Mengikis
Sumbatan Sektor Riil
Enny Sri Hartati ; Direktur Eksekutif Institute for
Development of Economics and
Finance (InDEF)
|
KOMPAS,
03 April
2018
Penyaluran kredit
perbankan selama 2017 relatif rendah, hanya tumbuh 8,24 persen dalam setahun.
Bahkan, pada Januari 2018, kredit hanya tumbuh 7,4 persen dibandingkan dengan
periode yang sama di 2017. Per akhir Februari 2018, penyaluran kredit kembali
tumbuh 8,22 persen dalam setahun.
Namun, angka itu masih di
bawah target Bank Indonesia, yakni tumbuh dua angka, sebagaimana tradisi
sebelum 2014. Pada Januari 2018, kredit yang belum ditarik mencapai 32 persen
dari total kredit atau sekitar Rp 1.467 triliun, naik 5,39 persen dalam setahun.
Banyak pihak mempersoalkan
suku bunga kredit yang tinggi, sebagai penyebab pertumbuhan kredit perbankan
yang anjlok. Pada Februari 2018, rata-rata suku bunga kredit perbankan masih
11,27 persen. Padahal, suku bunga deposito berjangka waktu 1 bulan dan 3
bulan sudah turun menjadi 5,65 persen dan 5,97 persen.
Sejak 2016, suku bunga
deposito sudah turun 205 basis poin (bps), tetapi suku bunga kredit baru
turun 140 bps. Kekakuan penurunan suku bunga kredit karena keuntungan
perbankan masih sangat bergantung dari pendapatan bunga. Akibatnya, selisih
suku bunga (net interest margin/NIM) sangat tinggi. Jadi, meskipun kredit
seret, laba industri perbankan pada 2017 masih mencapai Rp 131,1 triliun atau
tumbuh 23 persen dalam setahun.
Perbankan tentu dapat berdalih
bahwa NIM yang tinggi bukan untuk mempertahankan keuntungan semata, melainkan
juga harus memasukkan mitigasi risiko kredit. Artinya, bank juga harus
mengantisipasi kredit bermasalah (non performing loan/NPL) gros yang mencapai
Rp 134 triliun atau naik 2,88 persen pada akhir Februari 2018. Penyumbang NPL
paling tinggi adalah sektor industri pertambangan. Sebab, harga komoditas
batubara, minyak, dan gas sempat jatuh sehingga kinerja ekspor jeblok.
Secara umum, kredit untuk
sektor industri pengolahan pada 2017 termasuk berisiko tinggi. NPL pada
sektor industri mencapai 3,3 persen. Di sisi lain, penyumbang keuntungan
terbesar adalah sektor perdagangan. Wajar jika bank enggan menyalurkan kredit
ke sektor riil serta sangat selektif dan berhati-hati menyalurkan kredit ke
sektor industri. Padahal, sektor industri memiliki permintaan kredit yang
sangat tinggi sekaligus memiliki daya ungkit atau dampak berganda yang luas
dalam menggerakkan perekonomian.
Sumber
persoalan
Anomali tersebut tentu
tidak dapat diselesaikan hanya dengan menyindir para bankir. Para bankir
memang harus didorong untuk tidak ”malas”, berani mengambil risiko dan
bekerja secara efisien, merupakan keniscayaan. Namun, hal yang lebih esensial
tentu menyelesaikan sumber persoalan yang ada di sektor riil.
Tekanan berbagai biaya
tinggi di sektor ekonomi masih menjadi masalah klasik. Inefisiensi mulai dari
pasokan bahan baku yang sangat tergantung impor, biaya energi yang semakin
tidak kompetitif, sampai dengan biaya logistik yang tinggi.
Dengan beban ekonomi biaya
tinggi tersebut, tentu sulit berharap produk sektor industri mampu menembus
pasar ekspor. Sementara, pasar domestik dihadapkan pada kondisi pelemahan
daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga stagnan hanya tumbuh di bawah 5
persen. Di tengah keterbatasan daya beli, tentu tidak bisa menyalahkan
masyarakat yang lebih gandrung kepada produk impor yang murah. Apalagi,
kebijakan perdagangan telanjur liberal sehingga sulit melindungi ketahanan
industri dalam negeri. Dengan demikian, rangkaian tekanan pada sektor riil
yang berujung pada tingginya NPL sektor industri menjadi sempurna.
Oleh karena itu, untuk
agar penyaluran kredit tumbuh dua angka sesuai target, harus ada upaya serius
untuk relaksasi, fasilitasi, dan insentif mendorong sektor industri.
Langkah-langkah ini terutama menopang sektor industri yang ada agar tidak
dibiarkan kolaps atau hengkang ke luar negeri. Artinya, paket ekonomi dan
program stimulus fiskal mestinya tidak hanya berorientasi pada investor baru.
Sebab, kinerja investasi yang sudah ada di dalam negeri akan menjadi
referensi dan faktor determinan utama masuknya investor baru.
Secara kalkulasi
makroekonomi, jika pertumbuhan ekonomi masih stagnan di kisaran 5 persen,
para investor masih akan menunda investasi mereka. Penanaman modal langsung
(PMA) baru akan mengalir deras jika perekonomian Indonesia mampu tumbuh di
atas 5,4 persen. Pasalnya, negara dengan ukuran kapasitas ekonomi serupa
Indonesia, misalnya China dan India, tumbuh di atas 6 persen. Demikian juga
kompetitor Indonesia di kawasan ASEAN, yakni Vietnam, perekonomiannya tumbuh
di atas 7 persen dan Malaysia di atas 6 persen. Padahal, PMA diharapkan
memiliki daya tarik yang mendorong pertumbuhan investasi pada sektor riil di
dalam negeri.
Di sisi lain, sekalipun pertumbuhan
kredit masih relatif terbatas, pembiayaan pasar modal pada 2017 terus
meningkat. Realisasi pembiayaan dari pasar modal mencapai Rp 257 triliun atau
tumbuh sekitar 30 persen. Banyak korporasi memanfaatkan peluang memperoleh
dana murah dari pasar modal dibandingkan dengan meminjam dana melalui
perbankan. Upaya itu antara lain melalui penerbitan saham perdana dan
penerbitan obligasi korporasi.
Beberapa BUMN menerbitkan
surat utang, di antaranya BUMN Karya yang bergerak di sektor infrastruktur.
Bahkan, tak jarang dalam tenor jangka pendek. Namun, peningkatan pembiayaan
dari pasar modal tentu belum mampu mengonversi besarnya penurunan pembiayaan
kredit dari perbankan.
Dinamika alternatif
pembiayaan tersebut tentu akan konstruktif terhadap kinerja perbankan.
Nantinya, tidak ada pilihan lain, perbankan dituntut harus lebih efisien.
Membuat organ kelembagaan yang ramping, bukan justru membuat semakin tambun
dengan menambah jajaran direksi baru. Harapannya, sektor pembiayaan mampu
berkontribusi optimal meningkatkan peran pendalaman sektor keuangan dalam
mengakselerasi perekonomian. Tidak hanya sekadar meningkatkan pertumbuhan
kredit perbankan, tetapi juga mendorong transformasi struktural secara
konkret. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar