KUHP
yang Tak Kunjung Selesai
Andi Hamzah ; Widyaswara; Mantan
Jaksa
|
KOMPAS,
04 April
2018
Tiga puluh empat tahun
lalu, tepatnya 1983, saya diajak Ketua Tim RUU KUHP Prof Sudarto menjadi
anggota tim. Anggota lain, antara lain Prof Roeslan Saleh, Prof Mardjono
Reksodiputro. Setelah dibahas maraton sembilan tahun, diserahkanlah hasilnya
ke Menteri Kehakiman Ismail Saleh tahun 1992. Sebelum sempat dilimpahkan ke
DPR, Ismail Saleh diganti Oetomo Oesman. Menteri meminta lagi pakar hukum
pidana generasi kedua, murid dari Sudarto dan Roeslan Saleh, mengutak-atik
RUU tersebut.
Waktu Muladi menjabat
menteri, diminta lagi Prof Barda dari Universitas Diponegoro, murid Sudarto,
mengutak-atik, dan banyak sekali perubahan. Semula, yang diserahkan Mardjono
Reksodiputro—sebagai ketua tim sesudah Sudarto dan Roeslan Saleh—hanya 500
pasal lebih, hampir sama dengan KUHP saat ini. Terakhir saya lihat yang ada
di DPR 700 pasal lebih, nantinya jadi KUHP paling tebal di dunia.
Menjadi masalah, sehingga
banyak sanggahan dari segala pihak, ialah kurang diperhatikannya
hal-hal berikut. Pertama, Indonesia terdiri atas ratusan suku
bangsa yang adat istiadat, bahasa, budaya dan agamanya berbeda. Misalnya
kumpul kebo dikriminalisasi, padahal menurut pakar hukum adat Prof Hazairin
dalam buku Tiga Serangkai Hukum, ada tiga daerah yang menoleransi kumpul kebo
yaitu Bali, Minahasa dan Mentawai; dan menurut pengamatan saya, juga Maluku
Selatan. Jadi, bagaimana akibatnya jika kumpul kebo dikriminalisasi secara
nasional di daerah-daerah itu? Di KHUP Pakistan yang pada pendahuluannya
tertulis “KUHP ini berdasarkan hukum Islam”, tak ditemukan rumusan delik
kumpul kebo. Bagitu pula di KUHP Malaysia.
Kedua, tak semua perbuatan
buruk atau jahat harus masuk hukum pidana (dikriminalisasi), tidaklah berarti
jika tak masuk hukum pidana suatu perbuatan dilegalkan. Mendirikan bangunan
tanpa izin perbuatan ilegal, tetapi tak dipidana. Sanksinya adalah
administratif, bangunan dapat dirubuhkan. Sebaliknya, menyetir mobil tanpa
sabuk pengaman dan naik sepeda motor tak pakai helm diancam dengan pidana
yang jika jatuh dan mati, mati sendiri.
Negara hendak mengatur
ketertiban umum. Hukum pidana modern sudah berubah dari hukum sanksi
istimewa, yang sengaja memberi nestapa kepada pelanggar, menjadi hukum
fungsional. Demikianlah, sehingga perkara yang ada di tangan jaksa di
Belanda, 60 persen tak dilimpahkan ke pengadilan, diselesaikan di luar
pengadilan (Belanda: afdoening buiten proces; Inggris: transaction out of
judiciary). Di Norwegia lebih tinggi lagi, sehingga keluar buku The rise of
power of public prosecutor in Europe karena jaksa di Eropa menjadi semijudge.
Di Jerman disebut RichtervorRchter.
Di Indonesia penjara
paling sesak di dunia, perkara perdata pun dikriminalisasi. Rumusan delik
ditafsirkan karet. Ketua KPK meminta imigrasi mencekal orang yang dilaporkan
menyalahgunakan wewenang. Mahasiswa memperlihatkan kartu kuning ke presiden
dianggap menghina presiden. Meski sejak 1961 sistem penjara diubah menjadi
pemasyarakatan—artinya begitu narapidana berubah jadi baik harus
dikeluarkan dari penjara—tetapi karena masyarakat dendam, terutama jika
yang dipidana karena korupsi, mereka meminta tidak ada remisi, tidak
ada pelepasan bersyarat walaupun narapidana telah berubah jadi guru
mengaji di penjara.
Penghinaan
presiden
Ketiga, kurang disadari
bahwa KUHP itu universal, berlaku bagi semua orang yang berada di Indonesia
termasuk ribuan turis dan pengusaha asing dan pekerjanya. KUHP Federasi
Rusia, salah satu KUHP terbaru dan termodern di dunia, disusun 1-2 tahun saja
dengan konsultan pakar hukum pidana Prof Thaman dari St Louis university
(AS), yang kebetulan istrinya orang Rusia. Padahal hubungan politik kedua
negara kurang harmonis. KUHP dan KUHAP Rusia yang baru dicetak di AS
oleh Departemen Kehakiman, di kiri bahasa Rusia di kanan bahasa Inggris,
dikirim ke seluruh dunia termasuk saya.
Keempat, orang Indonesia
sering menafsirkan UU secara karet, padahal maksudnya jelas. Penghinaan
kepada presiden dianggap pasal karet, padahal jika tahu beda antara
penghinaan dan kritik, tentu tak ada protes semacam itu. Penghinaan, kepada
pribadi, misalnya di Belanda ada orang dipidana karena mengatakan
:”dandanan ratu norak, seperti pelacur”. Jika ia mengatakan ratu terlalu
sering keluar negeri atas biaya negara, tentu itu bukan penghinaan.
KUHP Jerman mengancam
pidana bagi orang yang menghina atau melecehkan presiden Federasi
Jerman. Penghinaan dengan kata-kata atau tulisan. Pecehan dengan
perbuatan, misalnya meludahi presiden atau mengencingi mobil presiden.
Bagaimana mungkin perbuatan semacam itu terhadap presiden RI tak dipidana.
Putusan MK keliru besar, penghinaan kepada kepala negara sahabat masih ada
dalam KUHP. Menghina presidennya sendiri tak dipidana. Penghinaan kepada
kaisar Jepang dipidana, yang mengadu perdana menteri. Menghina kepala negara
sahabat Jepang, seperti presiden RI dipidana, yang harus mengadu ialah duta
besar Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar