Suksesi
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
|
KORAN SINDO, 16 April 2015
Pekan lalu sahabat saya, Hasnul Suhaimi, resmi mundur dari
posisinya sebagai CEO PT XL Axiata Tbk. Ia sudah menduduki jabatan tersebut
selama lebih dari delapan tahun.
Pada banyak perusahaan di Indonesia, isu suksesi masih menjadi
persoalan serius. Bahkan sangat serius kalau tak bisa didapat dari dalam atau
yang dari luar ditolak di dalam. Ini bisa membuat sakit kepala para pemegang
saham. Ini karena kerap kali posisi CEO bisa menentukan hidup dan matinya
perusahaan.
Maka tak mengherankan kalau suksesi sering menjadi isu yang
ramai. Itu yang tidak terjadi dalam suksesi di XL Axiata. Hasnul mundur
dengan mulus tanpa gejolak apa pun. Ia menyerahkan posisinya kepada Dian
Siswarini yang sebelumnya menjabat sebagai wakil direktur utama. Melihat
posisi Dian, kita bisa dengan mudah membaca bahwa Hasnul sudah mempersiapkan
calon penggantinya. Mungkin itu pula yang menyebabkan proses suksesi di XL
Axiata berlangsung dengan mulus.
Belakangan saya melihat fenomena serupa juga terjadi di beberapa
BUMN. Di sektor perbankan, misalnya, saya lihat beberapa pucuk pimpinannya
sudah diisi oleh ”orang dalam”. Di Bank Mandiri, misalnya, semula dipimpin
oleh Agus Martowardojo yang berasal dari PermataBank. Namun setelah itu
penggantinya, Zulkifli Zaini, adalah orang dalam di Bank Mandiri.
Begitu pula Zulkifli Zaini digantikan oleh Budi Gunadi Sadikin
yang sebelumnya pernah menjadi direktur di bank itu. Hal serupa terjadi di
BNI dan BRI. Pada bank-bank itu, pucuk pimpinannya berasal dari orang dalam.
Atau setidak- tidaknya pernah menjadi direktur di perusahaan tersebut.
Tapi, untuk BUMN sekelas Pertamina, pemerintah sebagai pemegang
saham rupanya belum ”berani” menempatkan orang dalam sebagai pucuk pimpinan.
Direktur Utama Pertamina saat ini datang dari luar, yakni dari PT Semen
Gresik Tbk. Jajaran direksi Pertamina lainnya juga kebanyakan datang dari
luar.
Move On
Mengapa pada sejumlah perusahaan, termasuk BUMN, suksesi masih
menjadi isu yang krusial? Bahkan seakan-akan menentukan hidup dan matinya
perusahaan? Saya lihat banyak perusahaan yang masih kesulitan untuk move on.
Apalagi di BUMN yang kental dengan aroma feodal. Dengan iklim kerja yang
masih seperti ini, mereka menganggap pimpinan adalah segalagalanya. Seorang
pemimpin kerap dianggap sebagai matahari. Ia segala-galanya.
Di perusahaan seperti ini, mereka menganggap tidak ada matahari
kembar. Hanya ada satu matahari. Matahari, dengan sinarnya yang
menyilaukan—meski juga memberi kehidupan—, membuat benda-benda langit lainnya
seperti bulan atau bintang tak mampu memancarkan sinarnya.
Semuanya redup oleh hadirnya matahari. Untungnya anggapan
semacam itu belakangan mulai luntur. Bagi perusahaan yang sudah berhasil move
on, banyak CEO tak lagi menganggap dan dianggap sebagai matahari. Ia penting,
tetapi bukan yang terpenting. CEO memang hanya ada satu, tetapi bukan menjadi
satu-satunya penentu keberhasilan.
Lima Tangga Kepemimpinan
Bicara soal ini mulusnya suksesi, saya jadi teringat dengan lima
tangga kepemimpinan dari John Maxwell. Menurut Maxwell, pada tataran paling
rendah adalah seorang yang dianggap sebagai pemimpin karena posisinya atau
position. Ia menjadi pemimpin karena ditunjuk, bukan karena kompetensi.
Pemimpin yang semacam ini biasanya tak akan bertahan lama pada posisinya.
Kata John Maxwell, ”A
great leader’s courage to fulfill his vision comes from passion, not
position.” Pada tataran berikutnya adalah pemimpin yang sudah mendapat
pengakuan dari lingkungan perusahaan atau pada level permission. Kalau sudah sampai pada level ini, Anda harus
terus mengembangkan komitmen, tanggung jawab, kejujuran, integritas,
konsistensi, dan sebagainya. Ini agar kepercayaan yang telah diperolehnya
terus meningkat. Seorang pemimpin juga dituntut untuk terus meningkatkan
produktivitasnya dan produktivitas perusahaan atau level production.
Semakin cepat peningkatan produktivitas ini tercapai, seorang
pemimpin akan semakin dikagumi dan dihormati. Berikutnya adalah seorang
pemimpin sudah dapat mencetak pemimpin lainnya atau people developer.
Mencetak seorang pemimpin itu tidak mudah. Banyak di antara kita yang masih
curiga kalau ada orang lain yang menonjol. Jangan-jangan malah mengancam
posisi kita. Kesulitan lainnya, kita biasanya mencetak pemimpin sesuai dengan
prototipe kita.
Kita ingin dia seperti kita. Padahal, dia harus menjadi pemimpin
yang sesuai dengan karakter kepribadian dan kepemimpinannya. Level paling
tinggi adalah personhood, yakni ketika jiwa sebagai seorang pemimpin sudah
sangat melekat dalam dirinya. Posisinya diakui dan sudah diterima oleh
lingkungan perusahaannya dan stakeholdernya.
Dia juga mampu meningkatkan produktivitas dan mampu mencetak
pemimpin-pemimpin baru. Saya kira Hasnul sudah sampai pada level itu.
Keberadaannya sudah diterima oleh lingkungan internal dan eksternal. Ia juga
sukses membawa XL Axiata naik kelas. Kisah transformasinya bisa Anda baca
pada buku saya yang berjudul Cracking Zone. Semula XL Axiata menempati
peringkat ketiga terbesar, tetapi jaraknya dengan operator peringkat kedua
berbeda cukup jauh.
Tapi, Hasnul kemudian berhasil membawa XL menjadi operator kedua
terbesar. Meski angkanya masih naik turun, mereka bersaing ketat dengan
operator kedua. Ia juga sudah menciptakan banyak pemimpin di lingkungan XL
Axiata, termasuk satu yang menggantikan dirinya. Mencetak pemimpin itu tidak
mudah. Apalagi bagi seorang CEO. Banyak masalah yang harus ia pecahkan.
Ada banyak target yang harus ia capai. Bawahan pun mesti ia
urus. Sementara di sisi lain kompetitor terus mengganggu. Kebijakan
pemerintah yang berubah- ubah pun berpotensi mengancam kelangsungan bisnis
perusahaan. Semua tekanan tersebut kerap kali membuat kita keteteran dalam
mencetak pemimpin-pemimpin baru. Padahal, waktu yang kita miliki sangat
terbatas. Saya kira kita bisa banyak belajar dari pengalaman suksesi di XL
Axiata dan perusahaan- perusahaan lain.
Di lingkungan bisnis, suksesi kerap berlangsung dalam suasana
yang senyap, tanpa rebut-ribut dan ramai-ramai. Itu karena di sana ada
kebajikan seorang pemimpin atau virtues
leadership. Kalau saja lingkungan politik kita meniru lingkungan bisnis.
Barangkali nature lingkungan politik memang lebih gaduh. Tapi, kita bisa
menilai antara gaduh yang berbobot dan yang asal ribut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar