Jumat, 10 April 2015

Aroma Lobi Politik Konflik Golkar

Aroma Lobi Politik Konflik Golkar

Kurniawan Muhammad   ;  Wartawan Jawa Pos; Magister Ilmu Politik FISIP Unair
JAWA POS, 08 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

DRAMA politik yang vulgar terjadi di lantai 12 gedung DPR Senin lalu (30/3). Sembilan anggota Partai Golkar kubu Agung Laksono berusaha merebut kantor Fraksi Golkar yang masih dikuasai kubu Aburizal Bakrie. Dalam kisruh itu, sempat terjadi pencongkelan pintu.

Inilah konflik terparah sejak era reformasi di tubuh Golkar. Jika dirunut ke belakang, salah satu akar penyebab konflik adalah bermula dari Munas IX 2014 di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, 30 November–4 Desember 2014. Pada munas tersebut, Aburizal Bakrie (Ical) terpilih kembali sebagai ketua umum secara aklamasi.

Terpilihnya Ical mengundang ketidakpuasan bagi sebagian elite pengurus Golkar yang dimotori Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan Agus Gumiwang Kartasasmita. Mereka menganggap munas di Bali tidak demokratis.

Dalam sejarah munas Golkar sejak era reformasi, baru pada saat itulah muncul hanya satu calon ketua umum. Padahal, sebelumnya, setiap kali prosesi pemilihan ketua umum di arena munas, selalu bersaing secara demokratis lebih dari satu calon.

Dalam munas luar biasa (munaslub) pada 9–11 Juli 1998, ada dua nama yang bersaing ketat untuk calon ketua umum: Akbar Tandjung dan Edi Sudrajat. Dan, akhirnya Akbar yang terpilih.

Munas VII di Bali, Desember 2004, juga menghasilkan ketua umum baru yang terpilih secara demokratis. Yakni, Jusuf Kalla yang berhasil mengalahkan Akbar Tandjung. Pada Munas VIII di Riau, Oktober 2009, juga terjadi persaingan ketat saat pemilihan ketua umum. Yakni, antara Ical dan Surya Paloh. Akhirnya Ical yang menang.

Faktor lain penyebab konflik Golkar berkepanjangan dan kian panas adalah terkait dengan sikap pemerintah. Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Hamonangan Laoly memutuskan mengakui kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono. Tapi, sikap pemerintah itu dilawan para pengurus Golkar kubu Ical.

Mereka menggugat keputusan Menkum HAM tersebut ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Dan, Rabu lalu (1/4) putusan sela diterbitkan. Hasilnya, PTUN melalui Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti memerintahkan penundaan pelaksanaan surat Menkum HAM yang mengakui kepengurusan kubu Agung Laksono, hingga ada putusan tetap.

PTUN juga memerintah Menkum HAM Yasonna Laoly agar tidak mengeluarkan keputusan lain yang berhubungan dengan objek sengketa. Dengan adanya putusan sela ini, bakal panjanglah konflik di tubuh Golkar.

Selain itu, perkembangan konflik Golkar memunculkan aroma lobi politik yang kental. Aroma tersebut tercium setidaknya dari dua kutub. Kutub pertama adalah pemerintah (baca: Menkum HAM). Dan, kutub kedua adalah institusi peradilan (baca: PTUN).

Aroma lobi politik tercium di kutub pertama, ketika Menkum HAM memutuskan mengakui dan mengesahkan kepengurusan kubu Agung Laksono. Meski secara formal dikatakan Yasonna bahwa sikap pemerintah itu didasari atas keputusan Mahkamah Partai Golkar, kesan ada ''tawar-menawar politik'' di balik keputusan itu sulit rasanya dihindari.

Setidaknya ada dua benang merah yang memperkuat kesan tersebut. Pertama, sebelum menjadi Menkum HAM, Yasonna adalah politikus PDIP yang loyal. PDIP adalah partai pemerintah dan di parlemen menjadi komandan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

Kedua, Agung Laksono sudah secara tegas menyampaikan bahwa dirinya akan membawa Golkar bergabung dengan pemerintah, dan di parlemen akan bersama-sama dengan KIH. Kontra dengan sikap kubu Ical yang berada di deretan Koalisi Merah Putih (KMP), penentang pemerintah.

Jika Golkar kubu Agung yang disahkan pemerintah, tentu amunisi politik bagi KIH di parlemen akan bertambah.

Bagaimana aroma lobi politik bisa tercium di kutub kedua (PTUN)? Dapat dilihat dari dua indikasi. Pertama, proses gugatan kubu Ical ke PTUN yang tergolong cepat. Hanya butuh waktu seminggu sejak gugatan itu dimasukkan, sudah ada putusan sela. Inilah yang menimbulkan kesan, ada ''sesuatu'' di balik putusan sela itu.

Indikasi kedua, Teguh Satya Bhakti, hakim yang memutuskan gugatan Ical, adalah hakim yang juga memutuskan gugatan kubu Suryadharma Ali (SDA) dalam konflik di tubuh PPP.

Konflik yang terjadi di tubuh PPP mirip dengan Golkar. Di PPP, juga ada dua kubu kepengurusan. Kubu pertama yang pro pemerintah, yakni kepengurusan di bawah Romahurmuzy yang anti-SDA. Kubu kedua berada di bawah Djan Faridz yang pro-SDA. Saat terjadi dualisme kepengurusan itu, Menkum HAM akhirnya mengesahkan kepengurusan Romahurmuzy. Keputusan tersebut dilawan kubu Djan. Mereka menggugat ke PTUN. Dan, PTUN akhirnya memutuskan menerima gugatan kubu Djan dan membatalkan keputusan Menkum HAM.

Di sinilah aroma lobi politik itu kental terasa di lembaga peradilan dalam pusaran konflik partai. Jika memang benar bahwa ada lobi politik yang mendasari keputusan pemerintah dan keputusan lembaga peradilan terkait konflik partai, sesungguhnya ini adalah kondisi yang memprihatinkan. Ini semakin menguatkan kesan, di negara ini, politik masih menjadi panglima. Ini sungguh tidak sehat. Mengapa?

''Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya.'' (Charles de Gaulle)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar