Jumat, 10 April 2015

Media dan Publikasi Teror

Media dan Publikasi Teror

Ahmad Safril  ;  Dosen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
REPUBLIKA, 31 Maret 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Beberapa bulan terakhir, berita tentang Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) menghiasi berbagai media di Indonesia. Pada akhir Desember 2014, di situs jejaring video Youtube, muncul video yang menampilkan seorang anggota ISIS mengancam membunuh anggota TNI dan Polri.

Awal bulan ini, sejumlah media massa menempatkan kabar menghilangnya 16 WNI di Turki yang diduga bergabung dengan ISIS sebagai berita utama. Dalam perkembangannya, penangkapan 16 WNI lain di perbatasan Turki dan Suriah juga tidak luput dari pantauan media. Selasa (15/3) lalu, beredar video propaganda ISIS berjudul "Cahaya Tarbiyah di Bumi Khilafah" yang menampilkan anak-anak berusia di bawah 15 tahun sedang berlatih perang yang semakin menyemarakkan pemberitaan terorisme di media.

Semua peristiwa yang saling berkaitan itu menarik perhatian media, baik cetak maupun elektronik dan terutama media sosial. Sebagian besar media cetak di negeri ini menempatkan aneka peristiwa itu sebagai berita di halaman utama. Sejumlah media elektronik menjadikannya sebagai topik khusus dalam dialog yang ditayangkannya.

Ruang diskusi di media-media sosial seperti Facebook dan Twitter juga dipenuhi perbincangan tentang ancaman ISIS. Hal itu menarik karena sebagai media yang baru muncul di era masyarakat informasi sekarang ini, media sosial memiliki peran penting memengaruhi opini publik.

Intensifnya pemberitaan ISIS mengindikasikan bahwa media memiliki perhatian besar terhadap isu terorisme. Bagi Walter Laquer (2004), fenomena itu wajar karena sesungguhnya media adalah sahabat teroris. Aktivitas teroris tidak memiliki makna apa pun tanpa publikasi media. Karena itu, Brigitte Nacos (2002) menyebut relasi media dan teroris sebagai mass-mediated terrorism.

Teroris dan media memiliki relasi simbiotik yang saling membutuhkan satu sama lain untuk kepentingan masing-masing. Tentu, ada perbedaan tujuan di antara mereka. Bagi teroris, media adalah alat komunikasi paling efektif mencapai tujuannya. Menurut Brian Jenkins (1998), agar menarik perhatian media, sering kali teroris mendesain aksinya bagaikan koreografi drama. Mereka merancang serangannya secara teatrikal dalam bentuk script preparation, cast selection, sets, props, role playing & minute-by-minute stage management (Weiman & Winn 1994).

Publisitas media merupakan oksigen dan aliran darah teroris. Tanpa pemberitaan luas media, aksi jaringan teroris bukan saja tidak akan berarti, tapi juga tak bergigi. Dampaknya tidak akan meluas lantaran hanya terlokalisasi hanya pada tempat kejadian. Karena, sifat aksi terorisme menebar ketakutan, maka media membuat tugas teroris untuk meneror menjadi lebih mudah dilakukan.

ISIS akan mati dengan sendirinya jika tidak ada media yang memberitakan aktivitasnya. Kelompok militan pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi ini tak akan berdaya jika tidak memiliki perangkat teknologi canggih yang dioperasikan sebagai mesin propaganda untuk menyebarkan ideologi guna memikat hati target yang hendak direkrut. Penyebaran video ISIS di internet mengindikasikan jaringan teroris ini secara efektif memanfaatkan media sosial sebagai instrumen propaganda.

Sebagai kelompok teroris modern, ISIS membentuk sejumlah jaringan media seperti al-Furqan Institute for Media Production (2006) yang memproduksi CD, DVD, dan propaganda berbasis web, serta al-Hayat Media Center (2014) yang khusus membuat materi dalam bahasa Inggris dengan target masyarakat global. Melalui jaringan media itu, ISIS bermaksud memublikasikan pesan perlawanan terhadap Amerika, menebarkan ideologinya secara universal, menciptakan solidaritas di antara sesama Muslim di seluruh dunia, sekaligus merekrut anggota baru. Aksi ini berhasil memikat puluhan ribu orang dari berbagai penjuru dunia, termasuk sekitar 500 WNI, untuk bergabung dengan ISIS.

Berbeda dengan pelaku kriminal lain yang memilih menutup diri dari publisitas, jaringan teroris seperti ISIS justru sangat senang aksi mereka menghiasi media massa. Hal ini juga dimaksudkan sebagai pesan terselubung kepada jaringan lain agar ikut bergerak melawan musuh. Dengan begitu, kian tampak eksistensi kelompok teroris sejatinya masih terjaga meskipun banyak anggotanya yang tewas atau tertangkap dan jaringannya kocar-kacir.

Sejalan dengan hasrat teroris untuk diberitakan, media massa pun menyambut keinginan itu dalam publikasi besar-besaran. Dalam konteks ini, bad news is good news masih berlaku dalam pemberitaan media massa. Kejahatan semacam terorisme dapat dikatakan sebagai good news bila perhatian utama hanya menjual koran atau program televisi.

Terorisme merupakan isu seksi yang menjadi perhatian serius masyarakat sehingga liputan tentangnya bakal mampu meningkatkan rating media massa yang memberitakan. Media massa memahami bahwa publik pasti ingin mengetahui perkembangan terkini seputar isu terorisme karena terkait dengan keamanan individu atau bahkan negara. Atas dasar pemenuhan keingintahuan publik, maka media massa pasti mengemas pemberitaan soal terorisme secara mendalam.

Selain itu, tak dapat dimungkiri fakta adanya kelompok orang yang merasa bersimpati pada aksi dan misi jaringan teroris. Meskipun kelompok semacam ini tidak banyak, bagaimanapun mereka tetaplah konsumen media massa. Bagi media massa, mereka adalah kalangan yang unik lantaran memiliki pandangan berbeda dibanding pendapat mayoritas. Karena itu, kadang kala media massa mengeksposnya demi memenuhi unsur cover both sides dalam pemberitaannya. Dapat dipahami jika setiap kali terjadi aktivitas teroris, media massa pasti meliputnya dengan gegap gempita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar