Minggu, 12 April 2015

Jokowi, Administrator, dan Tunjangan Kemewahan Pejabat

Jokowi, Administrator,

dan Tunjangan Kemewahan Pejabat

Laode Ida  ;  Sosiolog di Departemen Sosiologi FIS UNJ Jakarta;
Mantan wakil ketua DPD RI periode 2004–2009; 2009–2014
JAWA POS, 10 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

LANGKAH Presiden Jokowi mencabut Perpres No 39/2015 patut diapresiasi. Setidaknya, putra Solo itu masih menunjukkan respons positif terhadap sikap kritis dan reaksi penolakan dari banyak pihak terhadap kebijakan pemberian dana hibah mobil bagi para pejabat.

Selain itu, dia rela menanggung ''rasa malu'' ketika menyatakan tidak mengetahui substansi besaran-nominal bantuan tersebut –karena tidak sedikit yang menganggap sangat janggal jika seorang presiden hanya membubuhkan tanda tangan yang disodorkan administrator yang membuat draf kebijakan itu.

Namun, para warga bangsa yang bersikap ''tidak setuju'' dengan kebijakan hibah mobil tersebut tidak boleh langsung menganggap persoalan akan selesai di situ. Sebab, ''penarikan perpres'' itu belum tentu bersifat permanen dan sekaligus meniadakan bantuan mobil bagi para pejabat. Boleh jadi, hal tersebut hanya penundaan untuk sekadar meredam ''gejolak penolakan'' publik. Setelah itu, secara diam-diam kembali diterbitkan perpres baru.

Padahal, yang diharapkan rakyat bangsa ini, presiden tidak perlu lagi mengeluarkan kebijakan untuk menambah fasilitas kemewahan para pejabat. Catat saja, setiap bulan mereka mendapat gaji tetap dan berbagai tunjangan serta honor-honor, baik rutin maupun on duty bases. Total take home pay (yang dibawa ke rumah) mereka bisa mencapai ratusan juta rupiah. Belum lagi –dan ini berlaku bagi anggota DPR dan DPD– kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan sistem administrasi lumsum seperti uang reses serta perjalanan, baik di dalam maupun luar negeri.

Bahkan, jika jujur diakui, tidak jarang oknum anggota parlemen memanipulasi administrasi pertanggungjawaban atas anggaran yang digunakan tanpa pengecekan lebih jauh oleh sekretariat atau BPK. Tiket pesawat, misalnya. Porsi mereka adalah business class, namun yang umumnya digunakan adalah kelas ekonomi. Margin harga itulah yang seketika mempertebal saku mereka, memperbanyak pendapatan di luar gaji dan honor-honor resmi. Semua itu ternyata legal adanya.

Yang ingin disampaikan di sini, melayani tuntutan kebutuhan para pejabat itu mungkin sama halnya dengan melegalisasi pemborosan uang negara untuk suatu tujuan kemewahan.

Persoalan utamanya, kebiasaan alokasi anggaran negara kita lebih didasarkan pada ''faktor keinginan'', bukan ''kebutuhan''. Karena itu, keinginan para pejabat mungkin sudah dianggap kebutuhan untuk segera dilayani. Apalagi hal itu sudah menjadi kebiasaan lima tahunan atau tahunan. Para administrator (supporting actors/system) di lembaga tempat pejabat tersebut merasa sudah bekerja dalam sistem sesuai dengan ketentuan sebelumnya yang sekaligus menjadikan para pejabat itu merasa happy dilayani.

Pimpinan lembaga yang mengajukan usul tersebut ke presiden tentu juga tidak salah karena sudah menjadi kewajiban untuk melayani keinginan anggotanya.

Dalam konteks ini, sebenarnya ada dua problem mendasar dalam proses-proses pengajuan sekaligus persetujuan atas keinginan untuk memanfaatkan uang negara bagi para pejabat. Pertama, ketiadaan pre-audit terhadap program atau keinginan yang akan dibiayai uang negara (APBN). Karena itu, di satu pihak, para administrator pelayan pejabat terus terjebak pada budaya ''asal bos senang''. Di lain pihak, anggaran negara terus saja dihabiskan atau diboroskan untuk sesuatu yang nirmanfaat.

Celakanya, karena itu sudah menjadi kebiasaan, untuk kasus ''usul uang tunjangan mobil pejabat'', sampai-sampai presiden negara ini ''harus tanggung malu''. Jika dikaitkan dengan agenda Presiden Jokowi, hal tersebut juga menunjukkan belum diimplementasikannya (1) revolusi mental, baik di kalangan pejabat negara maupun para administrator yang mengitari para pejabat itu, dan (2) belum diwujudkannya prinsip penggunaan anggaran yang efisien sesuai dengan skala prioritas.

Namun, para pemimpin negara ini, tampaknya, sudah menikmati berbagai tunjangan ''siluman'' kesejahteraan sehingga segala agenda kampanye Jokowi-JK niscaya hanya akan jadi dokumen catatan sejarah politik negeri ini. Yang diterapkan BPK adalah sistem post-audit yang bersifat membenarkan atau menyalahkan setelah program kegiatan berikut anggarannya dilakukan.

Kedua, dalam hubungan atasan dengan bawahan, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif dan yudikatif, sistem instruksi top-down atau bottom-up berdasar kebiasaan serta berbasis kepentingan, tampaknya, terus saja berlangsung.

Menurut John J. Gabarro dan John P. Kotter dalam artikel berjudul Managing Your Boss (dalam HBR's 10 Must Read, On Managing People, 2011), peran para bawahan justru sangat penting dalam mencapai keberhasilan kepemimpinan seseorang. Para anak buah harus selalu menyadari bahwa sang bos adalah manusia biasa (human being) sehingga selalu terbuka peluang untuk melakukan kekeliruan. Kelemahan itulah yang juga harus diantisipasi agar tidak menimbulkan sesuatu yang fatal.

Dalam kaitan tersebut, Gabarro dan Kotter menegaskan, para bawahan harus memiliki dua kemampuan utama. Yakni, (1) memiliki pemahaman yang baik tentang orang lain –tentu saja terlebih pada bosnya (good understanding to others) mengenai sisi kuat, sisi lemah, cara kerja (work styles), dan kebutuhan; serta (2) menggunakan berbagai informasi untuk membangun dan mengelola hubungan kerja yang sehat, baik antara dirinya (bawahan dengan bos) maupun antara bos dengan pihak di luar mereka –pihak lain yang memiliki banyak harapan terhadap sang bos.

Dengan kata lain, para bawahan pejabat sebenarnya menjadi penyaring utama atas segala rencana kebijakan yang akan diputuskan atasan. Dengan demikian, sang bos tidak melakukan kesalahan seperti dalam kasus Jokowi yang menandatangani perpres tanpa mengetahui substansi besaran uangnya. Bagi orang-orang yang mendampingi Jokowi, sebenarnya hal itu sangat tidak sulit.

Sebab, latar belakang, karakter, dan visi-misinya sudah sangat jelas, yakni sederhana, berorientasi kerakyatan, tidak ingin menghambur-hamburkan anggaran negara, dan sebagainya yang semua itu sudah tercantum dalam Nawacita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar