Era
Baru Ujian Nasional
Ng Tirto Adi MP ; Doktor Manajemen Pendidikan;
Dosen Program Pascasarjana UNIPA
Surabaya
|
JAWA POS, 15 April 2015
MULAI Senin (13/4) hingga hari
ini dan besok, seluruh pelajar Indonesia jenjang SMA/MA/SMK sederajat melaksanakan
ujian nasional (unas). Sebagian besar di antaranya menjalani dengan model PBT
(paper based test) atau konvensional menggunakan kertas dan sebagian pelajar
lainnya melakoni dengan model CBT (computer based test) atau online.
Sebagai seorang aktivis yang
telah malang-melintang dalam pemberdayaan masyarakat –seperti Indonesia
Mengajar– Mendikbud Anies Baswedan memenuhi janjinya, yakni tidak menjadikan
unas sebagai prasyarat penentu kelulusan peserta didik, yang selama ini
banyak diperjuangkan para aktivis penentang unas. Berdasar pasal 21
Permendikbud RI Nomor 5 Tahun 2015 dinyatakan bahwa hasil unas digunakan
untuk: a) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, b) pertimbangan
seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, dan c) pertimbangan dalam
pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya
meningkatkan mutu pendidikan.
Banyak kalangan yang menyambut
gembira kebijakan itu, mulai kepala sekolah, guru, orang tua/wali murid,
hingga peserta didik sendiri. Kekhawatiran tidak lulus tidak perlu dirisaukan
lagi. Meski begitu, ada kalangan lain yang mencemaskan adanya penurunan
kualitas lulusan setelah hasil unas tidak lagi dijadikan penentu kelulusan.
Tetap Perlu Semangat Juang
Sekalipun unas tidak lagi
digunakan sebagai penentu kelulusan, tetap perlu disikapi secara
proporsional. Tidak perlu disakralkan dan ditakuti seperti yang selama ini
terjadi, tetapi juga tidak boleh disepelekan atau diremehkan. Setelah
keluarnya Permendikbud 5/2015 tersebut (12 Maret 2015), banyak pihak,
termasuk kepala sekolah, guru, orang tua/wali murid, dan peserta didik, yang
meremehkan unas. Mereka mengetahui, berapa pun nilai yang diperoleh, siswa
akan dinyatakan lulus (pasal 2 Permendikbud 5/2015) setelah siswa: a)
menyelesaikan seluruh program pembelajaran, b) memperoleh nilai
sikap/perilaku minimal baik, dan c) lulus ujian sekolah/madrasah/pendidikan
kesetaraan.
Meski demikian, yang harus
diingat adalah hasil unas siswa akan dinyatakan dalam bentuk empat kategori.
Yaitu: sangat baik (85 < N < 100); baik (70 < N < 85); cukup (55
< N < 70); atau kurang (0 < N < 55). Untuk jenjang SMA/MA/SMK
sederajat, jika perolehan hasil kurang dari 55 (kategori kurang), siswa akan
melakukan unas perbaikan pada tahun berikutnya. Perolehan nilai terendah
kategori cukup atau ”batas minimum kelulusan” (nilai 55) untuk tahun ini
berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun lalu nilai rata-rata minimum 55
(sebagai batas kelulusan) merupakan NA (nilai akhir) sebagai hasil gabungan
antara NS (nilai sekolah) dan capaian nilai unas. NS diperoleh dari rata-rata
nilai rapor (NR) dan NUS (nilai ujian sekolah). Sementara itu, untuk nilai 55
(nilai terendah kategori cukup) pada tahun ini adalah murni dari hasil unas.
Jadi, mendapatkan nilai 55 pada tahun ini sesungguhnya ”lebih berat”
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Untuk itulah, semangat belajar
dan daya juang (resilience) siswa
untuk mendapatkan hasil terbaik dengan cara-cara jujur dan bermartabat tetap
tidak boleh surut, tetapi justru harus terus dikobarkan. Sebab, penerimaan
mahasiswa baru jenjang PT (dari lulusan SMA/MA/SMK sederajat) atau penerimaan
siswa baru SMA/MA/SMK sederajat (dari lulusan SMP/MTs sederajat) akan sulit
bagi siswa dengan nilai unas kategori kurang.
Ujian Kepercayaan
Tidak digunakannya hasil unas
sebagai penentu kelulusan juga berimplikasi pada penyimpanan dan
pendistribusian perangkat naskah unas. Pada tahun-tahun sebelumnya, ketika
hasil unas digunakan sebagai penentu kelulusan, dalam penyimpanan perangkat
naskah, ada semacam ”keharusan” untuk disimpan di polres atau polsek tiap
kabupaten/kota sebelum naskah digunakan.
Tetapi, kini penyimpanan
perangkat naskah dapat dilakukan di mana saja (bisa di dinas pendidikan
kabupaten/kota, UPTD cabang dinas pendidikan kecamatan atau di subrayon,
misalnya). Yang penting, aspek keamanan dan kerahasiaan tetap bisa
dipertanggungjawabkan. Pada saat pelaksanaan unas, di satuan pendidikan
(sekolah/madrasah), tidak lagi diperlukan tenaga pengamanan dari kepolisian
maupun pengawas independen dari perguruan tinggi, tetapi cukup dari panitia
subrayon dan satuan pendidikan secara silang antarsekolah/madrasah atau
silang antarsubrayon.
Semangat Mendikbud untuk
mengembalikan satuan pendidikan sebagai institusi otonom yang dapat dipercaya
dan bertanggung jawab hendaknya dapat dimaknai sebagai test of trust (ujian kepercayaan) bagi semua pihak, terutama
insan-insan pendidikan, mulai tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, sampai
dengan tingkat satuan pendidikan. Insan-insan pendidikan tertantang untuk
membuktikan amanat atau kepercayaan yang telah diberikan itu, sementara pihak
kepolisian diminta untuk ”legawa” tidak menjadi satuan pengamanan di
sekolah/madrasah.
Karena itu, dugaan jual-beli
kunci jawaban unas yang terjadi di Kota Mojokerto (JP, 10/4/2015) semoga
sebatas dugaan dan bukan sebuah bentuk ”rekayasa isu” yang dapat memengaruhi
kelancaran dan keamanan jalannya unas. Karena jika berita atau dugaan itu
betul terbukti, tesis Francis Fukuyama (1995) dalam bukunya, Trust: The Social Virtues and The Creation
of Prosperity, yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia tergolong kelompok
masyarakat yang berada pada level ”zero
trust society” akan sulit terbantahkan. Membangun kepercayaan adalah hal
yang tidak mudah. Dan mempertahankan, apalagi mengembalikan kepercayaan,
adalah suatu hal yang jauh lebih tidak mudah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar