Swasembada
Gula, Petani, dan Hilirisasi
Misbahul Huda ; Dirut PT Energi Agro Nusantara
|
JAWA POS, 15 April 2015
MENJELANG musim giling 2015, Menteri BUMN Rini Soemarno dalam
kunjungannya ke Jember pekan lalu mengajak petani tebu dan direksi pabrik
gula untuk mewujudkan swasembada gula pada 2019. Imbauan tersebut seolah
hendak mengingatkan kembali sasaran pengembangan industri gula (2015–2019).
Yaitu, pemenuhan berbagai jenis gula dari produksi dalam negeri.
Tidak ada yang aneh dengan ajakan tersebut. Namun, menjadi
terasa klise karena disampaikan di saat industri gula nasional yang semakin
terdesak oleh gula impor. Harga gula jatuh terkena imbas rembesan impor gula
rafinasi, yang sengaja ’’dibocorkan’’ distributor.
Saat ini ada 11 pabrik gula rafinasi dengan kapasitas lebih dari
5 juta ton raw sugar/tahun yang keseluruhannya dipenuhi dari impor.
Akibatnya, output yang dihasilkan jauh melampaui kebutuhan industri makanan
dan minuman dalam negeri yang hanya 3 juta ton/tahun. Dengan demikian, rembesan
gula rafinasi ke pasar gula konsumsi tak bisa dihindari dan menekan harga
gula konsumsi. Kini, para petani dan pabrik gula mulai mencemaskan masa depan
dunia pertebuan yang semakin lama semakin meredup (sun-set industry).
Dengan harga yang tertekan, margin pengusahaan gula tidak cukup
untuk ekspansi, pendapatan yang dihasilkan hanya cukup untuk gaji karyawan
dan operasional perusahaan. Di sisi lain, kepentingan petani juga tak bisa
diabaikan. Sebab, gula lokal dihasilkan pabrik-pabrik konvensional yang
sebagian besar (95 persen) mengandalkan bahan baku dari tebu rakyat melalui
program kemitraan (partnership).
Tangis Petani
Sebagai komoditas yang highly regulated, industri tebu memang
banyak muatan politisnya. Di satu sisi, biaya produksi gula terus meningkat.
Di sisi lain, harga gula tidak bisa ditarget pada angka yang menjanjikan
karena mempertimbangkan daya beli konsumen. Setiap harga gula bergerak naik,
pemerintah melakukan intervensi dengan membuka keran impor. Apalagi, gula
impor ini ’’lebih manis’’ marginnya ketimbang gula lokal sehingga banyak
semut berebut berkoloni membentuk mafia.
Puncaknya terjadi pada giling 2014 lalu ketika harga gula petani
hanya laku Rp 7.800–Rp 7.950 per kg. Harga tersebut jauh di bawah biaya pokok
produksi sebesar Rp 8.791 atau harga patokan pembelian yang ditetapkan
pemerintah sendiri sebesar Rp 8.500 per kg. Bandingkan dengan biaya produksi
di Thailand yang hanya Rp 4.500 per kg, sampai di Indonesia menjadi Rp 6.500
per kg.
Jika skema kemitraan petani dengan pabrik gula adalah bagi
hasil, berapa pun komposisinya, yang terjadi adalah bagi rugi, baik pabrik
gula maupun petani. Jika petani terus merugi, pastilah mereka enggan menanam
tebu lagi.
Hilirisasi yang
Terintegrasi
Industri gula di Indonesia telah eksis ratusan tahun silam. Kita
pernah tercatat sebagai eksporter gula terbesar kedua setelah Kuba pada
dekade 1930-an. Pada masa itu, produksi gula mencapai 3 juta ton, angka yang
tak pernah lagi dicapai saat ini. Negara-negara produsen utama gula seperti
Brasil, India, dan Thailand dulu berada di bawah Indonesia, tapi kini
negara-negara itu menyalip. Lagi-lagi kita harus meratapi ketertinggalan.
Program revitalisasi industri gula lokal sudah dibahas dalam
pelbagai kesempatan, namun berkali-kali pula implementasinya lunglai di
tengah jalan. Bahkan, beberapa pabrik gula (PG) telah melakukan revitalisasi
dengan melakukan transformasi total baik off-farm maupun on-farm, namun
hasilnya belum menggembirakan. Bukannya revitalisasi tidak perlu, tapi tidak
cukup hanya dengan itu. Sebab, sehebat apa pun kita, melakukan revitalisasi
tetap tidak akan mampu bersaing dengan harga gula impor yang sudah menerapkan
strategi hilirisasi yang terintegrasi.
Sudah menjadi tren di dunia pertebuan bahwa pabrik gula tidak
lagi berharap keuntungan dari pengolahan tebu menjadi gula semata, tetapi
lebih pada pengembangan (diversifikasi) di sisi hilirnya. Yakni, dengan
mengolah produk turunan tebu berupa bagasse menjadi co-generator dan tetes
tebu (molasses) menjadi bioetanol, biogas, dan recovery CO2. Oleh karena itu,
mau tidak mau industri gula nasional harus melakukan diversifikasi dengan
membangun industri berbasis tebu (sugarcane based industry) yang terpadu dan
terintegrasi.
Terobosan PTPN X dalam mengimplementasikan diversifikasi patut diapresiasi.
Di antaranya, dengan membangun pabrik bioetanol fuel-grade, merevitalisasi
pabrik gula, memproduksi pellet, dan membuat co-generation untuk memproduksi
listrik. Meski langkah hilirisasi sudah dimulai, bukan berarti semua urusan
selesai. Masih banyak masalah, terutama karena kebijakan pemerintah yang
angin-anginan, minus konsistensi dan pemihakan.
Masalah yang sama sebenarnya tidak hanya dihadapi industri gula
di Indonesia. Di negara-negara lain, kondisi serupa juga terjadi. India,
misalnya. Pemerintah mematok harga jual gula agar terjangkau oleh masyarakat
bawah. Untuk menghindari kerugian petani, harga tebu (cane purchasing) di
India dipatok USD 40/ton, harga jual gula di tingkat pabrik USD 400/ton.
Jadi, ketemu ’’balance’’-nya pada rendemen 10 persen. Dengan demikian,
industri gula hanya akan bisa bertahan dan berkembang bila melakukan
hilirisasi. Seolah-olah PG tidak boleh mengambil keuntungan dari pengolahan
gula, tetapi PG hanya membantu petani memproses tebu menjadi gula dengan
ongkos proses berupa produk turunan: bagasse dan molasses. Keuntungan PG
didapatkan dari memproses produk turunan menjadi bioetanol, co-generation,
biogas, dan lain-lain.
Kini, India sukses menjadi produsen gula terbesar kedua di
dunia. Kiat sukses hilirisasi ala India ini mestinya menginspirasi industri
gula Indonesia untuk mengikuti jejak suksesnya. Yaitu, melakukan hilirisasi
secara terintegrasi, baik lokasi, kerja sama operasi, maupun keuangan yang
terkonsolidasi. Diakui, dengan strategi hilirisasi, otomatis akan terjadi
revitalisasi pengolahan gulanya.
The last but not least adalah komitmen dan pemihakan pemerintah RI pada industri gula
maupun pemanfaatan produk hilirnya (biofuel, cogen, dan biogas). Tanpanya,
swasembada gula hanya akan menjadi wacana.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar