Kamis, 05 April 2018

KUHP yang Tak Kunjung Selesai

KUHP yang Tak Kunjung Selesai
Andi Hamzah  ;   Widyaswara;  Mantan Jaksa
                                                         KOMPAS, 04 April 2018



                                                           
Tiga puluh empat tahun lalu, tepatnya 1983, saya diajak Ketua Tim RUU KUHP Prof Sudarto menjadi anggota tim. Anggota lain, antara lain Prof Roeslan Saleh, Prof Mardjono Reksodiputro. Setelah dibahas maraton sembilan tahun, diserahkanlah hasilnya ke Menteri Kehakiman Ismail Saleh tahun 1992. Sebelum sempat dilimpahkan ke DPR, Ismail Saleh diganti Oetomo Oesman. Menteri meminta lagi pakar hukum pidana generasi kedua, murid dari Sudarto dan Roeslan Saleh, mengutak-atik RUU tersebut.

Waktu Muladi menjabat menteri, diminta lagi Prof Barda dari Universitas Diponegoro, murid Sudarto, mengutak-atik, dan banyak sekali perubahan. Semula, yang diserahkan Mardjono Reksodiputro—sebagai ketua tim sesudah Sudarto dan Roeslan Saleh—hanya 500 pasal lebih, hampir sama dengan KUHP saat ini. Terakhir saya lihat yang ada di DPR 700 pasal lebih, nantinya jadi KUHP paling tebal di dunia.

Menjadi masalah, sehingga banyak sanggahan dari segala pihak,  ialah kurang diperhatikannya hal-hal berikut. Pertama,    Indonesia terdiri atas ratusan suku bangsa yang adat istiadat, bahasa, budaya dan agamanya berbeda. Misalnya kumpul kebo dikriminalisasi, padahal menurut pakar hukum adat Prof Hazairin dalam buku Tiga Serangkai Hukum, ada tiga daerah yang menoleransi kumpul kebo yaitu Bali, Minahasa dan Mentawai; dan menurut pengamatan saya, juga Maluku Selatan. Jadi, bagaimana akibatnya jika kumpul kebo dikriminalisasi secara nasional di daerah-daerah itu? Di KHUP Pakistan yang pada pendahuluannya tertulis “KUHP ini berdasarkan hukum Islam”, tak ditemukan rumusan delik kumpul kebo. Bagitu pula di KUHP Malaysia.

Kedua, tak semua perbuatan buruk atau jahat harus masuk hukum pidana (dikriminalisasi), tidaklah berarti jika tak masuk hukum pidana suatu perbuatan dilegalkan. Mendirikan bangunan tanpa izin perbuatan ilegal, tetapi tak dipidana. Sanksinya adalah administratif, bangunan dapat dirubuhkan. Sebaliknya, menyetir mobil tanpa sabuk pengaman dan naik sepeda motor tak pakai helm diancam dengan pidana yang jika jatuh dan mati, mati sendiri.

Negara hendak mengatur ketertiban umum. Hukum pidana modern sudah berubah dari hukum sanksi istimewa, yang sengaja memberi nestapa kepada pelanggar, menjadi hukum fungsional. Demikianlah, sehingga perkara yang ada di tangan jaksa di Belanda, 60 persen tak dilimpahkan ke pengadilan, diselesaikan di luar pengadilan (Belanda: afdoening buiten proces; Inggris: transaction out of judiciary). Di Norwegia lebih tinggi lagi, sehingga keluar buku The rise of power of public prosecutor in Europe karena jaksa di Eropa menjadi semijudge. Di Jerman disebut RichtervorRchter.

Di Indonesia penjara paling sesak di dunia, perkara perdata pun dikriminalisasi. Rumusan delik ditafsirkan karet. Ketua KPK meminta imigrasi mencekal orang yang dilaporkan menyalahgunakan wewenang. Mahasiswa memperlihatkan kartu kuning ke presiden dianggap menghina presiden. Meski sejak 1961 sistem penjara diubah menjadi pemasyarakatan—artinya begitu narapidana  berubah jadi baik harus dikeluarkan dari penjara—tetapi karena masyarakat  dendam, terutama jika yang dipidana karena korupsi,  mereka meminta tidak ada remisi, tidak ada pelepasan bersyarat  walaupun narapidana telah berubah jadi guru mengaji di penjara.

Penghinaan presiden

Ketiga, kurang disadari bahwa KUHP itu universal, berlaku bagi semua orang yang berada di Indonesia termasuk ribuan turis dan pengusaha asing  dan pekerjanya. KUHP Federasi Rusia, salah satu KUHP terbaru dan termodern di dunia, disusun 1-2 tahun saja dengan konsultan pakar hukum pidana Prof Thaman dari St Louis university (AS), yang kebetulan istrinya orang Rusia. Padahal hubungan politik kedua negara kurang harmonis. KUHP dan KUHAP Rusia yang baru  dicetak di AS oleh Departemen Kehakiman, di kiri bahasa Rusia di kanan bahasa Inggris, dikirim ke seluruh dunia termasuk  saya.

Keempat, orang Indonesia sering menafsirkan UU secara karet, padahal  maksudnya jelas. Penghinaan kepada presiden dianggap pasal karet, padahal jika tahu beda antara penghinaan dan kritik, tentu tak ada protes semacam itu. Penghinaan, kepada pribadi,  misalnya di Belanda ada orang dipidana karena mengatakan :”dandanan ratu norak, seperti pelacur”. Jika ia mengatakan ratu terlalu sering keluar negeri atas biaya negara, tentu itu bukan penghinaan.

KUHP Jerman mengancam pidana bagi  orang yang menghina atau melecehkan presiden Federasi Jerman. Penghinaan dengan kata-kata atau  tulisan. Pecehan dengan perbuatan, misalnya meludahi presiden atau mengencingi mobil presiden. Bagaimana mungkin perbuatan semacam itu terhadap presiden RI tak dipidana. Putusan MK keliru besar, penghinaan kepada kepala negara sahabat masih ada dalam KUHP. Menghina presidennya sendiri tak dipidana. Penghinaan kepada kaisar Jepang dipidana, yang mengadu perdana menteri. Menghina kepala negara sahabat Jepang, seperti presiden RI dipidana, yang harus mengadu ialah duta besar Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar