Jumat, 10 April 2015

Peluang dan Ancaman Suksesi Kepemimpinan PDIP

Peluang dan Ancaman Suksesi Kepemimpinan PDIP

M Aminudin   ;  Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS); Alumnus Ilmu Politik FISIP Unair
JAWA POS, 08 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

KONGRES PDIP yang berlangsung 9 April 2015 memiliki arti sangat strategis. Ada dua dua alasan. Pertama, karena posisi PDIP saat ini adalah partai penguasa (the ruling partay) sekaligus pengusung utama Presiden Jokowi. Pergulatan dan perubahan arah PDIP dalam kongres akan berdampak luas pada konstelasi politik nasional. Kedua, kongres PDIP saat ini sebenarnya memasuki fase krusial masalah regenerasi kepemimpinan partai yang belum tuntas pada Megawati Soekarnoputri yang telah menakhodai partai lebih dari 15 tahun. Pemimpin partai lain segenerasi Megawati hampir semua sudah melepas tongkat estafet kepemimpinan seperti Hamzah Haz, Akbar Tandjung, dan Amien Rais.

Ketika Jokowi dinyatakan terpilih sebagai presiden, DPP PDIP saat itu menyadari betul dirinya sebagai pengusung utama Jokowi bukan lagi partai oposisi seperti zaman Presiden SBY. Sehingga dalam forum besar di Semarang, segera diputuskan memformalkan PDIP sebagai partainya pemerintah. Sampai di situ semua komponen pengurus PDIP dari pusat hingga daerah sangat solid dan tak ada penentangan dari internal. Tetapi, bulan madu serasa mulai jadi bulan racun setelah penyusunan kabinet. Banyak kader PDIP yang terlempar seperti Eva Kusuma Sundari, Pramono Anung, Maruarar Sirait, dan sebagainya. Padahal, mereka diusulkan DPP PDIP melalui restu Megawati sebagai ketua umum DPP PDIP. Tokoh yang merepresentasikan DPP PDIP hanya sedikit. Yang terlihat hanya Tjahjo Kumolo di Kemendagri dan Yasonna Laoly sebagai menkum HAM. Sehingga anggota kabinet yang lain justru diisi orang-orang yang masuk melalui pintu Jusuf Kalla, baik berasal dari parpol pengusung Jokowi-JK maupun dari nonpartisan. Sebagian politisi asli PDIP mulai tersentak. Bagaimana bisa sebagai the ruling party ternyata hanya menjadi minoritas di kabinet. Riak-riak kecil ketidakpuasan mulai muncul di permukaan. Situasi semakin terakumulasi ketika paket calon Kapolri Budi Gunawan yang diusulkan Megawati dikandaskan Jokowi. Situasi membuat atmosfer hubungan PDIP makin tak kondusif ketika pemerintah Jokowi membuat kebijakan menaikkan harga-harga.

Menumpuknya aneka persoalan di atas membuat ketidakpuasan terhadap langgam politik Jokowi semakin mengkristal dari sebagian pengurus DPP PDIP. Sebagian pengurus DPP PDIP merasa PDIP tidak dianggap sebagai partai penguasa, tapi malah diperlakukan sebagai partainya penguasa. Dalam beberapa kesempatan, politikus PDIP seperti Effendy Simbolon, Arif Wibowo, Syukur Nababan, dan sebagainya memberi sinyal hijau kepada kubu KMP untuk mengajukan hak angket terhadap pemerintah. Polarisiasi di dalam tubuh partai banteng moncong putih itu sudah pasti mewarnai pergulatan dalam tubuh PDIP tersebut. Apalagi dilihat dari pemberitaan media milik para taipan yang selama ini di belakang Jokowi. Misalnya, media milik James Riady begitu gencar mendorong Jokowi menggeser kursi ketua umum PDIP yang diduduki Megawati.

Apabila skenario menjadikan Jokowi ketua umum PDIP berjalan dan Megawati tidak legawa, partai akan terbelah seperti pada 1997. Karena taruhlah Megawati menginginkan suksesi kepemimpian dalam Kongres PDIP 2015, sudah bukan rahasia umum yang disiapkan adalah Puan Maharani sebagai putri mahkotanya untuk memastikan partai tetap dalam kendali keluarga besarnya.

Sebaliknya, jika Megawati aklamasi terpilih lagi sebagai ketua umum PDIP atau Puan Maharani yang terpilih, bisa terjadi de-Jokowinisasi atau pembersihan besar-besaran orang-orang yang dekat dengan Jokowi di kepengurusan PDIP hasil Kongres Bali 2015. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi setelah Kongres VI PDIP di Bali.

Reaksi awal pendukung Megawati bisa mendorong impeachment di parlemen seperti yang dilakukan kepada Presiden Gus Dur. Wapres akhirnya naik menjadi presiden dengan paket Wapres baru yang dipilih parlemen. Untuk menjalankan opsinya, mau tidak mau Megawati membuat deal dulu dengan Jusuf Kalla. Apakah kalau JK naik jadi presiden, Puan Maharani jadi Wapres-nya? Atau kompromi dalam bentuk yang lain? Skenario itu bisa berjalan jika JK berhasil secara penuh membajak Golkar menggunakan tangan Agung Laksono. Banyak kejutan politik tak terduga pasca Kongres VI PDIP.

Apa pun yang terjadi pascakongres, apabila Megawati atau Puan Maharani terpilih sebagai ketua umum sementara gesekkan kepentingan Jokowi dan Megawati tak berhasil direduksi, harapan Jokowi untuk maju dicalonkan PDIP lagi pada Pilpres 2019 menjadi pupus. Kalau Jokowi masih bertahan sebagai presiden hingga 2018, mantan wali kota Solo itu harus kerja keras mencari kendaraan baru untuk maju sebagai capres 2019. Bisa jadi Jokowi sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk itu. Seperti diketahui, Jokowi telah mendorong perluasan ormas Projo (Pro-Jokowi) hingga ke pelosok-pelosok.

Yang harus dicatat Jokowi, masyarakat pemilih sekarang sangat kritis. Kebijakan menaikkan harga-harga telah mendorong naik tingkat kesulitan rakyat bawah. Jumlah swing voters yang suka berpindah-pindah pilihan semakin besar. Jadi, dari sini kita melihat betapa luasnya implikasi yang mungkin ditimbulkan pasca Kongres VI PDIP di Bali karena kuatnya dinamika internal PDIP dengan dinamika perpolitikan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar