Minggu, 12 April 2015

Di Balik Senyum Diplomat RI

Di Balik Senyum Diplomat RI

Djoko Susilo  ;  Dubes RI di Bern 2010–2014
JAWA POS, 11 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

BEBERAPA hari lalu saya memperoleh kesempatan berbicara di depan sekitar 180 diplomat muda RI yang terdiri atas calon diplomat peserta Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) angkatan 39 dan para diplomat peserta Sekolah Staf Dinas Luar Negeri (Sesdilu) atau yang lebih dikenal sebagai jenjang pendidikan diplomat kelas menengah. Saya melihat wajah yang antusias, penuh keceriaan dan senyum bahagia karena terpilih sebagai salah satu kelompok elite yang akan mewakili Indonesia di forum internasional. Di antara mereka, sebagian sudah bergelar master atau berpendidikan S-2, baik dari universitas dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan, ada juga yang sudah bergelar doktor atau PhD dari universitas terkemuka. Jadi, mereka memang orang-orang yang terpilih dan terseleksi dengan ketat.

Dalam kesempatan itu, di tengah keceriaan mereka, saya ingatkan bahwa menjadi diplomat merupakan salah satu jenis jabatan PNS yang masih sangat dihormati dan dihargai masyarakat, tetapi tidak akan memungkinkan kaya raya. Karena itu, saya mengingatkan, para diplomat muda yang bercita-cita ingin kaya raya dengan bekerja di Kementerian Luar Negeri sebaiknya segera mengundurkan diri. Tugas diplomasi sangat penting, strategis, dan mulia sehingga mereka yang bercita-cita memupuk kekayaan sebaiknya tidak berkarir sebagai diplomat. Menjadi diplomat tidak akan kaya, walaupun juga tidak akan masuk kategori warga miskin.

Meski demikian, menjadi diplomat ternyata tidak "sehebat" bayangan saya sewaktu masih kuliah di Jurusan Hubungan Internasional UGM tiga puluh tahun silam. Salah satu pokok keruwetan yang menyebabkan diplomat RI tidak "sehebat" itu dan "bertaji" adalah kebijakan pemerintah sendiri, termasuk birokrasi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang jadi hambatan. Dari segi anggaran, Kemenlu termasuk bukan prioritas dengan bujet sekitar Rp 5,6 triliun. Dengan dana sekecil itu, bisa dimaklumi kalau tidak ada anggaran untuk promosi dagang dan pariwisata luar negeri yang memadai. Misalnya saja KBRI Bern di Swiss. Anggaran promosi wisata dan dagangnya hanya ratusan juta rupiah dan untuk melindungi WNI di seluruh Swiss, cuma disediakan USD 10.000. Selain itu, ketika PNS di instansi pemerintah lain mendapat remunerasi penuh, PNS di Kemenlu harus sabar dan tawakal menerima 47 persen saja. Juga, kalaupun bekerja ekstra di luar jam dinas, yang bersangkutan tidak akan mendapat upah lembur.

Sesungguhnya Menlu Retno Marsudi dan Sekjen J. Kristiarto Legowo yang bersahabat karib sejak masa kuliah di UGM bisa melakukan banyak perubahan untuk memperbaiki kondisi itu. Sayang, belum ada usaha penting yang menyentuh masalah internal. Misalnya saja mereformasi biro kepegawaian, biro keuangan, dan biro perencanaan. Tiga unit organisasi di bawah sekretariat jenderal itu secara tradisional dipimpin diplomat karir. Akibatnya, sangat sering terjadi pergantian nakhoda. Sebab, baru menjabat beberapa waktu sudah digeser untuk penugasan ke luar negeri dalam kapasitasnya sebagai diplomat karir. Kondisi itu pula yang menyebabkan para pejabat itu jarang berani membuat inovasi dan terobosan dalam tugasnya. Mereka hanya menjalankan apa yang diperintahkan atasan dan apa yang selama ini sudah biasa dilakukan. Walhasil, yang terjadi adalah business as usual.

Ambil contoh biro kepegawaian. Biro itu "nyawa" dan "penentu nasib" para diplomat. Sebab, di kantor itulah pergerakan diplomat RI di seluruh dunia diatur dan dikendalikan. Kapan diplomat berangkat ke pos penempatan dan kapan melakukan penarikan dari penempatan untuk kembali ke Jakarta, semua diatur oleh biro kepegawaian. Nasib ribuan diplomat tiap tahun ditentukan segelintir staf Kemenlu di biro yang vital itu. Sayang, biro yang sangat penting tersebut kurang tersentuh reformasi birokrasi Kemenlu. Baik dalam menempatkan maupun memulangkan seorang diplomat, biro kepegawaian kurang memperhitungkan kondisi lokal perwakilan RI. Mereka hanya terpaku pada jadwal bahwa seseorang setelah tiga atau empat tahun di luar negeri harus pulang, tidak peduli terjadi kekosongan pejabat di kantor perwakilan. Akibatnya, pelayanan perwakilan RI di negara lain tidak optimal atau memburuk karena kekurangan staf.

Sebagai contoh, pada 2013, saya pernah terancam kehilangan dua staf diplomat di KBRI Bern karena mereka sudah dipanggil pulang tanpa menunggu pengganti. Saya menyadari menurunnya pelayanan KBRI Bern jika dua staf tersebut dipulangkan tanpa pengganti. Sebab, jumlah "home staff" hanya delapan orang. Jika dikurangi dua orang, hanya tersisa enam orang, termasuk duta besar akan kerepotan mengurus berbagai tugas. Swiss memang negara kecil. Tetapi, hubungan ekonomi dengan Indonesia sangat intensif dan banyak kegiatan internasional pun diselenggarakan di negara itu.

Ketika kembali ke Jakarta, saya putuskan untuk menanyakan persoalan itu kepada kepala biro kepegawaian, mengapa dua staf saya ditarik dan tidak ada nama penggantinya. Jawabannya membikin jengkel saya: Calon pengganti baru akan dirapatkan seminggu lagi. Saya sudah tahu, jika saya pasrah saja, akan terjadi kekosongan staf di KBRI Bern tiga sampai enam bulan. Saya protes atas keputusan itu dan kepala biro pun setuju untuk menunda pemulangan staf saya sampai staf pengganti siap. Belakangan, setelah saya tidak di Bern, "penyakit" biro kepegawaian itu kumat lagi dengan tetap memulangkan diplomat tanpa menunggu pengganti.

Ketika berkunjung ke Pusdiklat Kemenlu, saya heran dengan masih banyaknya diplomat yang belum ditempatkan, nunggu sampai tujuh tahun, sementara di berbagai pos perwakilan ratusan posisi kosong tidak diisi. Tidak masuk akal jika waiting list penempatan sampai hampir tujuh tahun. Memang itu bukan tugas yang harus dapat perhatian khusus Menlu Retno. Tetapi, dia bisa memerintahkan Sekjen Kemenlu untuk segera membenahinya. Mengapa itu penting? Sebab, sesungguhnya esensi seseorang masuk Kemenlu adalah ingin ditempatkan di luar negeri. Jika saat ini diplomat lulusan ke-34 Sekdilu yang masuk Kemenlu hampir tujuh tahun lalu belum ditempatkan, kapan penempatan bagi angkatan ke-39 Sekdilu yang sekarang baru memulai pelatihan?

Karena itu, jika bertemu diplomat RI di luar negeri yang tampak bersemangat kerja dan penuh senyum menyapa kita, sesungguhnya hatinya selalu waswas dengan "hantu kawat merah" pemanggilan pulang. Sesampai di Pejambon pun tidak segera mendapat tugas. Mereka diberi gaji pokok berkisar Rp 5 juta untuk mantan duta besar dan konsul jenderal serta sekitar Rp 2 juta untuk diplomat muda. Saya masih bisa menemukan mantan konsul jenderal dan duta besar yang nonjob berbulan-bulan, padahal pos yang ditinggalkannya kosong melompong.

Menlu Retno, reformasi birokrasi harus menyentuh dan merombak di jantung Kemenlu, yakni biro kepegawaian, agar senyum diplomat RI senyum yang tulus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar