Manajemen Waralaba NU
Arif Afandi ; Ketum
BKS-BUMD-SI dan Dirut Wira Jatim Group
|
JAWA
POS, 09 April 2015
BAGAIMANA organisasi sebesar Nahdlatul Ulama (NU) mengelola amal
usahanya? Wakil Presiden Jusuf Kalla punya analogi yang menarik. Menurut dia,
organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari itu dikelola seperti bisnis
waralaba alias frenchise. Sebagian asetnya adalah milik perorangan, bukan
milik organisasi. NU sekadar brand untuk melabeli semua kegiatan usaha milik
para kiai dan warganya.
Itu berbeda dengan Muhammadiyah. Masih menurut JK –panggilan
akrab Wapres–, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut bagaikan
holding company. Semua amal usahanya adalah milik organisasi. Sangat jarang
yang milik perorangan. Karena merupakan aset organisasi, semua keputusan
tentang aset-aset itu ada di pimpinan pusat organisasi. Pengelolaan semua
aset persyarikatan terpusat.
Jika dicontohkan dengan produk multinasional, NU itu bagaikan
KFC (Kentucky Fried Chicken), sedangkan Muhammadiyah seperti Coca-Cola.
Restoran KFC di seluruh dunia adalah milik perorangan. Hanya brand, standar
produk, dan sistem manajemennya milik KFC. Sementara itu, aset Coca-Cola
adalah milik perusahaan yang berpusat di Amerika.
NU telah punya banyak pesantren, sekolah, perguruan tinggi, dan
rumah sakit. Namun, sebagian besar tidak didirikan NU, apalagi PB NU. Pendiri
pesantren, lembaga pendidikan, dan rumah sakit umumnya adalah para kiai,
sedangkan seluruh amal usaha Muhammadiyah merupakan milik organisasi yang
didirikan Kiai Ahmad Dahlan itu. Pendirian sebagian besar aset tersebut
diinisiatori organisasi.
Masalahnya, mana yang lebih efektif, waralaba atau holding
company? Kalau NU dikelola sebagaimana manajemen waralaba, apa saja yang
harus disempurnakan agar mencapai hasil optimal? Mungkinkah NU mempertahankan
model manajemen waralaba dalam pengelolaan organisasi ke depan? Sejumlah
pertanyaan itu menarik dicuatkan menjelang Muktamar Ke-33 NU, 1-5 Agustus
2015, di Jombang.
Selain sebagai jami’yah (organisasi), NU dikenal sebagai jamaah.
NU berkembang sebagai sebuah gerakan kultural dengan nilai-nilai khusus di
bidang keagamaan. Identitas ke-NU-an tidak hanya ditunjukkan lewat
keanggotaan seseorang. Juga, tidak hanya ditunjukkan lewat kartu anggota.
Identitas ke-NU-an seseorang ditunjukkan melalui ciri-ciri dalam berperilaku,
beribadah, serta tata cara keagamaan.
Organisasi NU mula-mula didirikan para kiai yang masing-masing
telah memiliki basis pengaruh dengan segala aset yang dimiliki. Mereka
umumnya adalah para kiai pemilik pesantren, lembaga pendidikan agama Islam.
Pesantren tersebut didirikan atas inisiatif para kiai, bukan inisiatif
organisasi. Merekalah yang membangun, mengembangkan, mengelola, dan
membesarkan pesantren.
Sebagian besar rumah sakit, koperasi, dan berbagai kegiatan
usaha di lingkungan NU adalah inisiatif personal kiai maupun anggota NU.
Karena inisiatif maupun kepemilikannya personal, masing-masing punya otonomi
dalam pengelolaan. Terkadang mereka menggunakan ’’brand’’ NU, namun terkadang
tidak. Belakangan saja mulai bermunculan kegiatan usaha yang langsung memakai
nama NU. Misalnya, Universitas NU yang didirikan di beberapa kota.
Karena otoritas kepemimpinan NU itu tersebar di para kiai,
mereka lebih mandiri. Kemajuan kegiatan usahanya tidak bergantung pada PB NU
sebagai induk organisasi. Bahkan, KH Abdurrahman Wahid pernah menyatakan,
keputusan PB NU bisa dikalahkan keputusan PC NU. Mengapa? Sebab, kiai di
daerah bisa lebih berpengaruh daripada pengurus PB NU. Realitas itulah yang
membuat jami’yah alias organisasi NU kurang efektif.
Model manajemen waralaba NU tersebut bisa menjadi kekuatan yang
lebih dahsyat. Sebab, mereka bisa mengakomodasi kebutuhan lokal. KFC,
McDonalds, dan sejumlah waralaba terkenal dunia memberikan penyesuaian di
tingkat lokal. Misalnya, karena orang Indonesia suka pedas, ayam goreng rasa
pedas disediakan. Demikian juga Pizza Hut. Meski di pusatnya tidak ada menu
nasi, di Indonesia diciptakan menu kesukaan konsumen setempat.
Menurut saya, biarlah NU berkembang dengan model manajemen
waralaba. Biarkan kekuatan-kekuatan strategis NU tersebar di daerah, di
tangan para kiai secara mandiri. Yang perlu disempurnakan adalah
standardisasi. Selama ini, masing-masing kegiatan usaha berkembang sendiri.
Tanpa sentuhan sedikit pun oleh PB NU. Pucuk pimpinan NU itu bisa memberikan
sentuhan untuk menjadikan antarpesantren dan semua kegiatan usaha NU saling
berjejaring.
Model waralaba menjadi sangat kuat karena berjejaring. Mereka
berkembang sendiri-sendiri sesuai dengan kekuatan lokal. Namun, antarmereka
disatukan dengan standar layanan, sistem distribusi yang kuat, serta brand
yang sudah digdaya. NU sebagai sebuah brand organisasi sudah sangat hebat. Ia
dikenal sebagai ormas Islam yang toleran, moderat, dan berkomitmen terhadap
NKRI. Sebagai modal dari model manajemen waralaba, kekuatan brand NU tidak
bisa diragukan.
Selanjutnya tinggal membuat sistem jaringan. Sudah saatnya PB NU
punya database tentang seluruh kegiatan usaha NU, baik di bidang pendidikan,
kesehatan, maupun ekonomi. Berdasar database tersebut, PB NU bisa
menyambungkan jejaring NU dengan kekuatan-kekuatan strategis di luar
organisasi untuk pengembangan semuanya. Dengan cara itu, keberadaan PB NU
pasti akan semakin dirasakan di daerah.
PB NU juga bisa membuat standar manajemen keuangan masing-masing
kegiatan usaha. Selama ini, banyak tumbuh kembang koperasi simpan pinjam.
Baik yang berbasis pesantren maupun kepengurusan di tingkat cabang dan
wilayah. Namun, semua itu berjalan sendiri-sendiri. Jika PB NU mau dan mampu membangun
jejaring antarkoperasi yang telah ada, itu akan menjadi kekuatan dahsyat.
Demikian juga dalam bidang usaha ekonomi lainnya.
Prinsipnya, NU mempunyai basis model manajemen waralaba. Hanya,
semua belum menjadi jejaring yang bisa menjadi kekuatan besar. Masing-masing
kegiatan usaha masih berjalan sendiri tanpa standardisasi yang jelas. Dengan
demikian, model manajemen waralaba yang semestinya menjadi sebuah kekuatan
yang hebat sampai sekarang belum bisa dirasakan. Model waralaba yang
berkembang di NU masih berupa kekuatan berserakan yang belum disatukan dengan
jejaring yang memperkuat satu sama lain.
Tampaknya, persoalan ini perlu menjadi pikiran di luar agenda
utama setiap muktamar. Bahwa agenda tentang pergantian kepemimpinan itu
penting. Bahwa bathsul masail, pembahasan masalah-masalah aktual keagamaan,
juga sangat penting. Merumuskan rekomendasi terhadap berbagai persoalan
kenegaraan terkini juga tidak bisa diabaikan. Namun, memperkuat kelembagaan
NU dengan mengonsolidasikan kekuatan yang sudah ada rasanya tidak bisa
ditinggalkan.
Biarlah Muhammadiyah berkembang dengan model holding company.
Sudah saatnya NU lebih serius dengan penyempurnaan model manajemen waralaba
yang berkembang selama ini. Saatnya berlomba dengan organisasi-organisasi
kemasyarakatan lainnya dalam hal kebaikan. Apalagi berlomba-lomba untuk
menjadi mandiri dan memperkuat diri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar