Ancaman Ekstremisme di Institusi Pendidikan
Fajar Riza Ul Haq ;
Direktur
Eksekutif MAARIF Institute
|
KORAN
SINDO, 01 April 2015
Radikalisme-ekstremisme
harus serius kita antisipasi, kerjakan dengan langkah yang konkret sebelum
jadi ancaman besar bagi negara. Pernyataan Presiden Jokowi ini
dilatarbelakangi salah satunya oleh agresivitas Negara Islam Irak dan Suriah
(NIIS) meluaskan pengaruhnya di Asia Tenggara, utamanya Indonesia.
Pada saat
bersamaan, kabar mengejutkan datang dari Jombang, Jawa Timur. Pemicunya
adalah Buku Lembar Kerja Siswa SMA Kelas XI untuk mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam memuat beberapa materi kontroversial. Salah satu poinnya adalah
kebolehan membunuh orang lain yang menyembah Tuhan yang berbeda dari
keyakinannya; ”Yang boleh dan harus
disembah hanyalah Allah SWT dan orang yang menyembah selain Allah SWT telah
menjadi musyrik dan boleh dibunuh”.
Hukum ini
berlaku bagi orang Islam sendiri yang meminta pertolongan kepada selain
Allah. Pada bagian lain disebutkan adalah sebuah kekufuran (mengingkari
Islam) bila seorang muslim memperoleh pengetahuan selain dari sumber kitab
suci (Alquran dan Hadist) dan qiyas (analogi terhadap teks kitab suci).
Dewan
Pendidikan Kabupaten Jombang telah memastikan buku lembar kerja itu disusun
oleh tim penulis dari Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam
di Jombang. Namun, ternyata mereka mengacu pada Buku Teks Pendidikan Agama
Islam dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK/MA Kelas XIyang diterbitkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (2014) berdasarkan Kurikulum 2013.
Lolosnya
muatan ajaran yang menyosialisasikan intoleransi dan ekstremisme dalam buku
teks tersebut harus menjadi bahan evaluasi, bahkan koreksi pihak Kementerian
Pendidikan. Kondisinya, penyusunan buku di bawah tanggung jawab dan
koordinasi kementerian dengan melibatkan pelbagai pihak. Menteri Pendidikan
Anies Baswedan sudah memerintahkan agar buku ditarik dari peredaran.
Sedangkan
Dinas Pendidikan Jombang keberatan karena menganggap apa yang disampaikan
sudah sesuai sejarah dan pemikiran tokoh Islam Muhammad Bin Abdul Wahab.
Letak masalahnya pada pendekatan penulisan buku-buku teks keagamaan. Tidak ada
kesadaran kritik sejarah dalam proses penulisan buku-buku teks pendidikan
agama sangat rentan mengundang kesalahpahaman karena bias sejarah, bahkan
keterputusan konteks.
Ini yang
diingatkan Foucalt, pengetahuan adalah produk relasi kuasa pada zamannya.
Keberadaan buku pelajaran yang menyebarkan paham kebencian, kekerasan, dan
antipengetahuan merupakan bentuk teror yang sistemik terhadap akal sehat dan
eksistensi rumah bersama Indonesia atas dasar prinsip kekitaan. Penetrasi
ancamannya akan lebih mengerikan dari teror bom buku yang mencuat pada 2011.
Salah satu
temuan penelitian MAARIF Institute pada 2011 mengenai pemetaan gejala
radikalisme di 50 SMAN di beberapa kota memperlihatkan guru pengampu
Pendidikan Agama Islam berkontribusi terhadap tumbuhnya eksklusifisme
orientasi keberagamaan para siswa. Adapun penelitian Balitkom PGI di
lingkungan sekolah-sekolah Kristen mengungkap peran keluarga sebagai faktor
utama yang memengaruhi pola pikir anak.
Infiltrasi
paham ekstrem juga datang dari aktor-aktor eksternal sekolah melalui
aktivitas ekstrakurikuler seperti dikonfirmasi Ketua PGRI Sulistyo (Kompas
.com, 19/3). Yang mencengangkan, segregasi sosial atas dasar agama dan
pandangan keagamaan telah membelah pola interaksi siswa di sekolah-sekolah
negeri favorit di beberapa kota besar.
Potret buram
ini berkorelasi dengan tidak ada kebijakan sekolah yang mengarah pada
pelembagaan nilai-nilai kewargaan dalam budaya sekolah. Faktanya, muatan
Pendidikan Kewarganegaraan lebih menekankan aspek kognitif ketimbang psikomotorik
dan afektif. Dalam perspektif Bloom, siswa tidak punya cukup ruang untuk
melatih kecakapan sosial dan empatinya.
Pembinaan Guru
Lolosnya
muatan yang mempromosikan pandangan kekerasan dalam buku ajar tidak bisa
dilihat sebagai bukti sudah merasuknya pengaruh NIIS ke dalam institusi
pendidikan kita. Namun, kasus ini seharusnya menyadarkan para pemangku
kebijakan pendidikan. Peran pencerahan yang melekat pada institusi pendidikan
telah redup.
Ketika
lembaga sekolah berubah menjadi agen antipengetahuan dan melegalkan perilaku
barbarik, akan selalu mudah bersenyawa dengan ideologi-ideologi teror seperti
yang dianut NIIS, Boko Haram, dan Talibanisme. Persenyawaan ideologis inilah
yang mempercepat mutasi dan reproduksi ideologi garis keras, terlebih
menunggangi revolusi teknologi informasi.
Komitmen
Presiden Jokowi untuk menghalau ekstremisme menuntut langkah-langkah
strategis, kerja-kerja sinergis lintas institusi, dan partisipasi masyarakat.
Dalam diskusi Kelompok Kerja Nasional Revolusi Mental yang diprakarsai
Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dipaparkan tiga
masalah pokok yang menghantui bangsa yaitu merosotnya wibawa negara, lemahnya
sendi perekonomian bangsa, serta intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.
Kepergian
ratusan warga negara Indonesia untuk bergabung dengan NIIS karena motif
ekonomi dan berjihad merupakan empedu dari akumulasi tiga persoalan di atas.
Tren kekerasan dan bom bunuh diri di tingkat global yang dipicu ekspansi
pengaruh NIIS serta menguatnya kesadaran masyarakat Indonesia mendefinisikan
NIIS sebagaimusuhbersama merupakan momentum pemerintah memulai revolusi
mental pada wilayah pengembangan sumber daya manusia, khususnya sektor
pendidikan.
Hal mendesak
yang perlu dilakukan adalah menjalankan reformasi birokrasi secara serius,
perubahan mentalitas aparatur negara ke arah lebih terbuka, dan pengutamaan
nilai-nilai kewargaan di lingkunganpemangkukebijakan di tingkat pusat dan
daerah sehinggaterbangunkesamaanperspektif dalam persoalan kebangsaan yang
mendasar.
Salah satu
tantangan lembaga penulis dalam memfasilitasi program pendidikan kewargaan
dan kebinekaan di institusi pendidikan negeri dan swasta sejak 2007 adalah
ada perbedaan perspektif dan kesenjangan pemahaman antara pemangku kebijakan
di pusat dan aktor-aktor di tingkat daerah. Pada beberapa kasus, pemangku
kebijakan di level sekolah kalah pengaruh oleh eksistensi guru senior yang
seringkali berpola pikir eksklusif.
Banyak guru
berkiblat pada fatwa lembaga keagamaan meski isunya di ranah kewarganegaraan.
Paling tidak, Kementerian Pendidikan harus memberikan perhatian besar
sekaligus melakukan pengawasan pada tiga hal. Pertama, menginternalisasikan
perspektif kewargaan di kalangan guru terutama yang terlibat dalam penyusunan
instrumen pembelajaran.
Penting ada
perubahan paradigma dalam menulis buku teks. Pendekatan kritik sejarah
menjadi amat penting. Kedua, mengawasi kebijakan-kebijakan sekolah agar lebih
berorientasi pada pelembagaan budaya kewargaan. Minimnya pengawasan sekolah
terhadap kegiatan ekstrakulikuler seperti Rohis menjadi pintu masuk
infiltrasi ideologi yang tidak sejalan dengan Pancasila.
Ketiga,
meningkatkan pembinaan kesiswaan yang bersifat lintas kelompok dan golongan
dengan menggandeng pelbagai komunitas masyarakat berpaham kebangsaan. Dengan
langkah strategis ini, Kementerian Pendidikan akan meminimalisasi celah bagi
masuknya ideologi ekstrem ke lingkungan sekolah.
Kebijakan ini
juga akan memperkuat daya tahan sekolah menghadapi penyusupan dan mutasi
ideologi garis keras. Sekolah adalah habitus pencerahan generasi muda agar
berwatak welas asih. Bagaimanapun, wajah sekolah kita hari ini akan
menentukan wajah Indonesia esok. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar