Politik dan Reputasi Baik
Irwanto ; Guru Besar Psikologi Sosial
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta
|
KOMPAS,
31 Maret 2015
Psikologi
sosial mempunyai banyak perangkat teoretik untuk menyoroti dan menjelaskan
berbagai fenomena politik yang terjadi di Indonesia, terutama di DKI Jakarta.
Dalam pertikaian politik di DKI Jakarta, ada pihak yang dianggap sebagai
musuh bersama oleh sebagian wakil rakyat semata-mata karena agama atau
etniknya. Persoalan ini sesungguhnya telah muncul sejak awal pemilihan
gubernur DKI Jakarta, pada penunjukan Basuki Tjahaja Purnama yang mendampingi
Joko Widodo.
Ketika wacana
ini dikecam habis oleh masyarakat yang mereka wakili, wacananya berubah
menjadi persoalan karakter atau sifat-sifat pribadi Basuki yang dituding
kasar, gaya kepemimpinannya preman, dan lain-lain.
Apakah
pihak-pihak yang mendemonisasi Basuki dalam kenyataannya adalah manusia yang
lebih ”baik”, lebih ”bermoral” dan lebih ”bermutu” dibandingkan pihak yang
dijadikan demon?
Disonansi kognitif
Kita mulai
pembahasan dengan mempersoalkan apakah seseorang yang kelihatannya atau
seharusnya baik sebenarnya rentan berbuat tidak terpuji? Lebih jauh lagi,
mungkinkah orang berbuat baik untuk membangun reputasi yang melindungi diri
dari konsekuensi perbuatan buruk?
Mengapa
seorang Ketua Mahkamah Konstitusi atau seorang Menteri Agama melakukan
tindakan korupsi yang tercela? Mereka bukan orang yang naif mengenai norma
baik dan buruk dan tentu sangat memahami kemudaratan korupsi.
Leon
Festinger (1958) menjelaskan fenomena yang disebutnya cognitive dissonance,
berarti adanya ketidakselarasan kognitif atau proses berpikir yang mendasari
tindakan. Tindakan korupsi dipahami oleh penegak hukum merupakan tindak
kejahatan, tetapi ada sudut lain dalam kesadaran rasionalnya yang menyatakan,
saya ”boleh” bertindak begitu.
Awalnya
disonansi kognitif ini menimbulkan kegelisahan emosional. Namun, jika
disonansi itu terulang lagi dan lagi, maka aspek afektif dari tindakan itu
menjadi tumpul. Ia akan mencari alasan rasional juga untuk membenarkan
tindakannya karena kontrol nuraninya tidak berfungsi.
Dipicu oleh
penelitian di bidang perilaku konsumen, perilaku pro sosial, dan perilaku
politik, peneliti di Universitas Stanford mencoba mengurai lebih detail
peristiwa yang tadinya dianggap sekadar konflik batin. Disonansi kognitif
juga dihadapi para ahli gizi dan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa
mereka yang ingin sehat dan mengonsumsimultivitamin pada kenyataannya adalah
orang yang sembrono dalam pola makan.Minuman rendah kalori dikonsumsi bersama
makanan cepat saji yang berlemak dan tinggi kalori.
Para peneliti
(Monin & Miller, 2001; Merritt,
Effron & Monin, 2010) menemukan bahwa disonansi yang terjadi bukan
hanya persoalan konflik batin atau hati nurani, melainkan juga kesalahan
berpikir yang mendorong pilihan rasional yang buruk. Otak dan hatinya
menyatakan, semua konsekuensi buruk karena makanan itu tidak akan terjadi
karena sudah minum multivitamin dan minum diet drink.
Kasus-kasus
perilaku pro sosial atau perbuatan baik yang ternyata berujung perbuatan
memalukan berakar sama. Para peneliti menemukan ada kecenderungan manusia
untuk mengumpulkan kredit perbuatan baiknya di masa lalu sebagai jaminan
untuk perbuatan buruknya saat ini. Ini terjadi karena tindakan manusia
umumnya memperhitungkan reaksi orang lain.
Tindakan
buruk memancing reaksi negatif dan hukuman dari lingkungan. Tindakan baik
memperoleh pujian dan menjadi modal membangun reputasi ”baik” atau moral
licenseyang akan melindungi dia ketika perbuatannya buruk, karena orang tidak
percaya jika dia bertindak tidak terpuji. Bahkan tindakan tidak terpuji itu
dapat dimaafkan (dibersihkan atau moral cleansing) ketika ia tetap loyal pada
pihak-pihak yang memperoleh manfaat dari ”perbuatan baiknya”.
Lahan subur reputasi
Kancah
politik di Indonesia merupakan lahan subur bagi para pemburu reputasi baik.
Kultur politik kita bersifat kontributif—mereka yang terbanyak menyumbang
partai, baik jasa maupun moneter atau yang lainnya, memperoleh hak dan posisi
istimewa. Selain itu, kancah politik di Indonesia juga sarat dengan norma
budaya balas budi-utang budi yang disebut transaksional. Kabinet Joko Widodo
akan menjadi contoh kegagalan dari cita-cita non atau anti transaksional,
tetapi berakhir dengan jelas ada unsur-unsur transaksionalnya.
Motivasi
untuk berbuat baik ketika masuk ke kancah politik tidak perlu diragukan lagi.
Ikut membangun negara dan bangsa merupakan cita-cita yang luhur. Persoalannya
adalah apakah yang awalnya baik berakhir baik pula. Perlu dicatat bahwa dalam
kultur politik yang ada selama ini ada semacam norma sosial yang menyatakan
bahwa setelah bekerja keras saya ”berhak” memetik atau memanfaatkan setiap
kesempatan yang muncul karena perjuangan politik saya. Kesempatan yang muncul
bukan hanya karier politik, melainkan juga akses pada sumber daya yang
berlimpah yang sebagian pengaturannya tergantung mandat politik.
Kombinasi
antara norma-norma politik yang kontributif, transaksional, dan terciptanya
akses pada sumber daya yang berlimpah menciptakan medan sosial yang sangat
licin untuk terjadinya kesalahan berpikir dan menyebabkan terjadinya tindakan
tidak terpuji, seperti korupsi. Moral licensing merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi oleh anggota legislatif
maupun anggota partai yang telah menjadi birokrat publik. Tertangkapnya
mereka disebabkan oleh kesalahan berpikir yang memberikan ”perlindungan palsu”
pada dirinya dari hukum yang mereka ciptakan, mereka jalankan, dan
menggunakan untuk membela intensi dan cita-citanya.
Kembali kita
mengamati apa yang terjadi di seberang Basuki yang menghujat dirinya dengan
segala sebutan dan cacian yang pada dasarnya ingin menyatakan bahwa dia bukan
pribadi yang pas sebagai pemimpin daerah. Di antara tokoh-tokoh kelompok ini,
ada yang secara demonstratif memamerkan kekayaan pribadinya tanpa peduli
pernyataan rakyat dan media yang meliputnya karena mereka dianggapnya begitu
bodoh. Ada juga yang bermasalah dengan hukum, tetapi terpilih atau jadi
incumbent.
Tidak ada pengawasan
Gotong royong
untuk membangun groupthink di dalam
DPRD DKI terjadi karena moralitas mereka hanya dapat diuji di dalam lembaga
itu sendiri, tidak oleh para pakar di luar sana. Maka, cara mereka
menghindari isu yang substantif, yaitu perubahan angka-angka dalam RAPBD 2015
versi pemerintah provinsi, adalah dengan membawa persoalan yang tidak
relevan, yaitu sikap dan gaya komunikasi Sang Gubernur. Ini karena moralitas
di DPRD tidak siap diuji apple to apple dengan moralitas finansial pemprov.
Diciptakanlah isu gaya komunikasi dan kesewenangan untuk menghindari
persoalan kredibilitas dan akuntabilitas publik lembaga wakil rakyat.
Kemelut yang
dihadapi Basuki sebagai kepala pemerintahan provinsi memancing pertanyaan
mendasar dan historis. Setelah reformasi politik dan birokrasi tahun 1998,
apa sebenarnya yang telah terjadi di negeri ini? Dalam persoalan yang
dihadapi Pemprov DKI, bukankah ini bagian dari reformasi birokrasi yang
diharapkan?
Di mana
tokoh-tokoh kunci Reformasi 1998 kini berada? Sebagian mereka telah mencicipi
kedudukan tertinggi di parlemen, menjadi kepala negara, atau masih mengajar
di berbagai perguruan tinggi. Mengapa kita tidak mendengar mereka berbicara?
Saya yakin
mereka tidak mengalami kebutaan dan ketulian politik. Saya khawatir, lisensi
moral mereka kedaluwarsa sehingga mereka tidak dapat melindungi diri dari
efek bumerang jika ikut-ikutan dalam menyuarakan kebenaran dan moralitas. Takut
warnanya terungkap.
Generasi muda
kita perlu jawaban. Merekalah yang akan mewarisi kultur politik pasca Basuki
dan Jokowi. Dua sejoli yang memikul harapan publik bahwa keterlibatan rakyat
dalam membangun demokrasi harus lebih besar dan oleh karena itu, mereka harus
didengarkan dan dijadikan acuan utama pembangunan.
Haruskah kita
kecewa lagi kali ini karena semua pertunjukan bagus hanyalah didasarkan pada
kepentingan moral licensing dan bukan moralitas politik yang sungguh-sungguh? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar