Kamis, 09 April 2015

Dua Sisi Koin Diplomasi Pertahanan

Dua Sisi Koin Diplomasi Pertahanan

Rodon Pedrason  ;  Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia; Sedang Menyelesaikan Program PhD di Ruprecht-Karls Universitat, Heidelberg, Jerman; Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN Kemdikbud RI
KORAN SINDO, 08 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Penggunaan kata-kata ”diplomasi” dan ”pertahanan” pada terminologi diplomasi pertahanan secara bersamaan dianggap sesuatu hal yang anomali sejak lama.
Tetapi, sekarang ini penggabungan dua kata tersebut tidak lagi menjadi masalah. Sejak 2006 secara resmi negara-negara ASEAN telah menjalankan konsep diplomasi pertahanan dalam merespons perubahan lingkungan politik dan keamanan di kawasan.

Para pakar telah menyaksikan bukti-bukti kuat tentang penguatan secara institusional rancangan diplomasi pertahanan dalam lingkup multilateral. Memang, penguatan tersebut sebuah perkembangan yang signifikan setelah dalam waktu yang cukup lama negara di kawasan menolak untuk membahas kerja sama pertahanan regional.

Munculnya diplomasi pertahanan multilateral di Asia Tenggara adalah sebuah fenomena yang relatif baru Banyak pakar yang berpendapat bahwa belum ada satu pun definisi universal tentang diplomasi pertahanan, tetapi fitur spesifik yang membentuk pemahaman kontemporer diplomasi pertahanan tampaknya muncul dalam konteks Asia Tenggara.

Hampir satu dasawarsa terakhir kita melihat kerja sama yang lebih erat antara militer ASEAN atas berbagai isu yang mencakup tugas dan fungsi utama, serta peran militer di luar tugas tradisional militer itu sendiri, seperti tugas-tugas penjaga perdamaian, memajukan tata pemerintahan yang baik, respons cepat terhadap bencana alam dan kemanusiaan, serta melindungi hak asasi manusia.

Seperti telah dibuktikan dengan kegiatan yang berhubungan dengan pertahanan. Berbeda dengan kegiatan sebelumnya, diplomasi pertahanan di Asia Tenggara saat ini melibatkan kerja sama militer dengan militer dan antara mitra di kawasan. Konsekuensi yang signifikan bagi diplomasi pertahanan adalah bahwa militer di kawasan dan infrastruktur yang terkait menjadi lembaga yang terlibat lebih intens dalam praktik diplomasi dan kebijakan luar negeri negara-negara Asia Tenggara.

Penggunaan kekuatan bersenjata untuk mendukung diplomasi negara secara historis berkaitan dengan kepentingan nasional. Keterlibatan militer dalam diplomasi merupakan elemen untuk mencegah ambisi asing, yang dapat dilakukan melalui pamer kekuatan militer.

Dalam hal ini berupa unjuk kemampuan personel, kecanggihan persenjataan dan kemampuan untuk membangun rasa saling menghormati dan rasa persaudaraan. Kemampuan tersebut diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional baik politik, ekonomi, integritas nasional, atau kedaulatan negara.  

Salah satu elemen kekuatan nasional adalah kualitas diplomasi seperti yang dijelaskan Morgenthau. Diplomasi sangat krusial meskipun unsur ini sangat tidak stabil. Diplomasi bisa dikatakan adalah otak dari kekuatan nasional, sedangkan semangat nasional adalah jiwanya.

Kualitas diplomasi dari setiap negara yang terlibat dalam hubungan internasional sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Diplomasi tidak dapat berdiri sendiri karena dalam diplomasi terdapat gabungan strategi militer dan tentu saja upaya sipil melalui cara-cara diplomatik. Sedangkan Clausewitz menggambarkan diplomasi sebagai hubungan antara sarana, cara, dan tujuan.

Dia menyebutnya sebagai ”trinitas paradoks” yang terdiri atas pemerintah, militer, dan masyarakat. Pemerintah merepresentasikan bentuk tanggung jawab untuk menentukan tujuan politik dan muara dari konflik. Militer bertanggung jawab untuk mengembangkan strategi (cara) dan masyarakat yang diwakili oleh parlemen mewakili kehendak dan sumber daya (sarana).

Dalam konteks polemik hukuman mati bagi dua terpidana Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, setiap elemen dari trinitas paradoks yang mewakili kepentingan nasional Indonesia maupun Australia telah memainkan perannya masingmasing.

Pemerintah Australia telah melakukan lobi diplomatik agar Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan Indonesia bersedia memberikan pengampunan. Penolakan yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap lobi pemerintahan Tony Abbott disampaikan dengan terang benderang; ”Kita ini menjaga hubungan baik dengan negara mana pun, ingin bersahabat dengan negara mana pun, tapi kedaulatan hukum tetap kedaulatan hukum. Kedaulatan politik tetap kedaulatan politik.”

Tindakan Pemerintah Indonesia memindahkan duo Bali Nine ke Nusakambangan ditanggapi dengan sangat reaktif oleh Abbott yang mengaku muak dengan rencana eksekusi mati dua warga negara Australia tersebut. Di kalangan masyarakat sendiri pro dan kontra terhadap rencana pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana duo Bali Nine merambah ke berbagai media sosial, baik di Indonesia maupun di Australia.

Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia mendukung eksekusi mati tetap dilaksanakan, terlebih lagi setelah masyarakat Indonesia merasa direndahkan oleh pernyataan Abbott yang mengaitkan bantuan kemanusiaan dengan ”pemaksaan” pembatalan hukuman mati bagi warga negaranya.

Solidaritas masyarakat Indonesia begitu menggelora dengan melakukan gerakan ”koin untuk Abbott”, sebagai ganti dana bantuan kemanusiaan untuk korban Tsunami Aceh.

Lantas di manakah peran militer dalam menyikapi rencana pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana? Bagi TNI sendiri keikutsertaan mengawal pemindahan Chan dan Myuran ke Nusakambangan merupakan bentuk ketegasan TNI dalam mendukung politik negara.

Menurut Ian Storey, setidaknya ada lima dimensi diplomasi pertahanan, salah satu dari dimensi tersebut adalah pertukaran dan penempatan atase pertahanan sebagai penyambung lidah kebijakan pertahanan negara. Atase pertahanan sesungguhnya merupakan intelijen terbuka yang mendapat izin dari pemerintah negara akreditasi.

Atase pertahanan berhak dan legal mengumpulkan berbagai informasi intelijen, situasi politik, dan isu-isu keamanan di negara tempat mereka ditugaskan, tanpa takut dicurigai dan dituduh melakukan kegiatan mata-mata.

Peran mengumpulkan informasi politik di negara para atase pertahanan ditugaskan ini dapat dimaksimalkan TNI untuk mendukung kebijakan politik luar negeri Indonesia. Seperti saat ini, kengototan dan kepanikan Abbott serta Bishop dengan menggunakan berbagai cara diplomasi ditengarai sesungguhnya memiliki agenda politik lain di dalam negaranya sendiri.

Paniknya Abbott bukanlah bentuk kepanikan masyarakat Australia terhadap hukuman mati yang akan dijalani Chan dan Myuran. Nuansa kepanikan dan situasi politik menjelang digelarnya pemilu di Australia pada 2016 merupakan informasi berharga bagi atase pertahanan yang dapat menjadi senjata Presiden Jokowi untuk menekan balik Abbott.

Pernyataan Abbott tentang bantuan kemanusiaan untuk Tsunami Aceh menuai kecaman keras dari berbagai kalangan di Australia. Musuh-musuh politik Abbott memanfaatkan blunder politik Abbott dan berusaha menjatuhkan jabatan perdana menteri yang saat ini dipegang Abbott.

Momentum emas bagi lawan-lawan politik ini membuat Abbott ketar-ketir karena popularitasnya menurun drastis dan pada pemilu mendatang Abbott khawatir akan kehilangan posisinya. Di satu sisi, situasi politik yang berubah dengan cepat ini mendorong Abbott dan Bishop berusaha keras melakukan lobi kepada pemerintahan Indonesia agar duo Bali Nine dapat terbebas dari hukuman mati.

Saat ini pemerintahan Abbott sedang berkejaran dengan waktu kampanye dan pemilu yang semakin mendekat. Keberhasilan mereka membebaskan Chan dan Myuran atau setidaknya dapat menunda pelaksanaan hukuman mati sampai selesainya pemilu di Australia akan mengembalikan popularitas Abbott dan dapat menjadi roket pendorong popularitasnya untuk mempertahankan kursi perdana menteri.

Di sisi lain, penolakan Presiden Jokowi terhadap permintaan Abbott dan kabinetnya tampaknya merupakan blessing in disguise bagi Presiden Jokowi. Secara tidak sengaja, ketidakpastian pelaksanaan eksekusi terhadap duo Bali Nine membuat Abbott blingsatan dan Presiden Jokowi memegang kartu truf dalam melakukan komunikasi diplomatik dengan PM Abbott.  

Peran Atase Pertahanan Indonesia dalam diplomasi pertahanan ibarat dua sisi uang koin yang saling menunjang. Analisis tentang situasi politik dalam negeri Australia ini menjadi informasi politik yang dapat menjadi faktor kunci Pemerintah Indonesia dalam hubungan bilateral dengan Australia maupun dengan negara lain tempat atase pertahanan ditugaskan.

Pemerintahan Presiden Jokowi dapat menerapkan kebijakan yang cocok untuk keunggulan diplomasi Indonesia. Presiden Jokowi mengantongi kelemahan Abbott yang saat ini terdesak dengan agenda politiknya dan opini publik Australia yang mulai meninggalkannya.

Sesungguhnyalah, informasi yang diperoleh dan menjadi produk intelijen hasil analisis atase pertahanan merupakan sebaris kalimat krusial dalam menentukan kebijakan Pemerintah Indonesia. Kebijakan politik yang dapat menentukan arah perkembangan ekonomi, efektivitas diplomasi, dan terutama kedaulatan negara.

Diplomasi pertahanan melalui praktik intelijen terbuka menjadi penting karena analisis yang dihasilkan merupakan koleksi informasi yang melingkupi politik, ekonomi, pertahanan, dan kondisi sosial budaya negara akreditasi tempat atase pertahanan ditugaskan. Diplomasi pertahanan merupakan jembatan bagi komunikasi dua pihak angkatan bersenjata dan sarana diplomasi berbagai isu pertahanan.

Diplomasi pertahanan dapat mempererat kerja sama antarangkatan bersenjata dan meningkatkan rasa saling percaya antarnegara yang akan mencegah konflik-konflik baru di kawasan. Diplomasi pertahanan dapat juga menjadi senjata diplomatik efektif bagi kebijakan politik negara.

 Menjadi tepat kiranya bahwa politik militer (khususnya TNI) merupakan politik negara, yang dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar