Pemilih Jokowi yang Mulai Kecewa
Mochnurh Asim
; Peneliti
Pusat Penelitian Politik LIPI
|
KORAN
SINDO, 08 April 2015
Jokowi memang layak disebut tokoh fenomenal sebelum dan setelah
Pemilihan Presiden 2014. Mantan Wali Kota Solo itu kariernya melejit.
Sebelum menang sebagai presiden, ia terlebih dahulu menjadi
pemenang Pemilihan Gubernur DKI-Jakarta berpasangan dengan Ahok. Berbekal
popularitas saat memimpin Solo dan DKI, Jokowi ”naik kelas,” menjadi calon
presiden yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Harapan publik sebelum pilpres begitu besar terhadap sosok Jokowi untuk
memimpin Indonesia.
Salam dua jari sebagai ikon para pendukung Jokowi terus berkibar
didunia maya dan dalam setiap perhelatan akbar kampanye yang mereka lakukan.
Para pendukung Jokowi dengan suka rela membentuk ”organisasi” relawan untuk
mendukung sang calon Presiden. Para relawan tumbuh seiring cita-cita dan
harapannya masing-masing.
Harapan mereka begitu besar bahkan sangat muluk bahwa sosok
Jokowi akan dapat mengatasi pelbagai persoalan yang sedang dihadapi
Indonesia. Setelah Jokowi-JK resmi dilantik menjadi presiden, sorot mata
rakyat dengan berjuta perasaan dan harapan terpahat saat mereka turut
mengiringi sang Presiden dengan kereta kuda hingga pintu Istana.
Sejumlah media nasional dan internasional juga mengungkapkan hal
yang sama. Majalah Time membuat cover khusus dengan judul A New Hope (Harapan Baru). Media-media
di Tanah Air pun memuat headline yang hampir mirip, harapan baru kepemimpinan
Jokowi di panggung politik nasional. Itulah politik.
Politik sebagai seni memoles citra dan elektabilitas. Dalam
politik akan selalu muncul fenomena silih berganti ”pemimpin yang disanjung
dan pemimpin yang junjung”. Tapi, jangan lupa, sejarah politik juga
memperlihatkan banyak pemimpin yang disanjung dan dijunjung, berubah dengan
cara yang sebaliknya.
Mereka yang Mulai Kecewa
Hasil survei Indo Barometer terbaru yang dirilis 5 April
menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi
rendah. Hanya sekitar 57,5% masyarakat puas terhadap kinerja Presiden Jokowi.
Survei ini dapat dimaknai sebagai peringatan dini (early warning) bagi pemerintahan Jokowi sebab pemerintahan baru
berjalan enam bulan.
Ketidakpuasan para pendukung Jokowi dan sebagian rakyat lainnya
dimulai dari sejumlah kebijakan Presiden yang kontroversial. Respons publik
tidak terlalu bergairah saat Presiden mengumumkan susunan Kabinet Kerja.
Nuansa politik balas budi masih terasa begitu kental ketimbang kabinet kerja
dan profesional yang dijanjikan.
Drama politik Teuku Umar yang begitu kental, begitu telanjang di
mata publik seluruh Indonesia. Reaksi publik yang ”diam” satu bulan setelah
Presiden Jokowi-JK dilantik dengan menaikkan sekaligus mencabut subsidi
premium telah membuat rakyat kecil ”terdiam.” Turun-naik harga BBM telah
membuat perasaan dan hati rakyat terkoyak.
Memang benar, inflasi turun bahkan mendekati nol koma sekian
persen, tetapi rakyat kecil tidak mengerti logika ekonomi, yang mereka
rasakan ialah apa-apa naik dan harga tidak menentu. Semua jenis subsidi
dikurangi dan bahkan dihilangkan. Saat publik sedang depresi seperti itu,
riuh rendah politik kembali terjadi.
Presiden Jokowi membuat sejumlah kebijakan politik yang kurang
tepat. Gagasan penentuan pejabat publik dengan melibatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK saat menetapkan menteri-menteri justru
tidak berlaku saat pengangkatan calon jaksa agung dan terakhir yang membuat
gempar adalah kasus calon Kapolri Budi Gunawan.
Kasus tersebut telah ”meluas,” bahkan melebar menjadi senjata
untuk melemahkan KPK. Kisruh antara KPK dan Polri bagaimanapun bukan
kesalahan Budi Gunawan, tetapi bermula dari posisi dan sikap Presiden. Sikap
Presiden yang tidak tegas, abu-abu, dan cenderung safety player, tampak pada kasus-kasus politik dan kekuasaan yang
bertalian dengan garis politik Teuku Umar dan garis politik partai pendukungnya.
Ikon bahwa Jokowi adalah sosok yang tegas, cepat, kerja dan
kerja, mulai berbalik dengan sendirinya. Perjalanan waktu dalam berkuasa akan
menentukan sejauh mana Presiden dapat lepas dari bayang-bayang politik
Megawati. Ungkapan ”petugas partai” yang waktu awal-awal pencalon Presiden
tidak memiliki konotasi negatif, kembali menusuk perasaan.
Istilah itu disematkan pada sejumlah langkah kebijakan Presiden
yang dianggap tidak mencerminkan garis politiknya, Nawacita atau sembilan
cita-cita. Komentar keras Rizal Ramli di sejumlah media massa bahwa
pemerintahan Jokowi menyengsarakan rakyat hanyalah satu contoh kecil. Rizal
Ramli— yang belakangan diangkat menjadi komisaris utama BNI— menyebut bahwa menurunkan
kepercayaan publik disebabkan kinerja menteri ekonomi yang tidak maksimal.
Menteri ekonomi di kabinet Jokowi-JK hanya menaikkan harga untuk
menyelesaikan masalah, bukan mencari jalan keluar lain yang lebih berpihak
terhadap rakyat. Reproduksi Nawacita sebagai sebuah visi atau misi sudah
dilakukan. Masalahnya, rakyat menanti kebijakan Presiden yang sesuai dengan
Nawacita itu. Itulah yang sedang diuji oleh rakyat Indonesia, apakah langkah
dan kebijakan Presiden sesuai atau bertentangan dengan Nawacita.
Sebagai ilustrasi, tak satu pun kata keluar dari Presiden
mengenai begal yang sedang marak terjadi. Padahal pada Nawacita 1 menyebutkan
”Kami akan menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan
rasa aman pada seluruh warga negara.”
Jangan Ada Dusta
Meredupnya kepercayaan dan harapan kepada pemerintahan Jokowi
jangan dianggap remeh. Logika pemerintah yang menganggap bahwa dukungan
rakyat tidak penting justru akan menimbulkan prahara politik yang lain.
Argumen aji mumpung sebagai ”penguasa” lalu melakukan laku-laku
politik despotik justru akan melahirkan beragam kekecewaan politik lainnya.
Sama halnya dengan itu, laku dan tindakan politik pemerintahan Jokowi yang
mulai meninggalkan rakyat sebagai basis pemilihnya melalui mahalnya
bahan-bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat justru bertentangan
dengan garis politiknya.
Banyaknya publik yang menyindir dengan ucapan, ”Untung saya
tidak memilih Jokowi,” merupakan variasi yang paling sering dikemukakan
rakyat sebagai ekspresi kekecewaan mereka. Salah satu langkah untuk
memulihkan tingkat kepercayaan publik pada pemerintahan Jokowi ialah dengan
mendengar suara rakyat.
Suara rakyat sering disebut sebagai suara Tuhan, vox populi-vox dei, bukan hanya saat
mereka dibutuhkan untuk memberikan dukungan politik elektoral. Dalam
memerintah dan membuat kebijakan pun mereka wajib didengar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar