Aroma Lobi Politik Konflik Golkar
Kurniawan Muhammad ; Wartawan Jawa
Pos; Magister Ilmu Politik FISIP Unair
|
JAWA
POS, 08 April 2015
DRAMA politik yang vulgar terjadi di lantai 12 gedung DPR Senin
lalu (30/3). Sembilan anggota Partai Golkar kubu Agung Laksono berusaha
merebut kantor Fraksi Golkar yang masih dikuasai kubu Aburizal Bakrie. Dalam
kisruh itu, sempat terjadi pencongkelan pintu.
Inilah konflik terparah sejak era reformasi di tubuh Golkar.
Jika dirunut ke belakang, salah satu akar penyebab konflik adalah bermula
dari Munas IX 2014 di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali, 30 November–4 Desember
2014. Pada munas tersebut, Aburizal Bakrie (Ical) terpilih kembali sebagai
ketua umum secara aklamasi.
Terpilihnya Ical mengundang ketidakpuasan bagi sebagian elite
pengurus Golkar yang dimotori Agung Laksono, Priyo Budi Santoso, dan Agus
Gumiwang Kartasasmita. Mereka menganggap munas di Bali tidak demokratis.
Dalam sejarah munas Golkar sejak era reformasi, baru pada saat
itulah muncul hanya satu calon ketua umum. Padahal, sebelumnya, setiap kali
prosesi pemilihan ketua umum di arena munas, selalu bersaing secara
demokratis lebih dari satu calon.
Dalam munas luar biasa (munaslub) pada 9–11 Juli 1998, ada dua
nama yang bersaing ketat untuk calon ketua umum: Akbar Tandjung dan Edi
Sudrajat. Dan, akhirnya Akbar yang terpilih.
Munas VII di Bali, Desember 2004, juga menghasilkan ketua umum
baru yang terpilih secara demokratis. Yakni, Jusuf Kalla yang berhasil
mengalahkan Akbar Tandjung. Pada Munas VIII di Riau, Oktober 2009, juga
terjadi persaingan ketat saat pemilihan ketua umum. Yakni, antara Ical dan
Surya Paloh. Akhirnya Ical yang menang.
Faktor lain penyebab konflik Golkar berkepanjangan dan kian
panas adalah terkait dengan sikap pemerintah. Pemerintah melalui Menteri
Hukum dan HAM (Menkum HAM) Yasonna Hamonangan Laoly memutuskan mengakui
kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono. Tapi, sikap pemerintah itu dilawan
para pengurus Golkar kubu Ical.
Mereka menggugat keputusan Menkum HAM tersebut ke pengadilan
tata usaha negara (PTUN). Dan, Rabu lalu (1/4) putusan sela diterbitkan.
Hasilnya, PTUN melalui Ketua Majelis Hakim Teguh Satya Bhakti memerintahkan
penundaan pelaksanaan surat Menkum HAM yang mengakui kepengurusan kubu Agung
Laksono, hingga ada putusan tetap.
PTUN juga memerintah Menkum HAM Yasonna Laoly agar tidak
mengeluarkan keputusan lain yang berhubungan dengan objek sengketa. Dengan
adanya putusan sela ini, bakal panjanglah konflik di tubuh Golkar.
Selain itu, perkembangan konflik Golkar memunculkan aroma lobi
politik yang kental. Aroma tersebut tercium setidaknya dari dua kutub. Kutub
pertama adalah pemerintah (baca: Menkum HAM). Dan, kutub kedua adalah
institusi peradilan (baca: PTUN).
Aroma lobi politik tercium di kutub pertama, ketika Menkum HAM
memutuskan mengakui dan mengesahkan kepengurusan kubu Agung Laksono. Meski
secara formal dikatakan Yasonna bahwa sikap pemerintah itu didasari atas
keputusan Mahkamah Partai Golkar, kesan ada ''tawar-menawar politik'' di
balik keputusan itu sulit rasanya dihindari.
Setidaknya ada dua benang merah yang memperkuat kesan tersebut.
Pertama, sebelum menjadi Menkum HAM, Yasonna adalah politikus PDIP yang
loyal. PDIP adalah partai pemerintah dan di parlemen menjadi komandan Koalisi
Indonesia Hebat (KIH).
Kedua, Agung Laksono sudah secara tegas menyampaikan bahwa
dirinya akan membawa Golkar bergabung dengan pemerintah, dan di parlemen akan
bersama-sama dengan KIH. Kontra dengan sikap kubu Ical yang berada di deretan
Koalisi Merah Putih (KMP), penentang pemerintah.
Jika Golkar kubu Agung yang disahkan pemerintah, tentu amunisi
politik bagi KIH di parlemen akan bertambah.
Bagaimana aroma lobi politik bisa tercium di kutub kedua (PTUN)?
Dapat dilihat dari dua indikasi. Pertama, proses gugatan kubu Ical ke PTUN
yang tergolong cepat. Hanya butuh waktu seminggu sejak gugatan itu
dimasukkan, sudah ada putusan sela. Inilah yang menimbulkan kesan, ada
''sesuatu'' di balik putusan sela itu.
Indikasi kedua, Teguh Satya Bhakti, hakim yang memutuskan
gugatan Ical, adalah hakim yang juga memutuskan gugatan kubu Suryadharma Ali
(SDA) dalam konflik di tubuh PPP.
Konflik yang terjadi di tubuh PPP mirip dengan Golkar. Di PPP,
juga ada dua kubu kepengurusan. Kubu pertama yang pro pemerintah, yakni
kepengurusan di bawah Romahurmuzy yang anti-SDA. Kubu kedua berada di bawah
Djan Faridz yang pro-SDA. Saat terjadi dualisme kepengurusan itu, Menkum HAM
akhirnya mengesahkan kepengurusan Romahurmuzy. Keputusan tersebut dilawan
kubu Djan. Mereka menggugat ke PTUN. Dan, PTUN akhirnya memutuskan menerima
gugatan kubu Djan dan membatalkan keputusan Menkum HAM.
Di sinilah aroma lobi politik itu kental terasa di lembaga
peradilan dalam pusaran konflik partai. Jika memang benar bahwa ada lobi
politik yang mendasari keputusan pemerintah dan keputusan lembaga peradilan
terkait konflik partai, sesungguhnya ini adalah kondisi yang memprihatinkan.
Ini semakin menguatkan kesan, di negara ini, politik masih menjadi panglima.
Ini sungguh tidak sehat. Mengapa?
''Politisi tidak pernah
percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat
memercayainya.'' (Charles de Gaulle) ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar