Presiden,
Petugas Partai atau Konstitusi?
Andi Irmanputra Sidin ; Ahli Hukum Konstitusi/Tata Negara
|
MEDIA INDONESIA, 16 April 2015
KETUA Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri dalam pidato pembukaan Kongres IV PDIP di Bali menyinggung
banyak hal. Yang paling berkesan, pidato itu memiliki perspektif konstitusi
dan konstitusionalisme yang mewah. Dalam pidato tersebut ada beberapa
pernyataan yang sangat menarik untuk perlu saya kutip kembali secara lebih
lengkap.
“Saudara-saudara sekalian, kepeloporan Indonesia di atas, hanya
terjadi karena semangat juang. Mereka berjuang dengan penuh keyakinan, tanpa
terpengaruh oleh opini yang dipublikasikan. Inilah dasar-dasar kepemimpinan
Indonesia. Kepemimpinan yang menyatu dengan rakyat, dan pada saat bersamaan, setia
pada konstitusi. Kesetiaan pada konstitusi ini sifatnya mutlak. Pemimpin
memang harus menjalankan kewajiban konstitusionalnya tanpa menghitung apa
akibatnya.“
Ucapan Megawati itu saya yakin
bukan hanya pemanis bibir, bahwa sejak reformasi 1998, ia salah satu presiden
yang paling menonjol memiliki karakter kuat dalam menjalankan kekuasaan
pemerintahannya. Sependek pengetahuan, saya belum
pernah tahu bahwa Megawati ketika menjadi presiden tiba-tiba
mengubah apa yang sudah diputuskannya karena terjadi serangan opini
terhadapnya, dan kemudian menunjuk seolah bawahannyalah yang bersalah. Apalagi jika hanya
terjadi perbedaaan pendapat atas keputusan yang sudah dikeluarkannya. Megawati tidak pernah mencabut keputusannya atas dasar opini
yang berbeda terjadi di publik. Megawati adalah pemimpin yang selalu teguh
dengan keyakinannya, meski saya atau mungkin sebagian berbeda pendapat dengan
keputusan tersebut.
Di sinilah saya pernah katakan
sebelum Pemilu 2014, bahwa demokrasi yang tumbuh di era derasnya irisan industri
dan informasi yang cenderung bergerak `liar', maka demokrasi konstitusional
kita mem butuhkan sosok presiden yang berkarakter kuat bahkan kalau perlu
`kepala batu' (bugis: matedde ati) yang penting tidak mabecco (sangat angkuh,
angkara). Sosok presiden inilah yang bisa menjadi penyeimbang implikasi arus
demokrasi itu yang bisa jadi mengancam urat nadi bahkan jantung dari
konstitusi itu sendiri.
Di bagian lain dalam pidatonya
Megawati mengatakan, “Saudara-saudara,
hal lain yang perlu saya sampaikan di sini.... Kesadaran awal ketika saya
memberikan mandat kepada Bapak Jokowi adalah komitmen ideologis yang
berpangkal dari kepemimpinan Trisakti. Suatu komitmen untuk menjalankan
pemerintahan negara yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Konsepsi ini
adalah jawaban atas realitas Indonesia yang begitu bergantung dengan bangsa
lain. Konsepsi Trisakti inilah yang menjadi kepentingan utama partai.
Pekerjaan rumah yang lainnya dalah bagaimana mengatur mekanisme kerja antara
pemerintah dan partai politik pengusungnya. Hal ini penting, mengingat
hubungan keduanya adalah kehendak dan prinsip dalam demokrasi itu sendiri.
Landasan konstitusionalnya pun sangat jelas.... Hukum demokrasilah yang
mengatur itu, bahwa presiden dan wakil presiden memang sudah sewajarnya
menjalankan garis kebijakan politik partai. Untuk itulah, mengapa kebijakan
partai menyatu dengan kehendak rakyat, dan mengapa partai harus mengorganisir
rakyat sehingga suara-suara yang tersembunyi sekalipun dapat disuarakan
partai.... Atas dasar konstitusi pula, saya berulang kali menyampaikan kepada
Presiden, pegang teguhlah konsitusi itu. Berpijaklah pada konsitusi karena
itulah jalan kenegaraan.Penuhilah janji kampanye-mu, sebab itulah ikatan suci
dengan rakyat. Dalam kaitannya dengan tugas konstitusi pula, PDI Perjuangan
mengingatkan kembali terhadap tugas pemimpin nasional untuk melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.“ (http:// http://www.tribunnews.com/nasional/2015/04/09/
pidato-lengkap-megawati-soekarnoputri-dikongres-iv-pdip)
Dalam pidato itu kemudian
istilah `petugas partai' itu dimunculkan kembali, yang kemudian memang
menimbulkan impresi bahwa presiden akan menjadi intrumen oligarki partai atau
instrumen ketua umum partai dalam melampiaskan ambisi pribadinya. Dalam konteks
tersebut maka presiden sebagai petugas partai memang `haram adanya'. Bahkan
saya pernah mengatakan sebelum Pemilu 2014 lalu bahwa kalau presiden harus
diperhadap-hadapkan dalam sebuah pengambilan kebijakan antara kepentingan
konstitusi dan kepentingan partai, apalagi cuma kepentingan pribadi ketua
umumnya yang bertentangan dengan konstitusi, maka konstitusi akan
menghalalkan presiden tersebut menjadi `Malin Kundang' alias anak durhaka
bagi partai pengusungnya sendiri, bahkan ketua umum partainya.
Bagaimanapun presiden adalah
petugas konstitusi yang akan telah berjanji di hadapan rakyat seluruh
Indonesia bahwa akan menjalankan kewajibannya sebagai presiden sesuai
konstitusi selurus-lurusnya (Pasal 9 UUD 1945). Oleh karena itu, kalau
kepentingan partai berhadap-hadapan dengan kepentingan konstitusi, ketika
partai lebih menyatu dengan arus opini dan per sepsi politik yang implikasi
mengancam konstitusi, maka presiden harus lebih memilih mengagungkan
konstitusi.
Dalam konteks ini, tampaknya
sikap Megawati ini tidak ada yang berhadap-hadapan dengan konstitusi, karena
ketika kepentingan ideologis partai berupa kepemimpinan Trisakti--berdikari,
berdaulat, dan berkepribadian--agar kita tidak menjadi bangsa yang bergantung
pada bangsa lain hendak disematkan di pundak Presiden Jokowi, tentunya saya
pun dan mungkin masih banyak lagi rakyat Indonesia di luar partai akan berada
di belakang barikade Presiden guna pemenuhan kepentingan itu. Bagaimanapun
berdikari, berdaulat, dan berkepribadian seperti denyut nadi dan darah yang
mengalir dalam konstitusi kita.
Dalam konteks kepentingan
ideologis itu maka presiden dan kabinetnya disebut petugas partai tidak perlu
diperhadap-hadapkan dengan rakyat, kecuali petugas partai itu sudah bergeser
dari arus konstitusi itu sendri. Apalagi
Megawati sendiri menyerukan agar Presiden berpegang teguh kepada konstitusi,
karena itu sesungguhnya adalah jalan kenegaraaan.
Oleh karena itu, kita semua berhak mengatakan bahwa Presiden adalah petugas
kita, termasuk parpol pengusungnya, nonpengusungnya, bahkan Megawati itu
sendiri.
Namun, sebelum akhir, saya pun
perlu menyampaikan bahwa tidak perlu khawatir dengan deparpolisasi.
Bagaimanapun rakyat melalui konstitusi seluruhnya sudah sepakat guna
memandatkan hanya kepada parpol untuk setiap lima tahun mencari dan
menyajikan prasmanan kader-kader pemimpin negara (Pasal 6A dan 22E UUD 1945).
Sebaliknya, parpol pun tidak
perlu matempo (bugis: angkuh) bahwa
orang yang nonparpol kemudian tiba-tiba berada di seputar kekuasaan negara dan
serta-merta bisa distigma sebagai penumpang gelap, oportunis, atau penyalip
di tikungan.
Hal ini juga sangat tidak diinginkan oleh konstitusi. Yang penting
jangan sampai orang tersebut mengoyak konstitusi
dengan motif melakukan penguasaan atas sumber daya, bumi, air, kekayaaan
alam, serta cabang produksi bangsa kita. Hal itu yang harus bersama kita
waspadai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar