Rabu, 01 April 2015

Sekali Lagi tentang Ujian Nasional

Sekali Lagi tentang Ujian Nasional

Gatot Subroto  ;  Penulis banyak mencermati pendidikan
KORAN JAKARTA, 28 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) selalu menjadi isu menarik setiap tahun. Siapa diuntungkan dan dirugikan? Orangtua, siswa, atau  politisi?  Pelaksanaan  UN  April ini  tahun ajaran 2014/2015  sangat berbeda dengan tahun-tahun lalu.  Indikator  keberhasilan pendidikan tidak hanya  UN yang menitikberatkan pada siswa semata, tetapi juga  memperhatikan  faktor-faktor  seperti guru dan sekolah.

Mendikbud Anies Baswedan memutuskan untuk mencabut UN dan  tidak menjadikannya sebagai penentu kelulusan.  UN tetap  diselenggarakan, namun fungsinya  untuk pemetaan dan evaluasi.  Bahkan mulai tahun ini ada model teknis ujian baru di mana  pengerjaan soal secara online atau computer based test (CBT) yang diujicobakan secara terbatas pada 500 ribu siswa SMA dan SMK. Menurut data Kemendikbud,  826 sekolah akan mengikuti UN tahun ini  berbasis komputer.  Dinas Pendidikan diminta  verifikasi  kelayakannya.

Pro kontra UN sudah sangat sering dibahas. Secara ringkas, ada yang mengatakan, soal UN kurang bermutu. Pengamat lain  menuntut UN dihapus. Kemudian, pemerhati berikutnya  memandang UN  sangat mahal tapi  tidak bisa menjadi  barometer mutu pendidikan.

UN belum dapat menjawab secara tegas sejumlah pertanyaan misalnya: Apakah pendidikan kita bermutu? Apakah mutu pendidikan meningkat setiap tahun? Apakah mutu pendidikan daerah tertentu lebih baik dari daerah lain? Apalagi jika harus menjawab apakah mutu pendidikan kita lebih baik dari negara lain? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin dirasa penting menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 yang berbasis otonomi daerah. Atau mungkin memerlukan “benchmarking” antara pendidikan antar-daerah atau antar-negara sekalipun.

Apakah kebijakan UN bukan sebagai penentu kelulusan sepenuhnya menjawab masalah yang selama ini diperdebatkan? Ada kesan bahwa kebijakan ini telah melenceng dari persoalan sebenarnya. Bahkan telah mereduksi permasalahan UN yang sesungguhnya, menjadi hanya isu  kelulusan dan biaya.

Lantas apa yang sebenarnya menjadi persoalan terhadap UN? Jawaban atas polemik tersebut bukan pilihan  dihapus atau tidak.  UN merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional (PP Nomor 19/2005 SNP, Pasal 68 huruf c perlu direvisi). Yang jelas UN harus terus diperbaiki, tetapi mengapa dan bagaimana memperbaikinya adalah pertanyaan yang hampir luput dari perhatian dalam polemik.

UN dapat dipertahankan jika dapat memenuhi tiga fungsi yang integral. Pertama,  sebagai penentuan kelulusan. Yaitu menentukan secara obyektif   peserta ujian  lulus atau tidak, dan mencapai nilai tertentu. Lulus UN  juga berarti  telah mencapai standar kompetensi lulusan/SKL. Dalam PP No 19/2005, Pasal 25 ayat (1) dikatakan, “Standar kompetensi lulusan  sebagai pedoman penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.”

Siswa  telah mencapai SKL  atau menguasai kemampuan dan perilaku yang diharapkan. Batas kelulusan UN harus mampu memprediksi keberhasilan belajar, sehingga nilainya  sebagai dasar  menetapkan batas lulus dan penerimaan pendidikan  jenjang berikutnya. Ijazah dan sertifikat  lulusan  harus menggambarkan standar kemampuan  baik untuk bekerja maupun melanjutkan pendidikan.

Fungsi UN

Kedua, fungsi UN untuk pemetaan mutu pendidikan. Dia  menjadi sarana  menentukan status atau tingkatan mutu pendidikan. Artinya, semakin tinggi rata-rata nilai UN tambah baik  mutu pendidikan. Hanya, tinggi rendahnya  diukur dari mana? Opsinya ada dua. Yaitu perbandingan antara nilai UN dan kriteria (criterion reference), serta  perbandingan antardaerah atau antarnegara (norm reference).

Opsi pertama mengandung risiko manipulasi dalam penentuan kriteria yang bisa diturunkan jika hasil UN-nya ingin kelihatan tinggi. Sedangkan opsi kedua juga mengandung bahaya  karena soal UN harus setara antardaerah atau antarnegara. Namun, opsi kedua lebih obyektif, sehingga  dapat diketahui penurunan atau peningkatan mutu pendidikan setiap waktu. Selain itu,  perbandingan mutu pendidikan antardaerah dapat dipantau.

Atas dasar itu, pemerintah harus mengatur subsidi sebagai affirmative policy bagi daerah-daerah tertentu sebagai dorongan  meningkatkan mutu pendidikan. Jika mutu soal UN setara  dengan  negara lain, bisa untuk menentukan  mutu pendidikan  tanah air dengan global.

Ketiga, fungsi umpan balik bagi penyempurnaan proses pendidikan atau evaluasi,  jika hasil UN obyektif. Variabel yang diukur  dan dianalisis  seperti  sekolah, guru, proses, hasil, manajemen, dan latar belakang siswa. Ini  dapat menjelaskan tinggi rendahnya nilai UN  lulusan. Dengan demikian,  UN  dapat menjadi  umpan balik  bagi pengelola pendidikan  setiap daerah dan  faktor-faktor  yang perlu diperbaiki.

Penyempurnaan terus menerus UN sebaiknya diarahkan pada penguatan ketiga fungsi tersebut di atas. Fungsi UN sebagai penentuan kelulusan adalah yang paling krusial. Persoalannya masih tetap pada keobyektifan dalam penentuan kelulusan berikut nilainya. Untuk menghindari adanya intervensi nilai UN, pelaksanaan UN dalam kaitannya dengan fungsi pertama sebaiknya dilakukan oleh lembaga pengujian yang independen dan profesional, agar hasilnya semakin obyektif dan terpercaya.

Untuk memetakan  mutu pendidikan nasional, UN sebaiknya tetap dilakukan  pemerintah pusat guna  mengukur secara teliti serta mengembangkan soal-soal ujian yang valid  dan reliabel. Daerah juga bisa mengadakan UN untuk  umpan balik  penyempurnaan sistem pendidikan.

Kemdikbud perlu mengembangkan kemampuan seluruh daerah untuk menyelenggarakan  ujian akhir yang tidak hanya memberi tes pelajaran, tetapi juga mengukur variabel-variabel penentu prestasi belajar. Sumber daya manusia  daerah perlu dilatih menganalisis hubungan antarvariabel. Dengan demikian,  setiap daerah dapat menentukan faktor-faktor  yang perlu diperbaiki.

UN online  tujuannya baik, tapi sayang baru diikuti  826 sekolah. Padahal ada 50.515 SMP, 18.552 SMA/MA, dan 10.362 SMK. Ini  mengindikasikan  minimnya sosialisasi  dan  menunjukkan tidak siap dari sisi   sarana dan parasarana untuk menunjang  UN onlie.

Maka, penyelenggaraan UN online tidak boleh  menyulitkan siswa. Sebab  infrastruktur dan variasi pengetahuan siswa dalam menggunakan teknologi informasi  sangat berbeda antardaerah dan antarsiswa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar