Kamis, 09 April 2015

Menangani ISIS dengan Humanis

Menangani ISIS dengan Humanis

Abdul Mu’ti  ;  Sekretaris PP Muhammadiyah;
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
KORAN SINDO, 07 April 2015

                                                                                                                                                            
                                                                                                                                                           

Bagaimana negara mengatasi eksistensi dan penyebaran ideologi dan gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS)–selanjutnya disebut Islamic State (IS)–masih kontroversial.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan dua langkah kontroversial. Pertama, memblokir website yang diduga terindikasi terkait dengan kegiatan terorisme. Kedua, merevisi beberapa undang-undang antara lain UU No 15/2003 tentang Terorisme dan UU No 17/ 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Alih-alih mendapatkan acungan jempol dan dukungan, berbagai pihak justru menilai langkah yang dilakukan BNPT kontraproduktif, inkonstitusional, dan terindikasi melanggar hak asasi manusia. BNPT terkesan gugup dan gagap menangani masalah ISIS.

State of Mind

Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Jakarta beberapa waktu lalu, Wakil Presiden Jusuf kalla menegaskan tiga hal penting terkait IS. Pertama, masalah IS sejatinya merupakan persoalan pemikiran atau state of mind karena diperlukan pemahaman terhadap isi dari pemikiran tersebut.

Kedua , ibarat virus, IS dapat masuk ke alam pikiran masyarakat bila negara lemah. Ibarat tubuh, negara yang lemah akan mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh virus. Ketiga, karena merupakan pemikiran, jalan keluar dalam mengatasi masalah IS haruslah dengan pemikiran pula.

Mengapa paham IS mudah masuk dan berkembang di Indonesia? Ada lima faktor yang saling terkait antara satu dan lainnya. Pertama, faktor politik. Sistem negara Pancasila yang belum mampu membawa bangsa Indonesia kepada kesejahteraan, keamanan, dan keadilan menimbulkan kekecewaan politik dan keraguan terhadap sistem politik dan hukum nasional.

Kedua, faktor teologis, kekecewaan dan keraguan tersebut mendorong sebagian masyarakat mencari model ideal sistem politik dan ketatanegaraan. Mereka yang terbuai romantisme sejarah berusaha memproklamirkan sistem khilafah dan mendirikan negara Islam.

Ketiga, faktor ekonomi. Kesulitan hidup yang membelit akan mendorong seseorang mencari jalan keluar pragmatis demi memperbaiki harkat hidup. Keempat, faktor globalisasi informasi di mana seseorang dapat mengakses informasi dari berbagai sumber yang tanpa sensor dan tanpa batas.

Kelima, faktor solidaritas. Penindasan yang dialami oleh umat Islam di berbagai belahan dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah, membangkitkan semangat jihad untuk menolong sesama. Dalam beberapa hal cara-cara kekerasan dalam penindakan para ”teroris” yang terpublikasi luas dapat menimbulkan simpati dan dendam kepada aparatur keamanan.

Pendekatan Humanis

Karena akar persoalannya terletak pada state of mind, solusi yang paling mungkin adalah dengan pendekatan soft power. Pendekatan softpower perlu diutamakan melalui beberapa langkah. Pertama, konteropini melalui media massa dan publikasi yang masif. Pemerintah memiliki sumber daya dan sumber daya yang kuat membuat website dan buku-buku populer.

Selain elegan, cara demikian juga dapat mendorong dan menumbuhkan kreativitas yang sehat dan budaya yang produktif. Kedua, bekerja sama dengan ormas Islam mainstream yang moderat sebagai vocal point. Ormas Islam ini juga dapat berperan sebagai religious broker yang menjadi agen dialog dengan kelompok radikal.

Ketiga, membentuk peer group dengan memberdayakan generasi muda untuk terlibat dalam penanggulangan terorisme. Pelajar, mahasiswa, dan ibu rumah tangga adalah kelompok strategis yang dapat menjadi pionir dalam membangun tata kehidupan yang santun dan anti kekerasan. BNPT dan pemerintah perlu banyak mendengar suara-suara tulus para pemimpin agama.

Tidak ada salahnya mengevaluasi pendekatan hard-power yang mengedepankan keperkasaan serdadu dan kecanggihan senjata. Sepertinya masyarakat tidak bertambah tenang dengan berbagai aksi penyerbuan yang terkesan over-acting. Cara-cara demonstratif yang militeristik seperti yang dilakukan selama ini justru membuat masyarakat tegang.

Revisi undang-undang untuk menghabisi IS secara konstitusional nampaknya hanya akan menghabiskan waktu. Cara-cara pre-emptive dengan melarang IS juga potensial memecah belah umat dan mengadu domba masyarakat. Larangan tidak akan membunuh pemikiran, tetapi justru memperteguh akar dan menumbuhkan suburkan generasi baru yang lebih radikal.

Pendekatan soft-power lainnya adalah meningkatkan kesejahteraan yang semakin merata, keadilan untuk semua, dan rasa aman bagi semua. Pendekatan hard-power memang sudah waktunya diminimalkan, bahkan -jika memungkinkan dihentikan.

Sebagaimana dikatakan Fuller (2010) dalam A World Without Islam : ”Zero tolerance for terrorism” is another slogan that needs to disappear. It is an empty phrase, demagogic and utopian in character, just as ”Zero tolerance for terrorism” is another slogan that needs to disappear. It is an empty phrase, demagogic and utopian in character, just as zero tolerance for crime zero tolerance for crime has no functional meaning in contemporary society.”

Mereka yang mencintai Indonesia tidak ada yang mendukung terorisme. Mereka yang peduli pada perdamaian akan mengedepankan cara-cara yang damai dan manusiawi dalam menyelesaikan masalah antar sesama manusia. Pendekatan humanis sepertinya lebih taktis untuk menangani ISIS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar