Sekali Lagi tentang Ujian Nasional
Gatot Subroto
; Penulis
banyak mencermati pendidikan
|
KORAN
JAKARTA, 28 Maret 2015
Penyelenggaraan
Ujian Nasional (UN) selalu menjadi isu menarik setiap tahun. Siapa
diuntungkan dan dirugikan? Orangtua, siswa, atau politisi?
Pelaksanaan UN April ini
tahun ajaran 2014/2015 sangat
berbeda dengan tahun-tahun lalu.
Indikator keberhasilan
pendidikan tidak hanya UN yang
menitikberatkan pada siswa semata, tetapi juga memperhatikan faktor-faktor seperti guru dan sekolah.
Mendikbud
Anies Baswedan memutuskan untuk mencabut UN dan tidak menjadikannya sebagai penentu
kelulusan. UN tetap diselenggarakan, namun fungsinya untuk pemetaan dan evaluasi. Bahkan mulai tahun ini ada model teknis
ujian baru di mana pengerjaan soal
secara online atau computer based test (CBT) yang diujicobakan secara
terbatas pada 500 ribu siswa SMA dan SMK. Menurut data Kemendikbud, 826 sekolah akan mengikuti UN tahun
ini berbasis komputer. Dinas Pendidikan diminta verifikasi
kelayakannya.
Pro kontra UN
sudah sangat sering dibahas. Secara ringkas, ada yang mengatakan, soal UN
kurang bermutu. Pengamat lain menuntut
UN dihapus. Kemudian, pemerhati berikutnya memandang UN
sangat mahal tapi tidak bisa
menjadi barometer mutu pendidikan.
UN belum
dapat menjawab secara tegas sejumlah pertanyaan misalnya: Apakah pendidikan
kita bermutu? Apakah mutu pendidikan meningkat setiap tahun? Apakah mutu
pendidikan daerah tertentu lebih baik dari daerah lain? Apalagi jika harus
menjawab apakah mutu pendidikan kita lebih baik dari negara lain? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin dirasa penting menghadapi
Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun 2015 yang berbasis otonomi daerah. Atau
mungkin memerlukan “benchmarking” antara pendidikan antar-daerah atau
antar-negara sekalipun.
Apakah
kebijakan UN bukan sebagai penentu kelulusan sepenuhnya menjawab masalah yang
selama ini diperdebatkan? Ada kesan bahwa kebijakan ini telah melenceng dari
persoalan sebenarnya. Bahkan telah mereduksi permasalahan UN yang
sesungguhnya, menjadi hanya isu
kelulusan dan biaya.
Lantas apa
yang sebenarnya menjadi persoalan terhadap UN? Jawaban atas polemik tersebut
bukan pilihan dihapus atau tidak. UN merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dalam sistem pendidikan nasional (PP Nomor 19/2005 SNP, Pasal 68 huruf c
perlu direvisi). Yang jelas UN harus terus diperbaiki, tetapi mengapa dan
bagaimana memperbaikinya adalah pertanyaan yang hampir luput dari perhatian
dalam polemik.
UN dapat
dipertahankan jika dapat memenuhi tiga fungsi yang integral. Pertama, sebagai penentuan kelulusan. Yaitu
menentukan secara obyektif peserta
ujian lulus atau tidak, dan mencapai
nilai tertentu. Lulus UN juga berarti telah mencapai standar kompetensi
lulusan/SKL. Dalam PP No 19/2005, Pasal 25 ayat (1) dikatakan, “Standar
kompetensi lulusan sebagai pedoman
penilaian dalam penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan.”
Siswa telah mencapai SKL atau menguasai kemampuan dan perilaku yang
diharapkan. Batas kelulusan UN harus mampu memprediksi keberhasilan belajar,
sehingga nilainya sebagai dasar menetapkan batas lulus dan penerimaan
pendidikan jenjang berikutnya. Ijazah
dan sertifikat lulusan harus menggambarkan standar kemampuan baik untuk bekerja maupun melanjutkan
pendidikan.
Fungsi UN
Kedua, fungsi
UN untuk pemetaan mutu pendidikan. Dia
menjadi sarana menentukan
status atau tingkatan mutu pendidikan. Artinya, semakin tinggi rata-rata nilai
UN tambah baik mutu pendidikan. Hanya,
tinggi rendahnya diukur dari mana?
Opsinya ada dua. Yaitu perbandingan antara nilai UN dan kriteria (criterion reference), serta perbandingan antardaerah atau antarnegara (norm reference).
Opsi pertama
mengandung risiko manipulasi dalam penentuan kriteria yang bisa diturunkan
jika hasil UN-nya ingin kelihatan tinggi. Sedangkan opsi kedua juga
mengandung bahaya karena soal UN harus
setara antardaerah atau antarnegara. Namun, opsi kedua lebih obyektif,
sehingga dapat diketahui penurunan
atau peningkatan mutu pendidikan setiap waktu. Selain itu, perbandingan mutu pendidikan antardaerah
dapat dipantau.
Atas dasar
itu, pemerintah harus mengatur subsidi sebagai affirmative policy bagi
daerah-daerah tertentu sebagai dorongan
meningkatkan mutu pendidikan. Jika mutu soal UN setara dengan
negara lain, bisa untuk menentukan
mutu pendidikan tanah air
dengan global.
Ketiga,
fungsi umpan balik bagi penyempurnaan proses pendidikan atau evaluasi, jika hasil UN obyektif. Variabel yang
diukur dan dianalisis seperti
sekolah, guru, proses, hasil, manajemen, dan latar belakang siswa. Ini dapat menjelaskan tinggi rendahnya nilai
UN lulusan. Dengan demikian, UN
dapat menjadi umpan balik bagi pengelola pendidikan setiap daerah dan faktor-faktor yang perlu diperbaiki.
Penyempurnaan
terus menerus UN sebaiknya diarahkan pada penguatan ketiga fungsi tersebut di
atas. Fungsi UN sebagai penentuan kelulusan adalah yang paling krusial.
Persoalannya masih tetap pada keobyektifan dalam penentuan kelulusan berikut
nilainya. Untuk menghindari adanya intervensi nilai UN, pelaksanaan UN dalam
kaitannya dengan fungsi pertama sebaiknya dilakukan oleh lembaga pengujian
yang independen dan profesional, agar hasilnya semakin obyektif dan
terpercaya.
Untuk
memetakan mutu pendidikan nasional, UN
sebaiknya tetap dilakukan pemerintah
pusat guna mengukur secara teliti
serta mengembangkan soal-soal ujian yang valid dan reliabel. Daerah juga bisa mengadakan
UN untuk umpan balik penyempurnaan sistem pendidikan.
Kemdikbud
perlu mengembangkan kemampuan seluruh daerah untuk menyelenggarakan ujian akhir yang tidak hanya memberi tes
pelajaran, tetapi juga mengukur variabel-variabel penentu prestasi belajar.
Sumber daya manusia daerah perlu
dilatih menganalisis hubungan antarvariabel. Dengan demikian, setiap daerah dapat menentukan
faktor-faktor yang perlu diperbaiki.
UN
online tujuannya baik, tapi sayang
baru diikuti 826 sekolah. Padahal ada
50.515 SMP, 18.552 SMA/MA, dan 10.362 SMK. Ini mengindikasikan minimnya sosialisasi dan
menunjukkan tidak siap dari sisi
sarana dan parasarana untuk menunjang
UN onlie.
Maka,
penyelenggaraan UN online tidak boleh
menyulitkan siswa. Sebab
infrastruktur dan variasi pengetahuan siswa dalam menggunakan
teknologi informasi sangat berbeda
antardaerah dan antarsiswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar