Peluang dan Ancaman Suksesi Kepemimpinan PDIP
M Aminudin ; Direktur
Institute for Strategic and Development Studies (ISDS); Alumnus Ilmu Politik
FISIP Unair
|
JAWA
POS, 08 April 2015
KONGRES PDIP yang berlangsung 9 April 2015 memiliki arti sangat
strategis. Ada dua dua alasan. Pertama, karena posisi PDIP saat ini adalah
partai penguasa (the ruling partay) sekaligus
pengusung utama Presiden Jokowi. Pergulatan dan perubahan arah PDIP dalam
kongres akan berdampak luas pada konstelasi politik nasional. Kedua, kongres
PDIP saat ini sebenarnya memasuki fase krusial masalah regenerasi
kepemimpinan partai yang belum tuntas pada Megawati Soekarnoputri yang telah
menakhodai partai lebih dari 15 tahun. Pemimpin partai lain segenerasi
Megawati hampir semua sudah melepas tongkat estafet kepemimpinan seperti
Hamzah Haz, Akbar Tandjung, dan Amien Rais.
Ketika Jokowi dinyatakan terpilih sebagai presiden, DPP PDIP
saat itu menyadari betul dirinya sebagai pengusung utama Jokowi bukan lagi
partai oposisi seperti zaman Presiden SBY. Sehingga dalam forum besar di
Semarang, segera diputuskan memformalkan PDIP sebagai partainya pemerintah.
Sampai di situ semua komponen pengurus PDIP dari pusat hingga daerah sangat
solid dan tak ada penentangan dari internal. Tetapi, bulan madu serasa mulai
jadi bulan racun setelah penyusunan kabinet. Banyak kader PDIP yang terlempar
seperti Eva Kusuma Sundari, Pramono Anung, Maruarar Sirait, dan sebagainya.
Padahal, mereka diusulkan DPP PDIP melalui restu Megawati sebagai ketua umum DPP
PDIP. Tokoh yang merepresentasikan DPP PDIP hanya sedikit. Yang terlihat
hanya Tjahjo Kumolo di Kemendagri dan Yasonna Laoly sebagai menkum HAM.
Sehingga anggota kabinet yang lain justru diisi orang-orang yang masuk
melalui pintu Jusuf Kalla, baik berasal dari parpol pengusung Jokowi-JK
maupun dari nonpartisan. Sebagian politisi asli PDIP mulai tersentak.
Bagaimana bisa sebagai the ruling party ternyata hanya menjadi minoritas di
kabinet. Riak-riak kecil ketidakpuasan mulai muncul di permukaan. Situasi semakin
terakumulasi ketika paket calon Kapolri Budi Gunawan yang diusulkan Megawati
dikandaskan Jokowi. Situasi membuat atmosfer hubungan PDIP makin tak kondusif
ketika pemerintah Jokowi membuat kebijakan menaikkan harga-harga.
Menumpuknya aneka persoalan di atas membuat ketidakpuasan
terhadap langgam politik Jokowi semakin mengkristal dari sebagian pengurus
DPP PDIP. Sebagian pengurus DPP PDIP merasa PDIP tidak dianggap sebagai
partai penguasa, tapi malah diperlakukan sebagai partainya penguasa. Dalam beberapa
kesempatan, politikus PDIP seperti Effendy Simbolon, Arif Wibowo, Syukur
Nababan, dan sebagainya memberi sinyal hijau kepada kubu KMP untuk mengajukan
hak angket terhadap pemerintah. Polarisiasi di dalam tubuh partai banteng
moncong putih itu sudah pasti mewarnai pergulatan dalam tubuh PDIP tersebut.
Apalagi dilihat dari pemberitaan media milik para taipan yang selama ini di
belakang Jokowi. Misalnya, media milik James Riady begitu gencar mendorong
Jokowi menggeser kursi ketua umum PDIP yang diduduki Megawati.
Apabila skenario menjadikan Jokowi ketua umum PDIP berjalan dan
Megawati tidak legawa, partai akan terbelah seperti pada 1997. Karena
taruhlah Megawati menginginkan suksesi kepemimpian dalam Kongres PDIP 2015,
sudah bukan rahasia umum yang disiapkan adalah Puan Maharani sebagai putri
mahkotanya untuk memastikan partai tetap dalam kendali keluarga besarnya.
Sebaliknya, jika Megawati aklamasi terpilih lagi sebagai ketua
umum PDIP atau Puan Maharani yang terpilih, bisa terjadi de-Jokowinisasi atau
pembersihan besar-besaran orang-orang yang dekat dengan Jokowi di
kepengurusan PDIP hasil Kongres Bali 2015. Banyak kemungkinan yang bisa
terjadi setelah Kongres VI PDIP di Bali.
Reaksi awal pendukung Megawati bisa mendorong impeachment di
parlemen seperti yang dilakukan kepada Presiden Gus Dur. Wapres akhirnya naik
menjadi presiden dengan paket Wapres baru yang dipilih parlemen. Untuk
menjalankan opsinya, mau tidak mau Megawati membuat deal dulu dengan Jusuf
Kalla. Apakah kalau JK naik jadi presiden, Puan Maharani jadi Wapres-nya?
Atau kompromi dalam bentuk yang lain? Skenario itu bisa berjalan jika JK
berhasil secara penuh membajak Golkar menggunakan tangan Agung Laksono.
Banyak kejutan politik tak terduga pasca Kongres VI PDIP.
Apa pun yang terjadi pascakongres, apabila Megawati atau Puan
Maharani terpilih sebagai ketua umum sementara gesekkan kepentingan Jokowi
dan Megawati tak berhasil direduksi, harapan Jokowi untuk maju dicalonkan
PDIP lagi pada Pilpres 2019 menjadi pupus. Kalau Jokowi masih bertahan
sebagai presiden hingga 2018, mantan wali kota Solo itu harus kerja keras
mencari kendaraan baru untuk maju sebagai capres 2019. Bisa jadi Jokowi sudah
mengantisipasi kemungkinan terburuk itu. Seperti diketahui, Jokowi telah
mendorong perluasan ormas Projo (Pro-Jokowi) hingga ke pelosok-pelosok.
Yang harus dicatat Jokowi, masyarakat pemilih sekarang sangat
kritis. Kebijakan menaikkan harga-harga telah mendorong naik tingkat
kesulitan rakyat bawah. Jumlah swing voters yang suka berpindah-pindah
pilihan semakin besar. Jadi, dari sini kita melihat betapa luasnya implikasi
yang mungkin ditimbulkan pasca Kongres VI PDIP di Bali karena kuatnya
dinamika internal PDIP dengan dinamika perpolitikan nasional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar