Dua Sisi Koin Diplomasi Pertahanan
Rodon Pedrason
; Pengajar di Universitas
Pertahanan Indonesia; Sedang Menyelesaikan Program PhD di Ruprecht-Karls
Universitat, Heidelberg, Jerman; Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN Kemdikbud
RI
|
KORAN
SINDO, 08 April 2015
Penggunaan kata-kata ”diplomasi” dan ”pertahanan” pada
terminologi diplomasi pertahanan secara bersamaan dianggap sesuatu hal yang
anomali sejak lama.
Tetapi, sekarang ini penggabungan dua kata tersebut tidak lagi
menjadi masalah. Sejak 2006 secara resmi negara-negara ASEAN telah
menjalankan konsep diplomasi pertahanan dalam merespons perubahan lingkungan
politik dan keamanan di kawasan.
Para pakar telah menyaksikan bukti-bukti kuat tentang penguatan
secara institusional rancangan diplomasi pertahanan dalam lingkup
multilateral. Memang, penguatan tersebut sebuah perkembangan yang signifikan
setelah dalam waktu yang cukup lama negara di kawasan menolak untuk membahas
kerja sama pertahanan regional.
Munculnya diplomasi pertahanan multilateral di Asia Tenggara
adalah sebuah fenomena yang relatif baru Banyak pakar yang berpendapat bahwa
belum ada satu pun definisi universal tentang diplomasi pertahanan, tetapi
fitur spesifik yang membentuk pemahaman kontemporer diplomasi pertahanan
tampaknya muncul dalam konteks Asia Tenggara.
Hampir satu dasawarsa terakhir kita melihat kerja sama yang
lebih erat antara militer ASEAN atas berbagai isu yang mencakup tugas dan
fungsi utama, serta peran militer di luar tugas tradisional militer itu
sendiri, seperti tugas-tugas penjaga perdamaian, memajukan tata pemerintahan
yang baik, respons cepat terhadap bencana alam dan kemanusiaan, serta
melindungi hak asasi manusia.
Seperti telah dibuktikan dengan kegiatan yang berhubungan dengan
pertahanan. Berbeda dengan kegiatan sebelumnya, diplomasi pertahanan di Asia
Tenggara saat ini melibatkan kerja sama militer dengan militer dan antara
mitra di kawasan. Konsekuensi yang signifikan bagi diplomasi pertahanan
adalah bahwa militer di kawasan dan infrastruktur yang terkait menjadi
lembaga yang terlibat lebih intens dalam praktik diplomasi dan kebijakan luar
negeri negara-negara Asia Tenggara.
Penggunaan kekuatan bersenjata untuk mendukung diplomasi negara
secara historis berkaitan dengan kepentingan nasional. Keterlibatan militer
dalam diplomasi merupakan elemen untuk mencegah ambisi asing, yang dapat
dilakukan melalui pamer kekuatan militer.
Dalam hal ini berupa unjuk kemampuan personel, kecanggihan
persenjataan dan kemampuan untuk membangun rasa saling menghormati dan rasa
persaudaraan. Kemampuan tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan
nasional baik politik, ekonomi, integritas nasional, atau kedaulatan negara.
Salah satu elemen kekuatan nasional adalah kualitas diplomasi
seperti yang dijelaskan Morgenthau. Diplomasi sangat krusial meskipun unsur
ini sangat tidak stabil. Diplomasi bisa dikatakan adalah otak dari kekuatan
nasional, sedangkan semangat nasional adalah jiwanya.
Kualitas diplomasi dari setiap negara yang terlibat dalam
hubungan internasional sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Diplomasi
tidak dapat berdiri sendiri karena dalam diplomasi terdapat gabungan strategi
militer dan tentu saja upaya sipil melalui cara-cara diplomatik. Sedangkan
Clausewitz menggambarkan diplomasi sebagai hubungan antara sarana, cara, dan
tujuan.
Dia menyebutnya sebagai ”trinitas paradoks” yang terdiri atas
pemerintah, militer, dan masyarakat. Pemerintah merepresentasikan bentuk
tanggung jawab untuk menentukan tujuan politik dan muara dari konflik.
Militer bertanggung jawab untuk mengembangkan strategi (cara) dan masyarakat
yang diwakili oleh parlemen mewakili kehendak dan sumber daya (sarana).
Dalam konteks polemik hukuman mati bagi dua terpidana Bali Nine,
Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, setiap elemen dari trinitas paradoks yang
mewakili kepentingan nasional Indonesia maupun Australia telah memainkan
perannya masingmasing.
Pemerintah Australia telah melakukan lobi diplomatik agar
Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia
bersedia memberikan pengampunan. Penolakan yang dilakukan Presiden Jokowi
terhadap lobi pemerintahan Tony Abbott disampaikan dengan terang benderang; ”Kita ini menjaga hubungan baik dengan
negara mana pun, ingin bersahabat dengan negara mana pun, tapi kedaulatan
hukum tetap kedaulatan hukum. Kedaulatan politik tetap kedaulatan politik.”
Tindakan Pemerintah Indonesia memindahkan duo Bali Nine ke
Nusakambangan ditanggapi dengan sangat reaktif oleh Abbott yang mengaku muak
dengan rencana eksekusi mati dua warga negara Australia tersebut. Di kalangan
masyarakat sendiri pro dan kontra terhadap rencana pelaksanaan hukuman mati
bagi terpidana duo Bali Nine merambah ke berbagai media sosial, baik di
Indonesia maupun di Australia.
Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia mendukung eksekusi
mati tetap dilaksanakan, terlebih lagi setelah masyarakat Indonesia merasa
direndahkan oleh pernyataan Abbott yang mengaitkan bantuan kemanusiaan dengan
”pemaksaan” pembatalan hukuman mati bagi warga negaranya.
Solidaritas masyarakat Indonesia begitu menggelora dengan
melakukan gerakan ”koin untuk Abbott”, sebagai ganti dana bantuan kemanusiaan
untuk korban Tsunami Aceh.
Lantas di manakah peran militer dalam menyikapi rencana
pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana? Bagi TNI sendiri keikutsertaan
mengawal pemindahan Chan dan Myuran ke Nusakambangan merupakan bentuk
ketegasan TNI dalam mendukung politik negara.
Menurut Ian Storey, setidaknya ada lima dimensi diplomasi
pertahanan, salah satu dari dimensi tersebut adalah pertukaran dan penempatan
atase pertahanan sebagai penyambung lidah kebijakan pertahanan negara. Atase
pertahanan sesungguhnya merupakan intelijen terbuka yang mendapat izin dari
pemerintah negara akreditasi.
Atase pertahanan berhak dan legal mengumpulkan berbagai
informasi intelijen, situasi politik, dan isu-isu keamanan di negara tempat
mereka ditugaskan, tanpa takut dicurigai dan dituduh melakukan kegiatan
mata-mata.
Peran mengumpulkan informasi politik di negara para atase
pertahanan ditugaskan ini dapat dimaksimalkan TNI untuk mendukung kebijakan
politik luar negeri Indonesia. Seperti saat ini, kengototan dan kepanikan
Abbott serta Bishop dengan menggunakan berbagai cara diplomasi ditengarai
sesungguhnya memiliki agenda politik lain di dalam negaranya sendiri.
Paniknya Abbott bukanlah bentuk kepanikan masyarakat Australia
terhadap hukuman mati yang akan dijalani Chan dan Myuran. Nuansa kepanikan
dan situasi politik menjelang digelarnya pemilu di Australia pada 2016 merupakan
informasi berharga bagi atase pertahanan yang dapat menjadi senjata Presiden
Jokowi untuk menekan balik Abbott.
Pernyataan Abbott tentang bantuan kemanusiaan untuk Tsunami Aceh
menuai kecaman keras dari berbagai kalangan di Australia. Musuh-musuh politik
Abbott memanfaatkan blunder politik Abbott dan berusaha menjatuhkan jabatan
perdana menteri yang saat ini dipegang Abbott.
Momentum emas bagi lawan-lawan politik ini membuat Abbott
ketar-ketir karena popularitasnya menurun drastis dan pada pemilu mendatang
Abbott khawatir akan kehilangan posisinya. Di satu sisi, situasi politik yang
berubah dengan cepat ini mendorong Abbott dan Bishop berusaha keras melakukan
lobi kepada pemerintahan Indonesia agar duo Bali Nine dapat terbebas dari
hukuman mati.
Saat ini pemerintahan Abbott sedang berkejaran dengan waktu
kampanye dan pemilu yang semakin mendekat. Keberhasilan mereka membebaskan
Chan dan Myuran atau setidaknya dapat menunda pelaksanaan hukuman mati sampai
selesainya pemilu di Australia akan mengembalikan popularitas Abbott dan
dapat menjadi roket pendorong popularitasnya untuk mempertahankan kursi
perdana menteri.
Di sisi lain, penolakan Presiden Jokowi terhadap permintaan
Abbott dan kabinetnya tampaknya merupakan blessing in disguise bagi Presiden Jokowi.
Secara tidak sengaja, ketidakpastian pelaksanaan eksekusi terhadap duo Bali
Nine membuat Abbott blingsatan dan Presiden Jokowi memegang kartu truf dalam
melakukan komunikasi diplomatik dengan PM Abbott.
Peran Atase Pertahanan Indonesia dalam diplomasi pertahanan
ibarat dua sisi uang koin yang saling menunjang. Analisis tentang situasi
politik dalam negeri Australia ini menjadi informasi politik yang dapat
menjadi faktor kunci Pemerintah Indonesia dalam hubungan bilateral dengan
Australia maupun dengan negara lain tempat atase pertahanan ditugaskan.
Pemerintahan Presiden Jokowi dapat menerapkan kebijakan yang
cocok untuk keunggulan diplomasi Indonesia. Presiden Jokowi mengantongi
kelemahan Abbott yang saat ini terdesak dengan agenda politiknya dan opini
publik Australia yang mulai meninggalkannya.
Sesungguhnyalah, informasi yang diperoleh dan menjadi produk
intelijen hasil analisis atase pertahanan merupakan sebaris kalimat krusial
dalam menentukan kebijakan Pemerintah Indonesia. Kebijakan politik yang dapat
menentukan arah perkembangan ekonomi, efektivitas diplomasi, dan terutama
kedaulatan negara.
Diplomasi pertahanan melalui praktik intelijen terbuka menjadi
penting karena analisis yang dihasilkan merupakan koleksi informasi yang
melingkupi politik, ekonomi, pertahanan, dan kondisi sosial budaya negara
akreditasi tempat atase pertahanan ditugaskan. Diplomasi pertahanan merupakan
jembatan bagi komunikasi dua pihak angkatan bersenjata dan sarana diplomasi
berbagai isu pertahanan.
Diplomasi pertahanan dapat mempererat kerja sama antarangkatan
bersenjata dan meningkatkan rasa saling percaya antarnegara yang akan
mencegah konflik-konflik baru di kawasan. Diplomasi pertahanan dapat juga
menjadi senjata diplomatik efektif bagi kebijakan politik negara.
Menjadi tepat kiranya
bahwa politik militer (khususnya TNI) merupakan politik negara, yang
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar