mewujudkan kesejahteraan rakyat, karena tidak mampu mengendalikan nafsunya.
Ada sembilan lubang nafsu (babagan hawa sanga) yang harus dikendalikan,
bahkan ditutup oleh seorang pemimpin. Babagan hawa sanga bukan diartikan
sebagai sembilan lubang dari panca indera semata, tetapi diartikan lima
”nafsu” panca indera, ditambah dengan nafsu kekuasaan, kekayaan, seksualitas,
dan popularitas pula. Sering kali seorang pemimpin tergelincir dalam nafsu
itu bukan hanya tidak bisa membawa warganya bergerak maju dan berkembang,
tetapi memunculkan kegaduhan dan konflik di masyarakat. Lahirkan perpecahan. Untuk bisa mendorong bangsanya maju dan
berkembang, berkepribadian, dan berkarakter, seorang pemimpin sejalan dengan
ajaran Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa: ing ngarsa sung tuladha, ing
madya mangun karsa, tut wuri handayani, yang dikenalkan oleh pendiri
Perguruan Tamansiswa, Ki Hadjar Dewantara. Bapak Pendidikan Nasional itu
mengembangkan buah permenungan tokoh Tamansiswa asal Magelang, Jawa Tengah,
Ki Cokrodirdjo, tahun 1922. Ajaran Trilogi Kepemimpinan dalam budaya Jawa
dipraktikkan di lingkungan Pendidikan Tamansiswa yang dikenal dengan sistem
among. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga belum mengartikan kata among.
Namun, makna kata momong, ngemong, dan among adalah sebuah kesatuan. Among mengarah pada figur. Sosok yang bisa
menjadi teladan: satunya kata dan perbuatan. Ngemong bersifat kata kerja,
tindakan. Momong bisa menjadi kata benda, tetapi juga kata kerja. Momong,
ngemong, dan among tak bisa dipisahkan. Agar bisa ngemong, seseorang pemimpin
harus bisa momong mereka yang dipimpinnya dan bisa menjadi among. Pemimpin
harus berusaha berada dan bersama dengan mereka yang dipimpinnya. Seorang pemimpin adalah teladan saat berada
di depan warganya. Pemimpin saat di tengah orang yang dipimpinnya harus bisa
membangun harapan dan inisiatif (karsa). Saat berada di belakang pun pemimpin
dapat mendukung aspirasi dan kehendak mereka yang dipimpinnya. Konsep Trilogi
Kepemimpinan dalam budaya Jawa itu bisa diterapkan dalam kehidupan pribadi,
keluarga, organisasi, berbangsa, bernegara, dan global. Inilah jalan kebudayaan yang perlu terus
diingatkan kembali, dan dilaksanakan, jika bangsa ini ingin bergerak maju.
Pemimpin di segala tingkatanlah yang harus memimpin perjuangan dan pergerakan
ke masa depan itu. Tak perlu mencari lagi jalan kebudayaan seperti apa yang
mesti kita tempuh, para pendiri negeri ini dan kearifan dari masa lalu sudah
memberikan jalan dan gambaran yang sangat jelas. Bahkan, pesan, teladan kepemimpinan, dan
kearifan dari masa lalu, seperti diingatkan Bung Karno, masih relevan dengan
hari ini. Bukan hanya menjadi cermin, kaca benggala, tetapi bahkan relevan
dengan peristiwa politik nasional yang baru lalu. Pemilu 2019, yang diwarnai
dengan warga yang terbelah, seperti saat Pemilu 2014 dan Pemilu Kepala Daerah
DKI Jakarta tahun 2017. Konflik di masyarakat menajam, bahkan terasa sampai
saat ini. Padahal, mereka yang bertarung dalam pemilu kini sudah berada dalam
perahu yang sama. Seperti dituliskan budayawan GP Sindhunata
dalam bukunya yang mengadopsi cerita dalam pewayangan, Ramayana, Anak Bajang
Menggiring Angin (Gramedia Pustaka Utama, 2018), tertulis, ”Anak-anak kera
dan anak-anak raksasa ini telah kehilangan ayah-ayah mereka, yang mati dalam
peperangan. Tapi tiada kesedihan pada mereka. Tiada dendam dan permusuhan di
antara mereka. Dan, tiada peduli mereka akan api yang menjilat-jilat kejam
Dewi Sinta. Hanya sukacita ada dalam diri mereka.... Rukun dan damailah hati
anak-anak kera dan anak-anak raksasa ini. Dan, mereka tidak berpikir apa-apa,
kecuali bergembira. Kegembiraan mereka seakan mengejek kisah dan riwayat yang
dialami orangtua mereka, ternyata hanyalah mimpi yang berakhir dengan
kesia-siaan belaka.” Bangsa ini akan maju pesat jika pemimpin
dan rakyatnya hidup dalam jalan kebudayaan dengan melihat kembali kearifan
masa lalu: gotong royong, harmoni, saling menghargai dan menghormati, serta
bertoleransi. Seperti diingatkan pujangga Mpu Tantular (abad ke-14) dalam
kitabnya, Kakawin Sutasoma, yaitu bhinneka tunggal ika, tan hana dharma
mangrwa, berbeda tetapi tetap satu, tidak ada kebenaran yang rancu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar