Rabu, 15 April 2015

UN dan Pengembangan Kurikulum Lokal

UN dan Pengembangan Kurikulum Lokal

              Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 13 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

TIDAK bisa dimungkiri bahwa unsur traumatis yang menghinggapi guru, orangtua, dan terutama para siswa menjelang ujian nasional (UN) berlangsung ialah sesuatu yang sudah dianggap lumrah. Dengan gaya seorang pedagang yang harus tegas dan pedas, Wapres Jusuf Kalla bahkan menegaskan kembali pentingnya UN sebagai sebuah mekanisme yang tetap harus dalam sebuah sistem yang konsisten dan teruji secara terus-menerus. Jusuf Kalla mengabaikan dampak kekerasan psikologis yang muncul akibat UN karena secara matematis jumlah anak yang stres dalam menghadapi UN sangatlah kecil.

Inilah ciri khas pandangan Jusuf Kalla tentang pendidikan sejak dahulu kala, selalu matematis, kecil-besar, untung-rugi, dan sedikit banyak tanpa menghiraukan kekacauan psikologis anak-anak.

Kebutuhan untuk meniadakan evaluasi proses pendidikan berjenis high stakes test semacam UN adalah imperatif. Hal itu sejalan dengan beragam kajian dan riset berdasarkan pengalaman puluhan tahun ahli evaluasi bahwa jenis evaluasi seperti UN harus dihentikan. Kita pun senang ketika Mas Menteri Anies serta-merta merespons kajian tersebut dengan mengakhiri UN sebagai penentu kelulusan siswa meskipun di beberapa daerah masih banyak para pejabat dinas pendidikan tetap membuat tafsir sendiri terhadap UN dengan mengumumkan kepada guru dan siswa bahwa UN tetap akan menentukan lulus tidak siswa. 

Saya meyakini instruksi Mas Menteri kurang efektif hingga ke tingkat operasional karena tafsir terhadap penyelenggaraan UN masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya, menjadi ajang gengsi para kepala dinas pendidikan.

Bagi saya, UN harus ditiadakan sebagai sebuah konsep terpusat karena posisi Menteri terlalu jauh untuk sampai langsung ke tingkat sekolah dan mengetahui apa saja yang terjadi di sekolah. Diperlukan paradigma baru bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk melihat UN sebagai bagian terkecil dari manajemen kurikulum, yang di dalamnya ada bagian penting yang disebut sebagai pengembangan kurikulum (curriculum development).

Menurut Fenwick W English (2004), selain konstruksi kurikulum dan pelembagaannya, pengembangan kurikulum memiliki begitu banyak keterlibatan para pemangku kebijakan (stakeholders) dan yang paling vital adalah posisi guru.

Tiga dimensi

Penurunan status UN dari penentu kelulusan menjadi bukan penentu kelulusan tentulah baru langkah awal. Kemendikbud harus lebih berani lagi dalam menciptakan kebijakan baru terkait dengan UN menjadi kewenangan guru dan sekolah. Selain amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, beberapa studi penting tentang hal itu mulai ramai diwacanakan.

Salah satunya ialah hasil riset dari Jonathan Savage dan William Evans dalam Developing a local curriculum: using your locality to inspire teaching and learning (2015) tentang alasan mengapa guru dan sekolah harus diberi kebebasan untuk mengembangkan kurikulum berbasis kebutuhan lokal dalam rangka menciptakan sistem evaluasi yang valid dan berdasarkan nilai dan lokalitas sebuah struktur masyarakat tempat sekolah berada di dalamnya.

Menurut Jonathan Savage dan William Evans, setidaknya ada tiga dimensi mengapa pengembangan kurikulum berbasis kebutuhan lokal sekolah menjadi penting. Pertama ialah dimensi personal guru (teacher personal dimension) karena bagaimanapun kepribadian guru tidak tumbuh dan berkembang karena kompleksitas hubungan masyarakat yang jauh dan besar, tetapi karena guru tumbuh, hidup, dan berkembang berdasarkan nilai-nilai hubungan kekerabatan yang secara genetis tumbuh di daerah masing-masing. Para guru tentu paham tentang apa yang terjadi dalam keseharian para siswa, orangtua, dan lingkungan masyarakat sekitar tempat mereka juga hidup dan bersosialisasi. Karena pengajaran dan pengembangan kurikulum selalu beriringan, mempertimbangkan kebutuhan lokal sangat penting untuk diterapkan dan lebih dari sekadar muatan lokal (mulok) dalam sistem kurikulum kita yang terkesan apa adanya.

Kedua ialah dimensi politik (political dimension) dari kurikulum, di saat dominasi negara selalu tak pernah bisa dikalahkan kebajikan lokal (local wisdom) sekalipun. Kurikulum selalu dipertimbangkan Kemendikbud sebagai sesuatu yang harus selalu dikonstruksi dan dilembagakan dari pusat sehingga jarak implementasi dan pengembangan kurikulumnya menjadi sangat jauh dari realitas sosial sekolah, siswa, dan masyarakat sekitar sekolah. Salah satu yang selalu merepotkan para guru ialah terlalu seringnya kurikulum diubah dan berubah sesuai dengan selera pusat, tetapi lalai dalam menimbang kebajikan lokal (local wisdom). Karena alasan politis inilah, sekali lagi, diperlukan pengembangan kurikulum lokal berbasis kebajikan lokal yang sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat.

Area based curriculum menjadi penting karena dimensi ketiga yang menjadi dasar pertimbangannya ialah aspek pedagogis (pedagogical dimension). Mengapa? Karena menurut Facer (2004), teachers are the curriculum makers, guru adalah pencipta sekaligus pelaku implementasi kurikulum yang paling terdepan. Bayangkan, karena alasan teknis kurikulum yang sangat formal dari tingkat pusat, puluhan tahun guru kita kehilangan semangat dan kesempatan untuk menjadi guru yang kreatif. Guru selalu dikejar setoran oleh para pengawas dan dinas pendidikan tentang aspek formal dari kurikulum, tetapi jarang sekali memberikan guru kebebasan pedagogis yang memungkinkan kreativitas dan inovasi mengajar mereka berkembang secara signifikan.

Pentingnya menimbang tiga dimensi pengambangan area based curriculum dalam rangka menciptakan sistem evaluasi pendidikan yang berkesinambungan adalah kebutuhan jangka menengah Kemendikbud yang harus segera dibuat proyek percontohannya, terutama untuk sekolah-sekolah negeri. Jangan sampai momentum revolusi mental yang sering digaungkan Presiden Joko Widodo menjadi tak berbekas karena rekam jejaknya tak terlihat dari proses pendidikan dan pengambangan kurikulum berbasis kebajikan lokal. Berani, Mas Menteri Anies?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar