Indonesia
Darurat PAUD Inklusi
Yubaedi Siron ; Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri
Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 13 April 2015
UPAYA pemerintah untuk
meningkatkan program pelayanan pendidikan anak usia dini (PAUD) beberapa
tahun terakhir patut diacungi jempol. Program satu desa satu PAUD, misalnya,
terbukti membangkitkan antusiasme masyarakat untuk memasukkan anaknya
mengenyam PAUD yang berkualitas. Bila dilihat dari angka partisipasi kasar
(APK) PAUD, terdapat peningkatan yang cukup signifi kan jika dibandingkan
dengan 2014. Momentum ini mestinya menjadi titik tolak sekaligus modal
positif bagi pembangunan sumber daya manusia (SDM) di masa depan, yang
berkualitas dan tentu saja mampu memimpin Indonesia ke arah lebih baik.
Keberadaan PAUD sangat penting.
Menurut Schiller (2010), periode usia dini merupakan fase penting dalam
kehidupan anak. Peletakan dasar untuk mengembangkan berbagai potensi anak
sangat ditentukan proses pendidikan yang dialami di usia tersebut.
Demikian juga peningkatan pengetahuan,
keterampilan, sikap, sifat, dan pembentukan karakter anak sangat bergantung
pada apa yang dilihat, diperoleh, dan diajarkan pada periode ini. Sementara
itu, menurut hasil penelitian Perry dan Szalavitz (2007) dan Shonkoff dan
Phillips (2000), usia dini merupakan periode di saat otak mengalami
pertumbuhan yang luar biasa; otak anak usia tiga tahun bekerja dua setengah
kali lipat lebih aktif jika dibandingkan dengan otak orang dewasa. Selama
tiga tahun pertama kehidupannya, seorang anak membangun sekitar 1.000 triliun
sinapsis melalui berbagai pengalaman yang ditemuinya.
Diskriminasi
Meski upaya pemerintah cukup
getol untuk meningkatkan kualitas PAUD, dari sisi manajemen dan implementasi
perlu ditingkatkan lagi. Jika dibandingkan dengan PAUD di negara-negara lain,
kita termasuk ketinggalan. PAUD di berbagai negara sudah mempunyai manajemen
dan implementasi yang luar biasa. Sebagai contoh Individuals with Disabilities Education Act (IDEA), salah satu
hukum federal di Amerika, sudah secara gamblang memastikan semua anak
berkebutuhan khusus (ABK) mendapatkan layanan pendidikan terbaik dan gratis.
Bagaimana PAUD di Indonesia?
Jika jenjang di atasnya seperti sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama
(SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) sudah mengakomodasi keberadaan ABK
(walaupun belum ideal dan mengakomodasi sepenuhnya), PAUD justru sebaliknya.
Dengan kata lain, belum terlihat langkah konkret PAUD untuk mengakomodasi dan
memfasilitasi keberadaan ABK. Maka, tidak ada pilihan bagi PAUD selain terus
bekerja keras untuk mendesain dan mengimplementasi pendidikan inklusi karena
mau tak mau populasi ABK di Indonesia cukup besar. Jika dalam kelas ada 20-25
siswa, setidaknya ada dua atau tiga anak mempunyai kebutuhan khusus dalam
belajar.
Selain itu, ada sebagian guru
yang menganggap ABK mengganggu di kelas, berlari ke sana kemari, sulit diam,
suka merebut mainan temannya, hingga keluar masuk kelas. Guru takut diprotes
orangtua yang mempunyai siswa biasa (normal), karena menganggap belajar
anaknya terganggu ABK. Kesulitan dihadapi si guru, sebab kadang-kadang ABK
bersifat agresif, destruktif, dan konfrontatif. Lebih sulit lagi jika guru
harus menangani ABK yang menangis dan menjerit jika kemauannya tidak
dituruti. Banyak hal lagi yang menjadikan guru menjadi `ragu' untuk mengajar
ABK. Jika guru saja demikian, bagaimana dengan masyarakat?
Pelabelan masyarakat yang
miring terhadap ABK justru semakin menyudutkan mereka, misalnya beberapa
istilah untuk ABK seperti `cacat, tuna, tolol, bodoh', atau nama-nama negatif
lain. Menurut Anastasiow dkk (2009), pelabelan dengan istilah-istilah
tersebut tidak memanusiakan ABK. Anastasiow justru memberikan klasifikasi
yang lebih manusiawi untuk ABK. Pertama, ABK merupakan exeptional children (anak luar biasa), yaitu anak yang mengalami
perbedaan atau penyimpangan secara signifikan dari keadaan rata-rata
(normal), baik pada aspek fisik, motorik, kognitif, emosi dan atau sosial
sehingga mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang khusus supaya dapat
mengembangkan potensinya secara optimal.
Kedua, ABK merupakan student with disability (anak dengan
disabilitas), yaitu anak yang mengalami kesulitan atau ketidakmampuan dalam
menjalankan fungsi atau aktivitas tertentu karena ada kerusakan atau gangguan
(impairment) pada fungsi perkembangan
tertentu (fisik, sensorik, kognitif, dan atau sosio-emosional). Anak-anak
model ini membutuhkan pelayanan khusus agar mereka mampu melak sanakan
aktivitas dan mengembangkan potensinya secara optimal.
Ketiga, ABK merupakan student with special educational needs
(anak berkebutuhan khusus), yaitu anak yang membutuhkan cara atau pelayanan
pendidikan yang berbeda (khusus) karena berbagai sebab. Bisa disebabkan
faktor internal (kondisi perkembangan) atau faktor eksternal (lingkungan).
PAUD inklusi
Sebelum semakin banyak
perlakuan tidak manusiawi diterima ABK, sudah saatnya dikembangkan PAUD
inklusi. Itu disebabkan PAUD inklusi mempunyai multifungsi dan manfaat dalam
mengakomodir keberadaan ABK. Secara empiris, bukti-bukti penelitian tentang
kelebihan pendidikan inklusi telah tampak. Anak-anak dapat memperoleh
kemampuan sosial dan akademik ketika bergabung dengan pendidikan umum. Walau
ABK biasanya lebih sulit dikendalikan pada awal-awal masuk sekolah, setelah
bisa menyesuaikan diri secara perlahan, ia akan lebih menunjukkan sikap yang
kooperatif.
Menurut penulis, sudah
seharusnya PAUD di Indonesia menerima semua anak dengan apa pun `kebutuhan'
mereka, untuk difasilitasi dalam layanan pendidikan inklusi. Jangan sampai
ada penolakan-penolakan dengan alasan karena kurangnya fasilitas, SDM, atau
apa pun alasannya karena itu merupakan hak mereka.
Bukankah Undang-Undang Dasar
1945, khususnya Pasal 31 ayat 1, telah mewajibkan negara untuk memberikan
pendidikan kepada seluruh warganya tanpa terkecuali? Selain itu, perlu
digarisbawahi pentingnya penilaian tanpa diskriminasi dan penilaian
multidisipliner.
PAUD inklusi tidak akan efektif
tanpa partisipasi dari pemerintah, masyarakat, dan para orangtua ABK.
Koordinasi yang harmonis di antara berbagai aspek itu akan menjadi jembatan
penting bagi kesuksesan ABK menjadi pribadi yang mandiri dan berguna.
Sudah saatnya label minor untuk
ABK dihilangkan. Menurut hemat penulis, jika label minor tentang ABK sudah
dihilangkan dalam masyarakat, tidak perlu lagi label PAUD inklusi. Artinya,
perlu ditegaskan bahwa PAUD di Indonesia semua inklusi. Hal itu untuk
menghindari diskriminasi baru, yang justru semakin meminggirkan dan merampas
hak pendidikan bagi ABK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar