Menangani ISIS dengan Humanis
Abdul Mu’ti ; Sekretaris PP Muhammadiyah;
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 07 April 2015
Bagaimana negara mengatasi eksistensi dan penyebaran ideologi
dan gerakan Islamic State of Iraq and
Syria (ISIS)–selanjutnya disebut Islamic State (IS)–masih kontroversial.
Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan dua langkah kontroversial.
Pertama, memblokir website yang diduga terindikasi terkait dengan kegiatan
terorisme. Kedua, merevisi beberapa undang-undang antara lain UU No 15/2003
tentang Terorisme dan UU No 17/ 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Alih-alih mendapatkan acungan jempol dan dukungan, berbagai
pihak justru menilai langkah yang dilakukan BNPT kontraproduktif,
inkonstitusional, dan terindikasi melanggar hak asasi manusia. BNPT terkesan
gugup dan gagap menangani masalah ISIS.
State of Mind
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Jakarta beberapa
waktu lalu, Wakil Presiden Jusuf kalla menegaskan tiga hal penting terkait
IS. Pertama, masalah IS sejatinya merupakan persoalan pemikiran atau state of mind karena diperlukan
pemahaman terhadap isi dari pemikiran tersebut.
Kedua , ibarat virus, IS dapat masuk ke alam pikiran masyarakat
bila negara lemah. Ibarat tubuh, negara yang lemah akan mudah terserang
penyakit yang disebabkan oleh virus. Ketiga, karena merupakan pemikiran,
jalan keluar dalam mengatasi masalah IS haruslah dengan pemikiran pula.
Mengapa paham IS mudah masuk dan berkembang di Indonesia? Ada
lima faktor yang saling terkait antara satu dan lainnya. Pertama, faktor
politik. Sistem negara Pancasila yang belum mampu membawa bangsa Indonesia
kepada kesejahteraan, keamanan, dan keadilan menimbulkan kekecewaan politik
dan keraguan terhadap sistem politik dan hukum nasional.
Kedua, faktor teologis, kekecewaan dan keraguan tersebut
mendorong sebagian masyarakat mencari model ideal sistem politik dan
ketatanegaraan. Mereka yang terbuai romantisme sejarah berusaha
memproklamirkan sistem khilafah dan mendirikan negara Islam.
Ketiga, faktor ekonomi. Kesulitan hidup yang membelit akan
mendorong seseorang mencari jalan keluar pragmatis demi memperbaiki harkat
hidup. Keempat, faktor globalisasi informasi di mana seseorang dapat
mengakses informasi dari berbagai sumber yang tanpa sensor dan tanpa batas.
Kelima, faktor solidaritas. Penindasan yang dialami oleh umat
Islam di berbagai belahan dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah,
membangkitkan semangat jihad untuk menolong sesama. Dalam beberapa hal cara-cara
kekerasan dalam penindakan para ”teroris” yang terpublikasi luas dapat
menimbulkan simpati dan dendam kepada aparatur keamanan.
Pendekatan Humanis
Karena akar persoalannya terletak pada state of mind, solusi yang paling mungkin adalah dengan pendekatan
soft power. Pendekatan softpower perlu diutamakan melalui
beberapa langkah. Pertama, konteropini melalui media massa dan publikasi yang
masif. Pemerintah memiliki sumber daya dan sumber daya yang kuat membuat
website dan buku-buku populer.
Selain elegan, cara demikian juga dapat mendorong dan
menumbuhkan kreativitas yang sehat dan budaya yang produktif. Kedua, bekerja
sama dengan ormas Islam mainstream yang moderat sebagai vocal point. Ormas Islam ini juga dapat berperan sebagai religious broker yang menjadi agen
dialog dengan kelompok radikal.
Ketiga, membentuk peer
group dengan memberdayakan generasi muda untuk terlibat dalam
penanggulangan terorisme. Pelajar, mahasiswa, dan ibu rumah tangga adalah
kelompok strategis yang dapat menjadi pionir dalam membangun tata kehidupan
yang santun dan anti kekerasan. BNPT dan pemerintah perlu banyak mendengar
suara-suara tulus para pemimpin agama.
Tidak ada salahnya mengevaluasi pendekatan hard-power yang mengedepankan keperkasaan serdadu dan kecanggihan
senjata. Sepertinya masyarakat tidak bertambah tenang dengan berbagai aksi
penyerbuan yang terkesan over-acting.
Cara-cara demonstratif yang militeristik seperti yang dilakukan selama ini
justru membuat masyarakat tegang.
Revisi undang-undang untuk menghabisi IS secara konstitusional
nampaknya hanya akan menghabiskan waktu. Cara-cara pre-emptive dengan melarang IS juga potensial memecah belah umat
dan mengadu domba masyarakat. Larangan tidak akan membunuh pemikiran, tetapi
justru memperteguh akar dan menumbuhkan suburkan generasi baru yang lebih
radikal.
Pendekatan soft-power
lainnya adalah meningkatkan kesejahteraan yang semakin merata, keadilan untuk
semua, dan rasa aman bagi semua. Pendekatan hard-power memang sudah waktunya diminimalkan, bahkan -jika
memungkinkan dihentikan.
Sebagaimana dikatakan Fuller (2010) dalam A World Without Islam : ”Zero tolerance for terrorism” is another
slogan that needs to disappear. It is an empty phrase, demagogic and utopian
in character, just as ”Zero tolerance for terrorism” is another slogan that
needs to disappear. It is an empty phrase, demagogic and utopian in
character, just as zero tolerance for crime zero tolerance for crime has no functional
meaning in contemporary society.”
Mereka yang mencintai Indonesia tidak ada yang mendukung
terorisme. Mereka yang peduli pada perdamaian akan mengedepankan cara-cara
yang damai dan manusiawi dalam menyelesaikan masalah antar sesama manusia.
Pendekatan humanis sepertinya lebih taktis untuk menangani ISIS. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar