Eskalasi
Rivalitas AS Tiongkok
I Gede Wahyu Wicaksana ; Dosen Hubungan Internasional FISIP
Unair Surabaya
|
MEDIA
INDONESIA, 04 April 2018
DUA perkembangan penting
berlangsung dalam pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Pertama,
pemberhentian Menlu Rex Tillerson dan diganti mantan Direktur CIA Mike
Pompeo. Kedua, Trump didampingi sang menlu baru mendeklarasikan perang dagang
terhadap Tiongkok.
Di permukaan kelihatan
seperti reposisi biasa, tetapi jika dibedah lebih dalam akan tampak nuansa
pergeseran strategis, yakni eskalasi rivalitas AS Tiongkok. Realitas
geopolitik yang harus diantisipasi RI.
Selama satu dekade
Washington terjebak dalam dilema menentukan arah kebijakan luar negeri
terhadap Beijing. Di satu sisi kalangan konservatif di Kongres maupun Gedung
Putih meyakini AS harus tegas merespons kebangkitan ekonomi dan militer
Tiongkok dengan cara disebut rebalance. Kelompok moderat pada intinya sepakat
dengan rebalance, tetapi dalam koridor diplomasi organisasi internasional,
dikenal sebagai institutional balancing. Alasannya mereka menyadari bahwa
ekonomi AS dan Tiongkok saling bergantung.
Sejak 2010 tidak kurang
dari US$80 miliar investasi Tiongkok menopang sektor industri padat karya AS.
Volume interdependensi tumbuh sekitar 5% setahun (menurut survei IMF 2015).
Pada gilirannya Tiongkok ialah mitra ekonomi terbesar AS mengalahkan Jepang
dan Uni Eropa.
Pada era Presiden Barack
Obama, solusi yang ditempuh ialah membentuk Trans-Pacific Partnership (TPP)
sebuah kemitraan dagang lintas benua beranggotakan 12 negara, termasuk rival
klasik Tiongkok di Asia Tenggara seperti Filipina dan Vietnam serta adidaya
ekonomi Jepang. Tujuannya menciptakan sebuah zona perdagangan bebas multilateral
berstandar tinggi (WTO plus).
Fokus AS pada perlindungan
kekayaan intelektual dan energi bersih yang mewakili concern terhadap
aktivitas pembajakan Tiongkok. Beijing bereaksi dengan inisiatif Kemitraan
Asia Timur mencakup pula Jepang dan Korea Selatan. Namun, Tokyo enggan
menanggapi dan malah mengajukan skema sendiri. Sebagai jalan tengah RI dan
ASEAN membuat Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Akhirnya Tiongkok
memutuskan bergabung RCEP. Forum RCEP hampir sama TPP, hanya lebih fleksibel
untuk urusan hak cipta dan energi ramah lingkungan. Dalam konteks ini AS dan
Tiongkok berhadapan dalam kompetisi regionalisme dan integrasi ekonomi di
Asia Pasifik.
Pada 2015 TPP berhasil
menuntaskan negosiasi internal mereka dan Obama secara resmi menyatakan telah
berdiri sebuah lembaga perdagangan baru yang sportif dan efektif. Sindiran
politik untuk tim RCEP yang masih bolak-balik tanpa hasil. Salah satu
penyebabnya ialah standar mana yang hendak dirujuk, ASEAN atau Tiongkok dalam
RCEP.
Di tengah kegalauan, pada
awal 2017 Beijing kembali melontarkan ide pentingnya Asia untuk Asia.
Artinya, kekuatan non-Asia seperti AS harus disingkirkan. Hal ini tentu
berkaitan dengan perubahan kebijakan AS di bawah Trump yang keluar dari TPP
lalu memilih pendekatan bilateral intensif untuk menarik sekutu bisnis
Tiongkok. Sebagai balasan Tiongkok mengajak 11 anggota TPP yang tersisa
membuat wadah lain, Free Trade Agreement of the Asia Pacific (FTAAP).
Kembali ke Washington,
silang pendapat mewarnai kabinet Trump. Saat masih menjadi menlu, Tillerson
tergolong moderat. Tillerson optimistis soal masa depan TPP dan hubungan
dengan Tiongkok.
Agaknya, Trump lebih suka
figur 'howkish' Pompeo, yang berlatar pendidikan militer, hukum, dan
diplomasi. Saat memimpin CIA, konsentrasi kerja Pompeo pada pengumpulan
informasi kritis perkembangan ekonomi dan pertahanan Tiongkok. Blakblakan
tentang kemungkinan invasi ke Semenanjung Korea, Pompeo mengingatkan Beijing
tidak mencampuri urusan AS. Pas dengan visi dan kepribadian Trump, Menlu baru
siap melancarkan yang disebutnya offensive diplomacy.
Perang dagang dengan
Tiongkok, AS akan memberlakukan peningkatan tarif terhadap 1.300 item ekspor
Tiongkok senilai US$60 miliar pada 2018 dan di proyeksi meningkat secara
progresif untuk empat tahun ke depan. Pembatasan investasi AS di Tiongkok pun
akan segera dijalankan dengan estimasi kerugian Tiongkok mencapai US$26
miliar/tahun.
Menanggapi Trump, Dubes
Tiongkok di Washington lantang mengatakan negaranya tidak akan mundur sampai
akhir. Dari Beijing merebak spekulasi bahwa Tiongkok akan mempercepat
perundingan perdagangan bebas Asia Pasifik guna mengunci langkah AS.
Apa pun yang akan terjadi
dengan AS dan Tiongkok, apakah perang dagang global atau persaingan
nasionalisasi ala dasawarsa 1980-an, RI wajib mawas diri. Lewat ASEAN Jakarta
sudah telanjur masuk ke geometri regionalisme Asia Pasifik yang rumit.
Berangkat dari AFTA, ASEAN+3, ASEAN+6 kemudian menjadi Konferensi Tingkat
Tinggi Asia Timur, hingga gagasan Komunitas Asia Timur lewat RCEP. Semuanya
proyek diplomasi megah, mahal, dan ambisius. Belum lagi Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) yang jalan di tempat.
Apa kontribusi berbagai
institusi regional itu buat kepentingan nasional kita? Jawaban Kemenlu selalu
normatif, demi menjaga stabilitas dan keamanan kawasan dan mendukung
perekonomian bangsa.
Faktanya tidak pernah ada
orde stabil dan aman tanpa dukungan AS dan Tiongkok. Ketika Washington dan
Beijing semakin larut dalam kontestasi ekonomi dan pasti diikuti dengan
kejutan-kejutan strategis, di mana Jakarta? Kebijakan RI bebas aktif, tidak
mau terseret dinamika tetapi ingin terus mengambil untung dari situasi yang
berkembang, dinamakan hedging. Cara pikir yang mudah dimengerti pada tataran
teoritis, sulit ditemukan bukti empiris.
Sementara ASEAN tidak lagi
otonom, RCEP mengambang, apalagi diplomasi poros maritim dunia tanpa arah,
adakah alternatif agar Indonesia bisa berkiprah?
Menlu Pompeo dikabarkan
segera melawat ke Asia dan bisa jadi mampir di Jakarta atau hadir perhelatan
ASEAN Regional Forum bulan depan. Momentum diplomatik ini semestinya
dimanfaatkan Jakarta untuk menawarkan ide realistis. Misalkan, prakarsa
kemitraan dua negara yang sejak 2015 belum dioptimalkan. Daripada
menghabiskan tenaga di arena diplomasi berlapis, RI lebih baik mencoba
bilateralisme. Di samping proses pembicaraan lebih cepat, hasil juga lebih
terukur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar