Media dan Publikasi Teror
Ahmad Safril
; Dosen Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Airlangga
|
REPUBLIKA,
31 Maret 2015
Beberapa bulan terakhir, berita tentang Negara Islam Irak dan
Suriah (ISIS) menghiasi berbagai media di Indonesia. Pada akhir Desember
2014, di situs jejaring video Youtube, muncul video yang menampilkan seorang
anggota ISIS mengancam membunuh anggota TNI dan Polri.
Awal bulan ini, sejumlah media massa menempatkan kabar
menghilangnya 16 WNI di Turki yang diduga bergabung dengan ISIS sebagai
berita utama. Dalam perkembangannya, penangkapan 16 WNI lain di perbatasan
Turki dan Suriah juga tidak luput dari pantauan media. Selasa (15/3) lalu,
beredar video propaganda ISIS berjudul "Cahaya Tarbiyah di Bumi
Khilafah" yang menampilkan anak-anak berusia di bawah 15 tahun sedang
berlatih perang yang semakin menyemarakkan pemberitaan terorisme di media.
Semua peristiwa yang saling berkaitan itu menarik perhatian
media, baik cetak maupun elektronik dan terutama media sosial. Sebagian besar
media cetak di negeri ini menempatkan aneka peristiwa itu sebagai berita di
halaman utama. Sejumlah media elektronik menjadikannya sebagai topik khusus
dalam dialog yang ditayangkannya.
Ruang diskusi di media-media sosial seperti Facebook dan Twitter
juga dipenuhi perbincangan tentang ancaman ISIS. Hal itu menarik karena
sebagai media yang baru muncul di era masyarakat informasi sekarang ini,
media sosial memiliki peran penting memengaruhi opini publik.
Intensifnya pemberitaan ISIS mengindikasikan bahwa media
memiliki perhatian besar terhadap isu terorisme. Bagi Walter Laquer (2004),
fenomena itu wajar karena sesungguhnya media adalah sahabat teroris.
Aktivitas teroris tidak memiliki makna apa pun tanpa publikasi media. Karena
itu, Brigitte Nacos (2002) menyebut relasi media dan teroris sebagai
mass-mediated terrorism.
Teroris dan media memiliki relasi simbiotik yang saling
membutuhkan satu sama lain untuk kepentingan masing-masing. Tentu, ada
perbedaan tujuan di antara mereka. Bagi teroris, media adalah alat komunikasi
paling efektif mencapai tujuannya. Menurut Brian Jenkins (1998), agar menarik
perhatian media, sering kali teroris mendesain aksinya bagaikan koreografi
drama. Mereka merancang serangannya secara teatrikal dalam bentuk script preparation, cast selection, sets,
props, role playing & minute-by-minute stage management (Weiman & Winn 1994).
Publisitas media merupakan oksigen dan aliran darah teroris.
Tanpa pemberitaan luas media, aksi jaringan teroris bukan saja tidak akan
berarti, tapi juga tak bergigi. Dampaknya tidak akan meluas lantaran hanya
terlokalisasi hanya pada tempat kejadian. Karena, sifat aksi terorisme
menebar ketakutan, maka media membuat tugas teroris untuk meneror menjadi
lebih mudah dilakukan.
ISIS akan mati dengan sendirinya jika tidak ada media yang
memberitakan aktivitasnya. Kelompok militan pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi
ini tak akan berdaya jika tidak memiliki perangkat teknologi canggih yang
dioperasikan sebagai mesin propaganda untuk menyebarkan ideologi guna memikat
hati target yang hendak direkrut. Penyebaran video ISIS di internet
mengindikasikan jaringan teroris ini secara efektif memanfaatkan media sosial
sebagai instrumen propaganda.
Sebagai kelompok teroris modern, ISIS membentuk sejumlah
jaringan media seperti al-Furqan
Institute for Media Production (2006) yang memproduksi CD, DVD, dan
propaganda berbasis web, serta al-Hayat
Media Center (2014) yang khusus membuat materi dalam bahasa Inggris
dengan target masyarakat global. Melalui jaringan media itu, ISIS bermaksud
memublikasikan pesan perlawanan terhadap Amerika, menebarkan ideologinya
secara universal, menciptakan solidaritas di antara sesama Muslim di seluruh
dunia, sekaligus merekrut anggota baru. Aksi ini berhasil memikat puluhan
ribu orang dari berbagai penjuru dunia, termasuk sekitar 500 WNI, untuk
bergabung dengan ISIS.
Berbeda dengan pelaku kriminal lain yang memilih menutup diri
dari publisitas, jaringan teroris seperti ISIS justru sangat senang aksi
mereka menghiasi media massa. Hal ini juga dimaksudkan sebagai pesan
terselubung kepada jaringan lain agar ikut bergerak melawan musuh. Dengan
begitu, kian tampak eksistensi kelompok teroris sejatinya masih terjaga
meskipun banyak anggotanya yang tewas atau tertangkap dan jaringannya
kocar-kacir.
Sejalan dengan hasrat teroris untuk diberitakan, media massa pun
menyambut keinginan itu dalam publikasi besar-besaran. Dalam konteks ini, bad news is good news masih berlaku
dalam pemberitaan media massa. Kejahatan semacam terorisme dapat dikatakan
sebagai good news bila perhatian
utama hanya menjual koran atau program televisi.
Terorisme merupakan isu seksi yang menjadi perhatian serius
masyarakat sehingga liputan tentangnya bakal mampu meningkatkan rating media
massa yang memberitakan. Media massa memahami bahwa publik pasti ingin
mengetahui perkembangan terkini seputar isu terorisme karena terkait dengan
keamanan individu atau bahkan negara. Atas dasar pemenuhan keingintahuan
publik, maka media massa pasti mengemas pemberitaan soal terorisme secara
mendalam.
Selain itu, tak dapat dimungkiri fakta adanya kelompok orang
yang merasa bersimpati pada aksi dan misi jaringan teroris. Meskipun kelompok
semacam ini tidak banyak, bagaimanapun mereka tetaplah konsumen media massa.
Bagi media massa, mereka adalah kalangan yang unik lantaran memiliki
pandangan berbeda dibanding pendapat mayoritas. Karena itu, kadang kala media
massa mengeksposnya demi memenuhi unsur cover
both sides dalam pemberitaannya. Dapat dipahami jika setiap kali terjadi
aktivitas teroris, media massa pasti meliputnya dengan gegap gempita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar