Rabu, 01 April 2015

Hukum tanpa Rasa Keadilan

Hukum tanpa Rasa Keadilan

Agus Riewanto  ;  Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana  UNS
KORAN JAKARTA, 24 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Publik baru saja dikejutkan  tragedi keadilan dalam kasus hukum  nenek Asyani (63) di Kab Situbondo, Jawa Timur. Nenek  buta hukum itu telah ditahan atas tuduhan mencuri tujuh batang kayu milik PT Perhutani yang dibantahnya. Kayu diambil dari tanah milik sendiri.

Meski sudah memperlihatkan bukti kepemilikan tanah dan diperkuat keterangan kepala desa,  Asyani  tetap dilanjutkan ke pengadilan. Demikian pula kasus yang menimpa  kakek Harso Taruno (67),  petani di Kab Gunungkidul Yogyakarta. Dia  ditahan gara-gara dituduh menebang pohon di hutan Swakamargasatwa  Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Paliyan, Gunungkidul.

Lokasi lahan kakek Harso berdampingan dengan kawasan konservasi. Berbagai fakta dibeberkan di persidangan untuk menangkis tudingan miring itu. Mata kakek Harso berkaca-kaca setelah majelis hakim yang diketuai Yamti Agustina membebaskannya (Koran Jakarta, 19 Maret 2015).

Kasus hukum dua orang lanjut itu hanyalah serpihan kecil dari ratusan, bahkan ribuan kasus serupa, namun tak terekspos media (sosial). Inilah  tragedi dan ironi penegakan hukum  negeri  bersendikan sila kelima Pancasila: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maknanya,  seluruh rakyat  diperlakukan  adil dalam bidang hukum, politik, ekonomi, kebudayaan dan kebutuhan spiritual rohani sehingga tercipta masyarakat yang adil dan makmur.

Namun realitasnya tidak demikian. Hukum  sangat diskriminatif karena  hanya  tajam menghunjam ke bawah dan tumpul saat diayunkan ke atas. Inilah fakta  hari-hari ini. Bagi para pelaku kejahatan berkantong tebal dan berjejaring kekuasaan politik  kuat, nyaris hukum tak mampu menyentuhnya. Sebaliknya,  saat berhadapan dengan kaum lemah, papa, miskin secara kultural maupun  sosial karena tak punya  jaringan kekuasaan dan politik, hukum menjadi garang melebihi serigala.

Lihat fakta terpidana rekening gendut  1,5 triliun rupiah dalam kasus pembalakan  liar (illegal logging) dan penimbunan BBM yang dilakukan  Aiptu Labora Sitorus di Papua. Dia  dengan mdudah keluar  LP Sorong dan berbulan-bulan tidak diketahui.

Begitu pula dalam kasus korupsi yang menimpa sejumlah pejabat di Kemendagri dalam kasus korupsi milirian rupiah dalam proyek percontohan KTP elekronik berbasis nomor induk kependudukan (NIK). Mereka telah disidik sejak tahun 2010, namun tak satu pun ditahan. Kasus korupsi penyelewengan dana haji ratusan miliar rupiah yang menimpa bekas  Menteri Agama Suryadarma Ali dkk kendati telah ditetapkan tersangka sejak tahun 2013,  hingga kini tak satu pun ditahan.

Mencoreng

Ketimpangan inilah yang makin mencoreng wajah hukum yang kian menjauh dari rasa keadilan. Hukum yang direpresentasikan dalam penegakan undang-undang  telah menjauhkan dari esensinya,  keadilan. Sejak dulu  jagat hukum meyakini kebenaran pernyataan Gustav Radbruch (1949),  asas hukum ialah keadilan, selain kemanfaatan dan kepastian.

Namun dalam praktiknya,  hukum dan keadilan seperti bertolak belakang. Hukum seperti berjumawa meninggalan  rasa keadilan. Memang hukum dirancang tidak mungkin dapat menjalankan tiga asas itu secara bersamaan. Akan tetapi,  bagi Gustav Radbruch bila tidak mampu  melaksanakan asas kepastian dan kemanfaatan,  seharus keadilan adalah yang lebih diutamakan. Gustav Radbruch menyatakan ”rechct ist wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi  keadilan).

Kini aparatur hukum  telah kehilangan kreativitas dalam mewujudkan cita keadilan universal. Memang aparatur hukum kini tak berpihak pada kekuasaan politik rezim tertentu, namun mereka  telah memihak  pada uang. Maka yang terjadi, keadilan  telah beralih pada pemilik  uang yang  mampu membeli keadilan.

Sedangkan kaum miskin, maka keadilan tak pernah berpihak. Persis seperti disindir  Marc Galanter (1995) dalam bukunya Why The haves Come out Ahead: Speculations on The Limit of Legal Change.   dengan tegas dinyatakan,  hukum lebih berpihak pada orang kaya  karena  memang dijalankan oleh aparat,  bukan oleh komitmen menegakkan  asas keadilannya.

Hukum tak lagi dapat dipercaya untuk menyelesaikan aneka konflik perdata, pidana, maupun administrasi. Pikiran aparat hukum menyatakan,   menjalankan hukum bukan untuk menegakkan  keadilan, tapi lebih ditekankan pada prosedur yang kaku dan rigid sepanjang terdapat pasal dalam KUHP. Dengan kaca mata kuda, hukum dijalankan tanpa mempertimbangkan aspek sosiologis  terdakwa, seperti kasus nenek Asyani dan Harso taruno yang papa dan renta.

Itulah sebabnya dunia hukum  sangat asing dan jauh dari jangkauan nalar rakyat kecil untuk memahaminya baik dari aspek: bahasa, logika, bahkan putusan hukum. Semua hadir dalam ruang yang sulit di mengerti dan dan dipahami. Jadilah hukum menjadi sesuatu yang elitis. Inilah yang mendorong rakyat  kian meminggirkan hukum negara sebagai cara utama  menyelesaiakan konflik.

Hampir semua kasus hukum yang coba diselesaikan lewat litigasi  pengadilan selalu mengecewakan  dan melahirkan keputusasaan. Sesuatu yang seharusnya diputus bebas, malah dihukum. Sebaliknya, sesuatu yang seharusnya dihukum, justru  dibebaskan.

Hukum kini tidak lagi hitam putih, tapi menjadi abu-abu. Lebih licin permainan hukum ketimbang  politik. Tak jelas lagi antara  putusan hukum dan  putusan politis. Anehnya, belakangan aneka kasus megakorupsi yang melibatkan elite politik selalu berdalih diselesaikan dan dipercayakan pada mekanisme hukum. Padahal sebenarnya tak pernah benar-benar ada mekanisme hukum itu. Yang ada adalah mekanisme politis. Politik selalu  mengalahkan hukum. Jadilah politik sebagai panglima. Hukum harus tertawan dan tunduk pada politik.

Budaya kekerasan masyarakat dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum, seperti membakar pencuri dan begal dalam keadaan hidup, sungguh memprihatinkan. Tapi barangkali itu ungkapan kekecewaan pada aparat hukum. Atau juga sebagai  cermin  kekerasan yang disumbangkan  sistem hukum itu sendiri.

Hukum  kini  berwatak “minimalis.” Artinya,  aparatur  (polisi, jaksa, dan hakim) merasa telah menjalankan hukum bila peraturan-peraturan sudah diterapkan sebagaimana  tercantum  dalam UU. Inilah  cermin dari menjalankan hukum sebagai teknologi saja.

Seharusnya hukum dijalankan dalam watak idealis dan progresif,  tidak sekadar menerapkan teks-teks  peraturan begitu saja. Dia harus  juga  memimikirkan nilai-nilai dan rasa keadilan.

Hukum bukan semata-mata teknologi, tapi  sarana untuk mengekspresikan nilai dan moral. Untuk mewujudkan hukum yang berwibawa dan memperoleh kepercayaan publik, maka saatnya kini menempatkan sistem hukum untuk kian sensitif dalam mewujudkan rasa keadilan dan berpihak pada nilai moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar