Jumat, 10 April 2015

Manajemen Waralaba NU

Manajemen Waralaba NU

Arif Afandi   ;  Ketum BKS-BUMD-SI dan Dirut Wira Jatim Group
JAWA POS, 09 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

BAGAIMANA organisasi sebesar Nahdlatul Ulama (NU) mengelola amal usahanya? Wakil Presiden Jusuf Kalla punya analogi yang menarik. Menurut dia, organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari itu dikelola seperti bisnis waralaba alias frenchise. Sebagian asetnya adalah milik perorangan, bukan milik organisasi. NU sekadar brand untuk melabeli semua kegiatan usaha milik para kiai dan warganya.

Itu berbeda dengan Muhammadiyah. Masih menurut JK –panggilan akrab Wapres–, organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan tersebut bagaikan holding company. Semua amal usahanya adalah milik organisasi. Sangat jarang yang milik perorangan. Karena merupakan aset organisasi, semua keputusan tentang aset-aset itu ada di pimpinan pusat organisasi. Pengelolaan semua aset persyarikatan terpusat.

Jika dicontohkan dengan produk multinasional, NU itu bagaikan KFC (Kentucky Fried Chicken), sedangkan Muhammadiyah seperti Coca-Cola. Restoran KFC di seluruh dunia adalah milik perorangan. Hanya brand, standar produk, dan sistem manajemennya milik KFC. Sementara itu, aset Coca-Cola adalah milik perusahaan yang berpusat di Amerika.

NU telah punya banyak pesantren, sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit. Namun, sebagian besar tidak didirikan NU, apalagi PB NU. Pendiri pesantren, lembaga pendidikan, dan rumah sakit umumnya adalah para kiai, sedangkan seluruh amal usaha Muhammadiyah merupakan milik organisasi yang didirikan Kiai Ahmad Dahlan itu. Pendirian sebagian besar aset tersebut diinisiatori organisasi.

Masalahnya, mana yang lebih efektif, waralaba atau holding company? Kalau NU dikelola sebagaimana manajemen waralaba, apa saja yang harus disempurnakan agar mencapai hasil optimal? Mungkinkah NU mempertahankan model manajemen waralaba dalam pengelolaan organisasi ke depan? Sejumlah pertanyaan itu menarik dicuatkan menjelang Muktamar Ke-33 NU, 1-5 Agustus 2015, di Jombang.

Selain sebagai jami’yah (organisasi), NU dikenal sebagai jamaah. NU berkembang sebagai sebuah gerakan kultural dengan nilai-nilai khusus di bidang keagamaan. Identitas ke-NU-an tidak hanya ditunjukkan lewat keanggotaan seseorang. Juga, tidak hanya ditunjukkan lewat kartu anggota. Identitas ke-NU-an seseorang ditunjukkan melalui ciri-ciri dalam berperilaku, beribadah, serta tata cara keagamaan.

Organisasi NU mula-mula didirikan para kiai yang masing-masing telah memiliki basis pengaruh dengan segala aset yang dimiliki. Mereka umumnya adalah para kiai pemilik pesantren, lembaga pendidikan agama Islam. Pesantren tersebut didirikan atas inisiatif para kiai, bukan inisiatif organisasi. Merekalah yang membangun, mengembangkan, mengelola, dan membesarkan pesantren.

Sebagian besar rumah sakit, koperasi, dan berbagai kegiatan usaha di lingkungan NU adalah inisiatif personal kiai maupun anggota NU. Karena inisiatif maupun kepemilikannya personal, masing-masing punya otonomi dalam pengelolaan. Terkadang mereka menggunakan ’’brand’’ NU, namun terkadang tidak. Belakangan saja mulai bermunculan kegiatan usaha yang langsung memakai nama NU. Misalnya, Universitas NU yang didirikan di beberapa kota.

Karena otoritas kepemimpinan NU itu tersebar di para kiai, mereka lebih mandiri. Kemajuan kegiatan usahanya tidak bergantung pada PB NU sebagai induk organisasi. Bahkan, KH Abdurrahman Wahid pernah menyatakan, keputusan PB NU bisa dikalahkan keputusan PC NU. Mengapa? Sebab, kiai di daerah bisa lebih berpengaruh daripada pengurus PB NU. Realitas itulah yang membuat jami’yah alias organisasi NU kurang efektif.

Model manajemen waralaba NU tersebut bisa menjadi kekuatan yang lebih dahsyat. Sebab, mereka bisa mengakomodasi kebutuhan lokal. KFC, McDonalds, dan sejumlah waralaba terkenal dunia memberikan penyesuaian di tingkat lokal. Misalnya, karena orang Indonesia suka pedas, ayam goreng rasa pedas disediakan. Demikian juga Pizza Hut. Meski di pusatnya tidak ada menu nasi, di Indonesia diciptakan menu kesukaan konsumen setempat.

Menurut saya, biarlah NU berkembang dengan model manajemen waralaba. Biarkan kekuatan-kekuatan strategis NU tersebar di daerah, di tangan para kiai secara mandiri. Yang perlu disempurnakan adalah standardisasi. Selama ini, masing-masing kegiatan usaha berkembang sendiri. Tanpa sentuhan sedikit pun oleh PB NU. Pucuk pimpinan NU itu bisa memberikan sentuhan untuk menjadikan antarpesantren dan semua kegiatan usaha NU saling berjejaring.

Model waralaba menjadi sangat kuat karena berjejaring. Mereka berkembang sendiri-sendiri sesuai dengan kekuatan lokal. Namun, antarmereka disatukan dengan standar layanan, sistem distribusi yang kuat, serta brand yang sudah digdaya. NU sebagai sebuah brand organisasi sudah sangat hebat. Ia dikenal sebagai ormas Islam yang toleran, moderat, dan berkomitmen terhadap NKRI. Sebagai modal dari model manajemen waralaba, kekuatan brand NU tidak bisa diragukan.

Selanjutnya tinggal membuat sistem jaringan. Sudah saatnya PB NU punya database tentang seluruh kegiatan usaha NU, baik di bidang pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi. Berdasar database tersebut, PB NU bisa menyambungkan jejaring NU dengan kekuatan-kekuatan strategis di luar organisasi untuk pengembangan semuanya. Dengan cara itu, keberadaan PB NU pasti akan semakin dirasakan di daerah.

PB NU juga bisa membuat standar manajemen keuangan masing-masing kegiatan usaha. Selama ini, banyak tumbuh kembang koperasi simpan pinjam. Baik yang berbasis pesantren maupun kepengurusan di tingkat cabang dan wilayah. Namun, semua itu berjalan sendiri-sendiri. Jika PB NU mau dan mampu membangun jejaring antarkoperasi yang telah ada, itu akan menjadi kekuatan dahsyat. Demikian juga dalam bidang usaha ekonomi lainnya.

Prinsipnya, NU mempunyai basis model manajemen waralaba. Hanya, semua belum menjadi jejaring yang bisa menjadi kekuatan besar. Masing-masing kegiatan usaha masih berjalan sendiri tanpa standardisasi yang jelas. Dengan demikian, model manajemen waralaba yang semestinya menjadi sebuah kekuatan yang hebat sampai sekarang belum bisa dirasakan. Model waralaba yang berkembang di NU masih berupa kekuatan berserakan yang belum disatukan dengan jejaring yang memperkuat satu sama lain.

Tampaknya, persoalan ini perlu menjadi pikiran di luar agenda utama setiap muktamar. Bahwa agenda tentang pergantian kepemimpinan itu penting. Bahwa bathsul masail, pembahasan masalah-masalah aktual keagamaan, juga sangat penting. Merumuskan rekomendasi terhadap berbagai persoalan kenegaraan terkini juga tidak bisa diabaikan. Namun, memperkuat kelembagaan NU dengan mengonsolidasikan kekuatan yang sudah ada rasanya tidak bisa ditinggalkan.

Biarlah Muhammadiyah berkembang dengan model holding company. Sudah saatnya NU lebih serius dengan penyempurnaan model manajemen waralaba yang berkembang selama ini. Saatnya berlomba dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya dalam hal kebaikan. Apalagi berlomba-lomba untuk menjadi mandiri dan memperkuat diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar