Menagih
Janji Energi Alternatif
Hendri Saparini ; Direktur Eksekutif Center of Reform on
Economics Indonesia
|
MEDIA INDONESIA, 15 April 2015
SAAT ini harga BBM, terutama
premium dan solar, telah ditetapkan dengan mengikuti pergerakan nilai tukar
rupiah dan harga minyak mentah dunia. Akibatnya harga BBM akan terus
mengalami fluktuasi harga sejalan dengan naik turunnya harga minyak dunia dan
kurs.
Pilihan kebijakan itu memang
benar telah mampu menurunkan alokasi APBN untuk subsidi BBM dengan sangat
signifikan. Namun, yang terjadi sebatas perpindahan beban. Ongkos yang semula
ditang gung APBN akan digantikan sektor usaha dan masyarakat karena kebijakan
tersebut menekan daya beli masyarakat. Juga menekan daya saing barang dan
jasa karena industri terpaksa membeli energi dengan harga lebih tinggi karena
belum dibangun alternatif energi lain yang lebih murah.
Bila kita ingat, setiap kali
diskusi tentang energi alter natif, subsidi BBM selalu dihujat sebagai
penyebab utama tidak berkembangnya berbagai energi alternatif.Selalu
dikampanyekan bahwa selama pemerintah masih menyubsidi BBM, energi alternatif
tidak akan pernah berkembang. Kalau memang subsidi BBM benar sebagai penyebab
uta manya, semestinya saat pemerintah telah mencabut subsidi BBM, per mintaan
dan proyek pembangunan energi alternatif akan marak.
Namun, ternyata tidak. Untuk
energi alternatif bahan bakar na bati (BBN) misalnya, diberitakan Dirjen
Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi melaporkan adanya penurunan
serapan BBN di triwulan I 2015 sebesar 40% jika dibandingkan dengan tahun
lalu. Artinya keputusan pemerin tah tentang mandatory B-15, yakni kebijakan
kewajiban bauran 15% BBN dalam 1 liter solar belum dapat berjalan mulus.
Memang ada beberapa penyebab
penurunan serapan ini. Pertama karena konsumsi energi menurun akibat
perlambatan pertumbuhan yang terjadi di berbagai sektor. Kedua karena
kebijakan pencabutan subsidi BBM sehingga harga solar beberapa kali mengalami
penu runan saat harga minyak mentah turun. Ketiga, karena banyak produsen
yang tidak dapat bertahan.
Tidak berdiri sendiri
Data tersebut menjelaskan bahwa
membangun energi alternatif perlu banyak syarat, antara lain harus ada visi
yang jelas, political will, dan
dukungan kebijakan komprehensif dari pemerintah. Bila pemerintah ingin energi
BBN menjadi prioritas, semua kebijakan pemerintah, baik jangka pendek maupun
jangka panjang, harus diarahkan untuk mewujudkan target tersebut.
Sayangnya kebijakan komprehensif
belum berjalan. Sebagai misal dalam paket enam kebijakan ekonomi Presiden
Jokowi-JK Maret lalu. Untuk mengurangi tekanan rupiah lewat pengurangan impor
solar, pemerintah hanya mengulang kebijakan kewajiban B-15 yang pernah
dikeluarkan di era Pak SBY. Akan tetapi, tidak ada perbaikan kebijakan dengan
menyiapkan kebijakan pendukungnya.
Padahal, kegagalan kebijakan itu antara
lain disebabkan tidak adanya dukungan kebijakan jaminan pasokan CPO. Akibatnya
Pertamina yang mendapat tugas mengalami kesulitan untuk memenuhi target.
Semestinya harus disiapkan kebijakan patokan harga CPO sehingga ada insentif
dari produsen CPO untuk mendukung kebijakan ini. Bila tidak, proyek itu akan
sangat dipengaruhi harga CPO dunia. Tidak ada jaminan pasokan bila harga
dunia naik.
Kalau memang pembangunan BBN
ini prioritas, semestinya pemerintah dalam jangka pendek harus dapat
memainkan instrumen pajak atau instrumen harga untuk menjamin pasok CPO ini.
Dalam jangka panjang, kalau pembangunan biodiesel akan diprioritaskan,
pemerintah juga harus memiliki perencanaan dan strategi implementasi yang
jelas.
Dalam jangka panjang telah ada
dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk BBN, yakni produksi
BBN ditarget 4,3-10 juta kl. Bioetanol sebanyak 0,34-0,93 juta kl. Pendekatan
pembangunan dalam mencapai target menjadi sangat menentukan. Pemerintah dapat
mendorong lewat investasi dalam dan luar negeri perusahaan-perusahaan besar. Berbagai
insentif investasi akan mempercepat pencapaian target.
Namun, bila Pak Jokowi ingin
mewujudkan janji demokrasi ekonomi dalam kebijakan ekonominya, pembangunan
biodiesel dengan mengikutkan petani-petani kecil dapat menjadi salah satu
wujud dari pembangunan ekonomi kerakyatan. Menyerap CPO yang diproduksi para
petani akan mendorong peningkatan kesejahteraan petani sekaligus mendukung
penciptaan pertumbuhan ekonomi yang inklusif.
Bila BBN berbasis CPO menjadi
prioritas, pemerintah pusat dapat bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk
membangun megaproyek BBN. Syaratnya ada keberlanjutan dari proyek itu dan
dukungan kebijakan yang komprehensif. Selain di sisi produksi, perlu juga
dukungan kebijakan di sisi pasar. Selama tidak ada keberpihakan dengan
kebijakan menciptakan pasar, produk energi alternatif itu akan terus bersaing
harga dengan energi lain terutama energi fosil.
Bila janji telah diberikan,
rencana telah dibuat, tinggal kesungguhan dari Presiden Jokowi untuk segera
menggerakkan seluruh kekuatan yang ada untuk segera membangun energi
alternatif. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga untuk
memperbaiki struktur ekonomi. Tidak hanya basis nabati, tetapi juga basis
sumber daya lain, seperti air, matahari, dan angin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar