Rabu, 01 April 2015

Politik dan Reputasi Baik

Politik dan Reputasi Baik

Irwanto  ;  Guru Besar Psikologi Sosial
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
KOMPAS, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Psikologi sosial mempunyai banyak perangkat teoretik untuk menyoroti dan menjelaskan berbagai fenomena politik yang terjadi di Indonesia, terutama di DKI Jakarta. Dalam pertikaian politik di DKI Jakarta, ada pihak yang dianggap sebagai musuh bersama oleh sebagian wakil rakyat semata-mata karena agama atau etniknya. Persoalan ini sesungguhnya telah muncul sejak awal pemilihan gubernur DKI Jakarta, pada penunjukan Basuki Tjahaja Purnama yang mendampingi Joko Widodo.

Ketika wacana ini dikecam habis oleh masyarakat yang mereka wakili, wacananya berubah menjadi persoalan karakter atau sifat-sifat pribadi Basuki yang dituding kasar, gaya kepemimpinannya preman, dan lain-lain.

Apakah pihak-pihak yang mendemonisasi Basuki dalam kenyataannya adalah manusia yang lebih ”baik”, lebih ”bermoral” dan lebih ”bermutu” dibandingkan pihak yang dijadikan demon?

Disonansi kognitif

Kita mulai pembahasan dengan mempersoalkan apakah seseorang yang kelihatannya atau seharusnya baik sebenarnya rentan berbuat tidak terpuji? Lebih jauh lagi, mungkinkah orang berbuat baik untuk membangun reputasi yang melindungi diri dari konsekuensi perbuatan buruk?

Mengapa seorang Ketua Mahkamah Konstitusi atau seorang Menteri Agama melakukan tindakan korupsi yang tercela? Mereka bukan orang yang naif mengenai norma baik dan buruk dan tentu sangat memahami kemudaratan korupsi.

Leon Festinger (1958) menjelaskan fenomena yang disebutnya cognitive dissonance, berarti adanya ketidakselarasan kognitif atau proses berpikir yang mendasari tindakan. Tindakan korupsi dipahami oleh penegak hukum merupakan tindak kejahatan, tetapi ada sudut lain dalam kesadaran rasionalnya yang menyatakan, saya ”boleh” bertindak begitu.

Awalnya disonansi kognitif ini menimbulkan kegelisahan emosional. Namun, jika disonansi itu terulang lagi dan lagi, maka aspek afektif dari tindakan itu menjadi tumpul. Ia akan mencari alasan rasional juga untuk membenarkan tindakannya karena kontrol nuraninya tidak berfungsi.

Dipicu oleh penelitian di bidang perilaku konsumen, perilaku pro sosial, dan perilaku politik, peneliti di Universitas Stanford mencoba mengurai lebih detail peristiwa yang tadinya dianggap sekadar konflik batin. Disonansi kognitif juga dihadapi para ahli gizi dan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang ingin sehat dan mengonsumsimultivitamin pada kenyataannya adalah orang yang sembrono dalam pola makan.Minuman rendah kalori dikonsumsi bersama makanan cepat saji yang berlemak dan tinggi kalori.

Para peneliti (Monin & Miller, 2001; Merritt, Effron & Monin, 2010) menemukan bahwa disonansi yang terjadi bukan hanya persoalan konflik batin atau hati nurani, melainkan juga kesalahan berpikir yang mendorong pilihan rasional yang buruk. Otak dan hatinya menyatakan, semua konsekuensi buruk karena makanan itu tidak akan terjadi karena sudah minum multivitamin dan minum diet drink.

Kasus-kasus perilaku pro sosial atau perbuatan baik yang ternyata berujung perbuatan memalukan berakar sama. Para peneliti menemukan ada kecenderungan manusia untuk mengumpulkan kredit perbuatan baiknya di masa lalu sebagai jaminan untuk perbuatan buruknya saat ini. Ini terjadi karena tindakan manusia umumnya memperhitungkan reaksi orang lain.

Tindakan buruk memancing reaksi negatif dan hukuman dari lingkungan. Tindakan baik memperoleh pujian dan menjadi modal membangun reputasi ”baik” atau moral licenseyang akan melindungi dia ketika perbuatannya buruk, karena orang tidak percaya jika dia bertindak tidak terpuji. Bahkan tindakan tidak terpuji itu dapat dimaafkan (dibersihkan atau moral cleansing) ketika ia tetap loyal pada pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari ”perbuatan baiknya”.

Lahan subur reputasi

Kancah politik di Indonesia merupakan lahan subur bagi para pemburu reputasi baik. Kultur politik kita bersifat kontributif—mereka yang terbanyak menyumbang partai, baik jasa maupun moneter atau yang lainnya, memperoleh hak dan posisi istimewa. Selain itu, kancah politik di Indonesia juga sarat dengan norma budaya balas budi-utang budi yang disebut transaksional. Kabinet Joko Widodo akan menjadi contoh kegagalan dari cita-cita non atau anti transaksional, tetapi berakhir dengan jelas ada unsur-unsur transaksionalnya.

Motivasi untuk berbuat baik ketika masuk ke kancah politik tidak perlu diragukan lagi. Ikut membangun negara dan bangsa merupakan cita-cita yang luhur. Persoalannya adalah apakah yang awalnya baik berakhir baik pula. Perlu dicatat bahwa dalam kultur politik yang ada selama ini ada semacam norma sosial yang menyatakan bahwa setelah bekerja keras saya ”berhak” memetik atau memanfaatkan setiap kesempatan yang muncul karena perjuangan politik saya. Kesempatan yang muncul bukan hanya karier politik, melainkan juga akses pada sumber daya yang berlimpah yang sebagian pengaturannya tergantung mandat politik.

Kombinasi antara norma-norma politik yang kontributif, transaksional, dan terciptanya akses pada sumber daya yang berlimpah menciptakan medan sosial yang sangat licin untuk terjadinya kesalahan berpikir dan menyebabkan terjadinya tindakan tidak terpuji, seperti korupsi. Moral licensing merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi oleh anggota legislatif maupun anggota partai yang telah menjadi birokrat publik. Tertangkapnya mereka disebabkan oleh kesalahan berpikir yang memberikan ”perlindungan palsu” pada dirinya dari hukum yang mereka ciptakan, mereka jalankan, dan menggunakan untuk membela intensi dan cita-citanya.

Kembali kita mengamati apa yang terjadi di seberang Basuki yang menghujat dirinya dengan segala sebutan dan cacian yang pada dasarnya ingin menyatakan bahwa dia bukan pribadi yang pas sebagai pemimpin daerah. Di antara tokoh-tokoh kelompok ini, ada yang secara demonstratif memamerkan kekayaan pribadinya tanpa peduli pernyataan rakyat dan media yang meliputnya karena mereka dianggapnya begitu bodoh. Ada juga yang bermasalah dengan hukum, tetapi terpilih atau jadi incumbent.

Tidak ada pengawasan

Gotong royong untuk membangun groupthink di dalam DPRD DKI terjadi karena moralitas mereka hanya dapat diuji di dalam lembaga itu sendiri, tidak oleh para pakar di luar sana. Maka, cara mereka menghindari isu yang substantif, yaitu perubahan angka-angka dalam RAPBD 2015 versi pemerintah provinsi, adalah dengan membawa persoalan yang tidak relevan, yaitu sikap dan gaya komunikasi Sang Gubernur. Ini karena moralitas di DPRD tidak siap diuji apple to apple dengan moralitas finansial pemprov. Diciptakanlah isu gaya komunikasi dan kesewenangan untuk menghindari persoalan kredibilitas dan akuntabilitas publik lembaga wakil rakyat.

Kemelut yang dihadapi Basuki sebagai kepala pemerintahan provinsi memancing pertanyaan mendasar dan historis. Setelah reformasi politik dan birokrasi tahun 1998, apa sebenarnya yang telah terjadi di negeri ini? Dalam persoalan yang dihadapi Pemprov DKI, bukankah ini bagian dari reformasi birokrasi yang diharapkan?

Di mana tokoh-tokoh kunci Reformasi 1998 kini berada? Sebagian mereka telah mencicipi kedudukan tertinggi di parlemen, menjadi kepala negara, atau masih mengajar di berbagai perguruan tinggi. Mengapa kita tidak mendengar mereka berbicara?

Saya yakin mereka tidak mengalami kebutaan dan ketulian politik. Saya khawatir, lisensi moral mereka kedaluwarsa sehingga mereka tidak dapat melindungi diri dari efek bumerang jika ikut-ikutan dalam menyuarakan kebenaran dan moralitas. Takut warnanya terungkap.

Generasi muda kita perlu jawaban. Merekalah yang akan mewarisi kultur politik pasca Basuki dan Jokowi. Dua sejoli yang memikul harapan publik bahwa keterlibatan rakyat dalam membangun demokrasi harus lebih besar dan oleh karena itu, mereka harus didengarkan dan dijadikan acuan utama pembangunan.

Haruskah kita kecewa lagi kali ini karena semua pertunjukan bagus hanyalah didasarkan pada kepentingan moral licensing dan bukan moralitas politik yang sungguh-sungguh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar