Kamis, 05 April 2018

Eskalasi Rivalitas AS Tiongkok

Eskalasi Rivalitas AS Tiongkok
I Gede Wahyu Wicaksana  ;   Dosen Hubungan Internasional FISIP
Unair Surabaya
                                              MEDIA INDONESIA, 04 April 2018



                                                           
DUA perkembangan penting berlangsung dalam pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Pertama, pemberhentian Menlu Rex Tillerson dan diganti mantan Direktur CIA Mike Pompeo. Kedua, Trump didampingi sang menlu baru mendeklarasikan perang dagang terhadap Tiongkok.

Di permukaan kelihatan seperti reposisi biasa, tetapi jika dibedah lebih dalam akan tampak nuansa pergeseran strategis, yakni eskalasi rivalitas AS Tiongkok. Realitas geopolitik yang harus diantisipasi RI.

Selama satu dekade Washington terjebak dalam dilema menentukan arah kebijakan luar negeri terhadap Beijing. Di satu sisi kalangan konservatif di Kongres maupun Gedung Putih meyakini AS harus tegas merespons kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok dengan cara disebut rebalance. Kelompok moderat pada intinya sepakat dengan rebalance, tetapi dalam koridor diplomasi organisasi internasional, dikenal sebagai institutional balancing. Alasannya mereka menyadari bahwa ekonomi AS dan Tiongkok saling bergantung.

Sejak 2010 tidak kurang dari US$80 miliar investasi Tiongkok menopang sektor industri padat karya AS. Volume interdependensi tumbuh sekitar 5% setahun (menurut survei IMF 2015). Pada gilirannya Tiongkok ialah mitra ekonomi terbesar AS mengalahkan Jepang dan Uni Eropa.

Pada era Presiden Barack Obama, solusi yang ditempuh ialah membentuk Trans-Pacific Partnership (TPP) sebuah kemitraan dagang lintas benua beranggotakan 12 negara, termasuk rival klasik Tiongkok di Asia Tenggara seperti Filipina dan Vietnam serta adidaya ekonomi Jepang. Tujuannya menciptakan sebuah zona perdagangan bebas multilateral berstandar tinggi (WTO plus).

Fokus AS pada perlindungan kekayaan intelektual dan energi bersih yang mewakili concern terhadap aktivitas pembajakan Tiongkok. Beijing bereaksi dengan inisiatif Kemitraan Asia Timur mencakup pula Jepang dan Korea Selatan. Namun, Tokyo enggan menanggapi dan malah mengajukan skema sendiri. Sebagai jalan tengah RI dan ASEAN membuat Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).

Akhirnya Tiongkok memutuskan bergabung RCEP. Forum RCEP hampir sama TPP, hanya lebih fleksibel untuk urusan hak cipta dan energi ramah lingkungan. Dalam konteks ini AS dan Tiongkok berhadapan dalam kompetisi regionalisme dan integrasi ekonomi di Asia Pasifik.

Pada 2015 TPP berhasil menuntaskan negosiasi internal mereka dan Obama secara resmi menyatakan telah berdiri sebuah lembaga perdagangan baru yang sportif dan efektif. Sindiran politik untuk tim RCEP yang masih bolak-balik tanpa hasil. Salah satu penyebabnya ialah standar mana yang hendak dirujuk, ASEAN atau Tiongkok dalam RCEP.

Di tengah kegalauan, pada awal 2017 Beijing kembali melontarkan ide pentingnya Asia untuk Asia. Artinya, kekuatan non-Asia seperti AS harus disingkirkan. Hal ini tentu berkaitan dengan perubahan kebijakan AS di bawah Trump yang keluar dari TPP lalu memilih pendekatan bilateral intensif untuk menarik sekutu bisnis Tiongkok. Sebagai balasan Tiongkok mengajak 11 anggota TPP yang tersisa membuat wadah lain, Free Trade Agreement of the Asia Pacific (FTAAP).

Kembali ke Washington, silang pendapat mewarnai kabinet Trump. Saat masih menjadi menlu, Tillerson tergolong moderat. Tillerson optimistis soal masa depan TPP dan hubungan dengan Tiongkok.

Agaknya, Trump lebih suka figur 'howkish' Pompeo, yang berlatar pendidikan militer, hukum, dan diplomasi. Saat memimpin CIA, konsentrasi kerja Pompeo pada pengumpulan informasi kritis perkembangan ekonomi dan pertahanan Tiongkok. Blakblakan tentang kemungkinan invasi ke Semenanjung Korea, Pompeo mengingatkan Beijing tidak mencampuri urusan AS. Pas dengan visi dan kepribadian Trump, Menlu baru siap melancarkan yang disebutnya offensive diplomacy.

Perang dagang dengan Tiongkok, AS akan memberlakukan peningkatan tarif terhadap 1.300 item ekspor Tiongkok senilai US$60 miliar pada 2018 dan di proyeksi meningkat secara progresif untuk empat tahun ke depan. Pembatasan investasi AS di Tiongkok pun akan segera dijalankan dengan estimasi kerugian Tiongkok mencapai US$26 miliar/tahun.

Menanggapi Trump, Dubes Tiongkok di Washington lantang mengatakan negaranya tidak akan mundur sampai akhir. Dari Beijing merebak spekulasi bahwa Tiongkok akan mempercepat perundingan perdagangan bebas Asia Pasifik guna mengunci langkah AS.

Apa pun yang akan terjadi dengan AS dan Tiongkok, apakah perang dagang global atau persaingan nasionalisasi ala dasawarsa 1980-an, RI wajib mawas diri. Lewat ASEAN Jakarta sudah telanjur masuk ke geometri regionalisme Asia Pasifik yang rumit. Berangkat dari AFTA, ASEAN+3, ASEAN+6 kemudian menjadi Konferensi Tingkat Tinggi Asia Timur, hingga gagasan Komunitas Asia Timur lewat RCEP. Semuanya proyek diplomasi megah, mahal, dan ambisius. Belum lagi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang jalan di tempat.

Apa kontribusi berbagai institusi regional itu buat kepentingan nasional kita? Jawaban Kemenlu selalu normatif, demi menjaga stabilitas dan keamanan kawasan dan mendukung perekonomian bangsa.

Faktanya tidak pernah ada orde stabil dan aman tanpa dukungan AS dan Tiongkok. Ketika Washington dan Beijing semakin larut dalam kontestasi ekonomi dan pasti diikuti dengan kejutan-kejutan strategis, di mana Jakarta? Kebijakan RI bebas aktif, tidak mau terseret dinamika tetapi ingin terus mengambil untung dari situasi yang berkembang, dinamakan hedging. Cara pikir yang mudah dimengerti pada tataran teoritis, sulit ditemukan bukti empiris.

Sementara ASEAN tidak lagi otonom, RCEP mengambang, apalagi diplomasi poros maritim dunia tanpa arah, adakah alternatif agar Indonesia bisa berkiprah?

Menlu Pompeo dikabarkan segera melawat ke Asia dan bisa jadi mampir di Jakarta atau hadir perhelatan ASEAN Regional Forum bulan depan. Momentum diplomatik ini semestinya dimanfaatkan Jakarta untuk menawarkan ide realistis. Misalkan, prakarsa kemitraan dua negara yang sejak 2015 belum dioptimalkan. Daripada menghabiskan tenaga di arena diplomasi berlapis, RI lebih baik mencoba bilateralisme. Di samping proses pembicaraan lebih cepat, hasil juga lebih terukur. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar