Selasa, 14 April 2015

Hakim Mulut Undang-Undang

Hakim Mulut Undang-Undang

Romli Atmasasmita  ;  Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
KORAN SINDO, 14 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Judul tulisan di atas pernah terlontarkan secara sinis terhadap fungsi dan peranan hakim abad ke-18 karena hakim dipandang hanya membaca dan melaksanakan undang-undang pidana (hukum materiil).

Hakim dinilai tidak mendasarkan putusannya pada keyakinan mengenai fakta atas suatu peristiwa dan keadaan-keadaan yang terjadi yang mendorong terjadi peristiwa konkret. Intinya hakim pada abad ke-18 tidak berbeda dengan hakim perdata hanya menemukan kebenaran formal mengenai penerapan ketentuan UU pada peristiwa konkret.

Hakim saat itu tidak membedakan siapa pelaku kejahatan dan keadaan kejiwaan pelakunya serta ihwal yang meringankan dan memberatkan dan alasan pemaaf dan alasan pembenar. Perubahan zaman kehidupan dan peradaban masyarakat abad ke-18 telah berkembang dan kini mengalami perubahan signifikan mengenai nilai-nilai kehidupan bagi umat manusia.

Perubahan terpenting dan signifikan daripadanya adalah bahwa kini setiap manusia memiliki hak yang paling asasi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sejak ia dilahirkan.

Dalam perkembangannya hak asasi yang melekat bahkan sejak lahir diklasifikasikan pada dua jenis: hak asasi yang dapat dikesampingkan (derogable rights) seperti hak ekonomi, hak sosial, dan hak politik; dan hak yang tidak dapat dikesampingkan (nonderogable rights) seperti hak hidup. Hak asasi tersebut melekat pada setiap manusia tidak terbatas pada tempat maupun waktu dan abadi sepanjang manusia hidup bersama dalam lingkungan masyarakatnya.

Tempat setiap orang hidup dalam masyarakatnya tentu berbeda-beda. Perbedaan disebabkan beberapa aspek seperti aspek geografis, aspek sosial dan budaya, serta aspek hukum, termasuk kesadaran hukum masyarakat dan penegak hukumnya. Dahulu dalam HIR khusus hukum acara pidana tidak dikenal/diakui fungsi dan peranan hakim sebagai penggali nilai-nilai keadilan masyarakat—vide Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dan ketentuan Pasal 10 ayat (1).

Di sana diatur bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara hanya karena tidak ada undang-undang yang mengaturnya. Sedangkan kedua ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman tersebut mencerminkan bahwa hakim wajib berperan proaktif (tidak pasif) dan juga tidak menjadi ”mulut undang-undang” terhadap setiap orang yang memperjuangkan keadilan bagi dirinya terhadap penyalahgunaan wewenang/ kekuasaan.

Perjuangan menuntut keadilan adalah perjuangan sepanjang hidup dan sepanjang waktu. Karena itulah, putusan Mahkamah Konstitusi bahwa peninjauan kembali (PK) untuk tujuan menemukan keadilan dapat dilakukan berkali-kali; bukan hanya sekali atau tidak boleh lebih dari satu kali.

Perjuangan manusia sejak Deklarasi HAM Universal sampai saat ini (abad ke-20 dan ke-21) adalah perjuangan untuk melindungi hak asasi bagi setiap orang dalam setiap kepentingan apa pun sebagaimana telah dicantumkan di dalam UUD 1945 (BAB XA).

Ketentuan Pasal 28 J bahkan memberikan kewenangan kepada negara untuk membatasi HAM setiap orang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Perhatikan dan pahami ketentuan ini khusus kalimat, mengapa dan untuk tujuan apa negara harus membatasi HAM setiap orang dan harus dengan cara bagaimana pembatasan tersebut dilakukan. Doktrin dan ketentuan hukum pidana yang berpegang teguh pada asas legalitas sebagaimana bunyi Pasal 1 ayat (1) KUHP dengan tafsir bahwa penemuan hukum hanya dapat dilakukan pada hukum pidana materiil tidak sesuai dan relevan lagi dengan perkembangan HAM dalam masyarakat demokratis.

Pola itu hanya cocok pada rezim totaliter dan oligarki di mana posisi kekuasaan membuat UU dan kekuasaan eksekutif terhadap warganya tidak lagi neben, melainkan untergeordnet. Pandangan sedemikian itu juga berseberangan dengan arus masyarakat sipil yang demokratis. Mengapa?

Ini disebabkan hukum pidana formal atau hukum acara pidana selain merupakan tata cara bagi pengadilan bagaimana menerapkan hukum pada peristiwa konkret adalah juga bagaimana pengadilan (inklusif hakim) bekerja tidak berpihak (imparsial) dan mandiri untuk menemukan kebenaran materiil—sesungguh dan sebenar-benarnya—sesuai dengan nilai keadilan HAM setiap pencari keadilan.

Bagaimana mungkin dalam suatu masyarakat demokratis, setiap warganya tidak dapat atau terhambat untuk mencari dan memperoleh keadilan hanya karena fakta suatu peristiwa tidak ada pengaturannya di dalam UU? Selain alasan tersebut, fakta perkembangan hukum (baca UU) tidak selalu sejalan atau sesuai dengan perkembangan nilai keadilan dalam masyarakat bukanlah pemikiran baru karena sejak semester I (Pengantar Ilmu Hukum) telah diajarkan di Fakultas Hukum.

Beranjak dari pemikiran sosiologi hukum dan teori hukum pembangunan dan teori hukum progresif bahkan teori hukum integratif, sejatinya nilai-nilai yang terdapat di balik putusan hakim Sarpin dalam Praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan haruslah diakui objektif dan memperoleh justifikasi filosofis yuridis dan sosiologis. Harusnya putusan tersebut dipandang sebagai pintu masuk bagi setiap orang untuk memperjuangkan hak asasinya yang telah ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, dan dituntut tidak berdasarkan hukum.

Atau juga karena tindakan kekuasaan yang telah melampaui batas kewenangan atau tindakan mencampur adukkan wewenang atau tindakan sewenang- wenang penyelenggara negara atau aparat penegak hukum (Pasal 17 UU Nomor30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar