Babak Baru Saudi-Iran
Tri Aryadi ; Konsulat Jenderal RI di Dubai Uni Emirat
Arab
|
REPUBLIKA,
31 Maret 2015
Februari lalu, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mewacanakan
pembentukan aliansi militer negara-negara Arab. Seruan terbentuknya militer
terpadu negara-negara Arab juga dilontarkan Sekjen Liga Arab, Nabil Al-Arabi,
pada pertemuan Liga Arab di Kairo awal Maret lalu.
Walaupun dasar pembentukan aliansi militer ini untuk menghadapi
ancaman teroris, bila rencana itu terealisasi dapat membuka kembali babak
baru persaingan Arab Saudi dan Iran serta jelas akan berpengaruh pada peta
politik Timur Tengah mendatang.
Arab Saudi dan Iran adalah dua negara yang memiliki pengaruh
besar, tak pelak kestabilan Timur Tengah akan sangat dipengaruhi keduanya.
Dengan kemampuan ekonomi dan militer yang dimiliki serta dukungan kekuatan
besar seperti Amerika Serikat dan Rusia, menjadikan mereka terus bersaing
dalam memasukkan negara lainnya ke orbit masing-masing. Konflik keduanya kini
dianggap simbol persaingan modern antara Suni dan Syiah yang kemudian
menghasilkan perang proxy di beberapa negara Timur Tengah.
Di Suriah, rezim Bashar al-Assad berdiri kokoh dengan sokongan
Iran. Majalah the Economist edisi Januari 2015 menyatakan, Iran tak hanya
membantu dengan bahan bakar dan senjata, tetapi juga ratusan penasihat dari
Pasukan Garda Revolusi Iran serta ribuan milisi Syiah yang dilatih Iran di
Lebanon dan Irak. Sebaliknya, Saudi dan negara-negara Arab lainnya terus
mendukung perjuangan kelompok oposisi yang ingin menumbangkan rezim al-Assad
sejak dimulainya Arab Spring.
Di Irak, Menteri Pertahanan Khalid al-Obaidi menyatakan, Iran
berperan penting melawan ISIS di Irak. Pemerintah Irak yang sebelumnya
kewalahan melawan ISIS, dengan bantuan milisi Syiah yang dilatih Iran,
akhirnya bisa merebut kembali beberapa kota seperti Amerli, Baiji, dan Erbil
di wilayah Kurdi. Saudi juga memulihkan hubungan dengan Irak untuk
mengimbangi pengaruh Iran. Saudi merencanakan membuka kembali kedutaannya di
Baghdad dan konsulat di Erbil, setelah 25 tahun putusnya hubungan diplomatik
keduanya.
Di Yaman, Saudi memimpin Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) untuk
mendukung kepemimpinan Presiden Mansour Hadi yang terus dirongrong milisi
al-Houthi yang didukung Iran. Ketika Presiden Mansour Hadi melarikan diri
dari pengepungan al-Houthi di Sanaa dan menjalankan roda pemerintahan di Kota
Aden, Yaman selatan, negara-negara GCC pun memindahkan kedutaannya dari Sanaa
ke Aden.
Demi terus mempertahankan Pemerintah Hadi, Saudi pun memimpin
koalisi untuk serangan udara terhadap milisi al-Houthi yang juga mulai
menguasai Aden dan berusaha merebut Yaman secara keseluruhan. Setelah
pendudukan Sanaa, al-Houthi dan Iran justru meneken perjanjian pembukaan
penerbangan langsung kedua negara.
Ada beberapa faktor yang mempersengit persaingan Saudi dan Iran
belakangan ini. Pertama, pivot strategy pemerintahan Barack Obama sehingga
terjadi perubahan arah konsentrasi politik luar negeri AS dari Timur Tengah
menuju Asia Pasifik. AS yakin keterlibatannya lebih banyak dibutuhkan di Asia
Pasifik mengingat pada abad 21 banyak hal besar akan terjadi di kawasan ini.
Perubahan arah ini juga ditunjang industri shale oil AS yang
semakin berkembang hingga mengurangi ketergantungan AS akan suplai minyak
Timur Tengah. Inilah yang membuat AS kini tampak "enggan" terlibat
di Timur Tengah. Kedua, berkembangnya ekspansi ISIS dan aksi terornya yang
sangat menyedot perhatian dunia dan seakan menenggelamkan isu keamanan
lainnya di Timur Tengah.
Kedua faktor ini menyebabkan "permainan" di kawasan
Timur Tengah berubah. Sikap AS yang selektif melibatkan diri memberi ruang
lebih bagi Iran berperan di Timur Tengah. Koalisi yang dipimpin AS hanya
melakukan serangan udara terhadap ISIS. Sedangkan di darat, Iranlah yang
berperan besar di Irak dan Suriah. ISIS juga menyebabkan dunia seakan
melupakan perang saudara di Suriah di mana Iran terus mendukung rezim Bashar
al-Assad.
Di Yaman, al-Houthi leluasa menguasai Sanaa dan membubarkan
parlemen. Ketika kondisi Yaman memburuk, AS bahkan mengeluarkan 100
tentaranya dari pangkalan udara al-Anad di selatan Yaman. Selain itu,
perundingan isu program nuklir Iran antara anggota Dewan Keamanan PBB dan
Jerman (P5 + 1) dengan Iran bisa berujung pada pencabutan sanksi ekonomi atas
Iran. Saudi dan negara-negara GCC khawatir bila sanksi dicabut, Iran akan
lebih memiliki kekuatan finansial menancapkan pengaruhnya di Timur Tengah.
Saudi berusaha mempersiapkan diri bila AS benar-benar membatasi
diri di Timur Tengah dan kekuatan Iran semakin besar. Keputusan Saudi untuk
tidak menjadi swing producer dalam mencegah jatuhnya harga minyak dunia
secara tidak langsung menekan Iran yang 60 persen penghasilan ekspornya
bersumber dari migas. Saudi juga sangat berkepentingan menjaga keutuhan GCC
yang sempat goyah karena perseteruan internal dengan Qatar.
Saudi merangkul Pakistan yang merupakan negara nuklir mayoritas
penduduknya Islam Suni. Mesir jelas mitra penting GCC di kawasan ditambah ide
pembentukan aliansi militer negara-negara Arab sangat berguna dalam
merapatkan barisan menghadapi Iran. Dengan adanya koalisi GCC, Mesir, dan
Pakistan, Saudi tampaknya sudah siap menghadapi Iran tanpa sokongan AS.
Serangan koalisi GCC terhadap milisi al-Houthi di Yaman
merupakan panggung pertama bukti kesiapan itu sekaligus pembuka jalan
terbentuknya aliansi militer negara-negara Arab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar