Tarik-Ulur
Nasib SKK Migas,
BUMN
Khusus Solusinya?
Aryo Djojohadikusumo ; Anggota Komisi VII DPR RI
|
MEDIA INDONESIA, 16 April 2015
EKSISTENSI Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), dulu BP Migas,
mengalami ketidakpastian pasca-Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan
No. 36/PUU-X/2012 yang salah satu amarnya menyatakan lembaga ini
inkonstitusional. Demi menghindari terjadinya kekosongan hukum, sejumlah
langkah dilakukan, antara lain keluarnya Perpres No.9/2013. Pada Pasal 2 ayat
(1) Perpres dikatakan SKK Migas berkedudukan sebagai pengelola kegiatan hulu,
berbeda dengan UU Migas yang memosisikannya sebagai pengendali yang melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan Kontrak Kerja Sama. Selain itu, Perpres juga
menyatakan keberadaan SKK Migas beserta segala kewenangan yang melekat
padanya berlaku sampai diundangkannya UU Migas baru meskipun sudah masuk
Prolegnas 2015, tetapi perjalanannya masih panjang.
Dapat dilihat kerentanan
eksistensi lembaga ini, tarik-ulur terjadi terutama menyangkut bentuknya.
Versi UU Migas di Pasal 45 tegas menyebutkan SKK berstatus sebagai Badan
Hukum Milik Negara (BHMN), tetapi dinyatakan mereduksi hak menguasai negara
atas sumber daya migas.
Berbagai masukan untuk menuntaskan
ketidakpastian sampai kepada Menteri ESDM, salah satunya menjadikan SKK Migas
BUMN Khusus (BUMN-K). Salah satu pengusul, Tim Reformasi Tata Kelola Migas
(TRTKM) berharap status baru SKK Migas itu akan membuatnya lebih optimal
mengeksplorasi potensi migas yang dimiliki negara. Mereka diharapkan layaknya
badan usaha biasa, seperti menjual jatah migas pemerintah dan mencari dana
untuk mempercepat eksplorasi blok migas. Tim ini juga yakin sebagai BUMN
khusus, operasional SKK Migas tidak akan berbenturan dengan status PT
Pertamina (persero) yang bakal didorong untuk menjadi perusahaan minyak
global.
Berbagai alternatif solusi itu
hendaknya dipertimbangkan secara matang, terutama menyangkut keselarasannya
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Tanpa bermaksud menegaskan
UU lain yang terkait, pada tulisan ini saya hanya menggunakan UU BUMN dan UU
Keuangan Negara sebagai instrumen dialektika. Diawali dengan pertanyaan,
apakah UU ini berlaku terhadap BUMN-K dan jika tidak, apa cantolan hukumnya?
Kembali pada Perpres 9/2013 yang menyebut UU Migas (baru) dapat melegitimasi.
Namun, sayangnya beleid itu belum ada hingga kini. Di UU Migas sekarang pun,
keberadaan lembaga-lembaga yang terkait dengan pengelolaan migas limitatif
pengaturannya.
Berpegang pada penamaannya
(BUMN), seharusnya UU BUMN berlaku terhadapnya sesuai dengan perintah Pasal
3. Adapun jika UU ini berlaku, pada konsiderans jelas disebutkan BUMN
berkedudukan sebagai pelaku kegiatan ekonomi. Pertanyaannya, apakah pelaku
layak membuat kebijakan atau regulasi untuk mengatur sesama pelaku ekonomi
lainnya? Jika ada pelaku lain yang melakukan pelanggaran, dapatkah pelaku
tersebut melakukan penindakan dan seberapa forceful (kuatkah) itu?
Selanjutnya mengenai bentuk,
Pasal 9 hanya mengakui Persero dan Perum sebagai bentuk BUMN. UU mewajibkan
output yang sama terhadap keduanya, yaitu melakukan penyediaan barang dan
atau jasa dalam framework maksud
dan tujuan BUMN di Pasal 2 ayat (1), di antaranya mengejar keuntungan,
perintis, dan penyelenggaraan kemanfaatan umum. Framework itu tidak relevan dengan tupoksi pengawasan yang
diemban SKK Migas berdasarkan Pasal 44 UU Migas dan Pasal 90 PP 35/2004.
Apakah pengawasan pelaksanaan Kontrak Kerja Sama dikategorikan sebagai jasa?
Dalam konteks itu, perintah di ayat (2) agar kegiatan BUMN harus disesuaikan
dengan maksud dan tujuan dalam ayat 1, perlu ditaati.
Hal yang paling mencolok, UU
BUMN memang dikonstruksikan sebagai aturan main bagi addressat yang kedudukannya sebagai pelaku operasional, bukan
pembuat kebijakan dan pengawas. Jika SKK Migas akan menjadi BUMN-K, apa
artinya akan hands on kegiatan operasi hulu, agar keberadaannya paralel
dengan semangat BUMN? Ataukah BUMN-K akan diberikan semacam partisipasi
interes meskipun minoritas, agar tidak dianggap menggerus penguasaan negara?
Apakah porsi minor itu efektif untuk melakukan pengendalian? Dalam dialektika
tersebut, pertanyaan tentang kompetensi dan kejelasan pembagian porsi dengan
PT Pertamina (persero) jelas akan timbul kemudian.
Lebih lanjut, mengenai asal
mula modal BUMN-K, apakah menggunakan mekanisme penyertaan modal versi UU
BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan? Perlu dipertimbangkan
bahwa UU Migas sudah mengatur anggaran biaya operasional didasarkan pada
imbalan (fee) dari pemerintah, sedangkan
Perpres No.9/2013 mengatur biaya operasional berasal dari jumlah tertentu
dari bagian negara, dari setiap kegiatan hulu yang besarannya diusulkan oleh
Menteri ESDM untuk ditetapkan oleh Menkeu. Aturan itu yang eksisting berlaku
sehingga jika akan disesuaikan dengan mekanisme UU BUMN, apakah penyertaan
modal untuk BUMN-K ini akan bersumber dari APBN?
Jika ya, UU Keuangan Negara
akan berlaku terhadapnya, yakni Pasal 24 ayat (1) mengatakan penyertaan modal
dari APBN dapat diberikan kepada perusahaan negara.Hubungan keuangan tersebut
juga menimbulkan tugas sekaligus kewenangan bagi Menkeu untuk membina dan
mengawasi BUMN-K ini, sebagaimana Pasal 24 ayat (3) UU Keuangan Negara
mengatur. Berbeda dengan versi UU Migas dan Perpres 9/2013, yakni Menteri
ESDM yang bertindak sebagai pengendali dan pengawas SKK Migas.
Tulisan ini memang tidak saya
maksudkan untuk menentukan salah benarnya BUMN-K dari perspektif pribadi.
Namun, sebagai pemantik, untuk sama-sama berdialek mencermati konsep
kelembagaan yang notabene baru ini. Harapannya, jika pun SKK Migas akan
dijadikan BUMN-K, pilihan itu dilandasi sejumlah konsep yang lebih jelas,
sehingga tidak menimbulkan gap dengan tatanan konsep hukum yang selama ini
sudah mapan.
Publik sudah cukup bingung
dengan suguhan karut-marut hukum dalam kurun waktu terakhir ini yang sarat
dengan terobosan-terobosan yang menimbulkan kekacauan sistem hukum. Harapan kita agar tidak ada celah hukum pada keberadaan
lembaga ini yang memicu judicial review,
sehingga dapat optimal menjalankan fungsinya sebagai pengaman keuangan dan
kepentingan negara dari sektor migas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar