Jumat, 10 April 2015

Babak Baru Saudi-Iran

Babak Baru Saudi-Iran

Tri Aryadi  ;  Konsulat Jenderal RI di Dubai Uni Emirat Arab
REPUBLIKA, 31 Maret 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Februari lalu, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mewacanakan pembentukan aliansi militer negara-negara Arab. Seruan terbentuknya militer terpadu negara-negara Arab juga dilontarkan Sekjen Liga Arab, Nabil Al-Arabi, pada pertemuan Liga Arab di Kairo awal Maret lalu.

Walaupun dasar pembentukan aliansi militer ini untuk menghadapi ancaman teroris, bila rencana itu terealisasi dapat membuka kembali babak baru persaingan Arab Saudi dan Iran serta jelas akan berpengaruh pada peta politik Timur Tengah mendatang.

Arab Saudi dan Iran adalah dua negara yang memiliki pengaruh besar, tak pelak kestabilan Timur Tengah akan sangat dipengaruhi keduanya. Dengan kemampuan ekonomi dan militer yang dimiliki serta dukungan kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Rusia, menjadikan mereka terus bersaing dalam memasukkan negara lainnya ke orbit masing-masing. Konflik keduanya kini dianggap simbol persaingan modern antara Suni dan Syiah yang kemudian menghasilkan perang proxy di beberapa negara Timur Tengah.

Di Suriah, rezim Bashar al-Assad berdiri kokoh dengan sokongan Iran. Majalah the Economist edisi Januari 2015 menyatakan, Iran tak hanya membantu dengan bahan bakar dan senjata, tetapi juga ratusan penasihat dari Pasukan Garda Revolusi Iran serta ribuan milisi Syiah yang dilatih Iran di Lebanon dan Irak. Sebaliknya, Saudi dan negara-negara Arab lainnya terus mendukung perjuangan kelompok oposisi yang ingin menumbangkan rezim al-Assad sejak dimulainya Arab Spring.

Di Irak, Menteri Pertahanan Khalid al-Obaidi menyatakan, Iran berperan penting melawan ISIS di Irak. Pemerintah Irak yang sebelumnya kewalahan melawan ISIS, dengan bantuan milisi Syiah yang dilatih Iran, akhirnya bisa merebut kembali beberapa kota seperti Amerli, Baiji, dan Erbil di wilayah Kurdi. Saudi juga memulihkan hubungan dengan Irak untuk mengimbangi pengaruh Iran. Saudi merencanakan membuka kembali kedutaannya di Baghdad dan konsulat di Erbil, setelah 25 tahun putusnya hubungan diplomatik keduanya.
Di Yaman, Saudi memimpin Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) untuk mendukung kepemimpinan Presiden Mansour Hadi yang terus dirongrong milisi al-Houthi yang didukung Iran. Ketika Presiden Mansour Hadi melarikan diri dari pengepungan al-Houthi di Sanaa dan menjalankan roda pemerintahan di Kota Aden, Yaman selatan, negara-negara GCC pun memindahkan kedutaannya dari Sanaa ke Aden.

Demi terus mempertahankan Pemerintah Hadi, Saudi pun memimpin koalisi untuk serangan udara terhadap milisi al-Houthi yang juga mulai menguasai Aden dan berusaha merebut Yaman secara keseluruhan. Setelah pendudukan Sanaa, al-Houthi dan Iran justru meneken perjanjian pembukaan penerbangan langsung kedua negara.

Ada beberapa faktor yang mempersengit persaingan Saudi dan Iran belakangan ini. Pertama, pivot strategy pemerintahan Barack Obama sehingga terjadi perubahan arah konsentrasi politik luar negeri AS dari Timur Tengah menuju Asia Pasifik. AS yakin keterlibatannya lebih banyak dibutuhkan di Asia Pasifik mengingat pada abad 21 banyak hal besar akan terjadi di kawasan ini.

Perubahan arah ini juga ditunjang industri shale oil AS yang semakin berkembang hingga mengurangi ketergantungan AS akan suplai minyak Timur Tengah. Inilah yang membuat AS kini tampak "enggan" terlibat di Timur Tengah. Kedua, berkembangnya ekspansi ISIS dan aksi terornya yang sangat menyedot perhatian dunia dan seakan menenggelamkan isu keamanan lainnya di Timur Tengah.

Kedua faktor ini menyebabkan "permainan" di kawasan Timur Tengah berubah. Sikap AS yang selektif melibatkan diri memberi ruang lebih bagi Iran berperan di Timur Tengah. Koalisi yang dipimpin AS hanya melakukan serangan udara terhadap ISIS. Sedangkan di darat, Iranlah yang berperan besar di Irak dan Suriah. ISIS juga menyebabkan dunia seakan melupakan perang saudara di Suriah di mana Iran terus mendukung rezim Bashar al-Assad.

Di Yaman, al-Houthi leluasa menguasai Sanaa dan membubarkan parlemen. Ketika kondisi Yaman memburuk, AS bahkan mengeluarkan 100 tentaranya dari pangkalan udara al-Anad di selatan Yaman. Selain itu, perundingan isu program nuklir Iran antara anggota Dewan Keamanan PBB dan Jerman (P5 + 1) dengan Iran bisa berujung pada pencabutan sanksi ekonomi atas Iran. Saudi dan negara-negara GCC khawatir bila sanksi dicabut, Iran akan lebih memiliki kekuatan finansial menancapkan pengaruhnya di Timur Tengah.

Saudi berusaha mempersiapkan diri bila AS benar-benar membatasi diri di Timur Tengah dan kekuatan Iran semakin besar. Keputusan Saudi untuk tidak menjadi swing producer dalam mencegah jatuhnya harga minyak dunia secara tidak langsung menekan Iran yang 60 persen penghasilan ekspornya bersumber dari migas. Saudi juga sangat berkepentingan menjaga keutuhan GCC yang sempat goyah karena perseteruan internal dengan Qatar.

Saudi merangkul Pakistan yang merupakan negara nuklir mayoritas penduduknya Islam Suni. Mesir jelas mitra penting GCC di kawasan ditambah ide pembentukan aliansi militer negara-negara Arab sangat berguna dalam merapatkan barisan menghadapi Iran. Dengan adanya koalisi GCC, Mesir, dan Pakistan, Saudi tampaknya sudah siap menghadapi Iran tanpa sokongan AS.

Serangan koalisi GCC terhadap milisi al-Houthi di Yaman merupakan panggung pertama bukti kesiapan itu sekaligus pembuka jalan terbentuknya aliansi militer negara-negara Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar