Ironi Perdamaian Timur Tengah
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Program
Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 01 April 2015
Yaman dikenal
sebagai salah satu pusat kebudayaan di dunia Arab yang di masa kuno dulu
dikenal dengan sebutan Arabia Felix yang berarti “bahagia” atau “beruntung”
karena ia berada di semenanjung Arab yang relatif lebih subur dibandingkan
negara-negara tetangganya.
Sayangnya,
negeri yang berbatasan darat dengan Arab Saudi dan Oman itu kini dirundung
perang saudara. Sejumlah negara mulai menutup kantor-kantor perwakilan di Ibu
Kota Sanaa dan berupaya mengevakuasiwargamasing- masingkeluar dari Yaman,
termasuk Indonesia. Jika tingkat keseriusan perang ditentukan oleh lama
perang, besaran (magnitude) perang
terutama prospeknya untuk melibatkan negaranegara kawasan, dan jumlah korban,
maka serius tidaknya perang di Yaman ini setidaknya ditentukan dua faktor.
Pertama,
faktor kemampuan Yaman sebagai suatu negara untuk menyelesaikan problem
politik dan sosial ekonomi secara internal. Kedua, faktor persepsi
negara-negara lain terhadap problem di Yaman. Yaman dalam era modern termasuk
negara yang dianggap negara gagal. Indeks Negara Rentan 2014 yang dikeluarkan
oleh The Fund for Peace menempatkan
Yaman di posisi “high alert “
(waspada tinggi) yang masuk juga dalam kategori negara dengan tren pemburukan
kondisi politik tertinggi sepanjang 2009-2014.
Sebagai suatu
negara, Yaman memang terkenal rentan akan faksifaksi politik yang saling
berupaya menihilkan eksistensi faksi lain. Selain itu, pemerintahannya
terkenal otoriter dan represif. Kelompokkelompok yang berseberangan dengan
Pemerintah Yaman antara lain adalah kelompok militan yang terkait Al-Qaeda,
gerakan-gerakan separatis di bagian Selatan (termasuk Houthi yang kini
dianggap biang kerok penyebab intervensi militer di bawah komando Arab
Saudi), dan kelompok separatis di utara Zaydi Shia.
Masyarakat
awam terbilang tak berdaya karena politisi dikenal korup dan senjata beredar
bebas. Sebelum perang saudara kali ini Yaman sudah terjebak dalam ketegangan
politik internal. Misalnya selama 2011-2012 warga Yaman mendesak Presiden Ali
Abdullah Saleh untuk mundur setelah berkuasa lebih dari 20 tahun. Ketika
akhirnya Saleh mundur dan digantikan oleh Wakil Presiden Abd Rabbuh Mansur
Hadi, situasi sempat stabil sebelum akhirnya memburuk lagi pada 2014.
Memburuknya
situasi itu seiring dengan kudeta dan meluasnya gerakan Houthi yang
menaklukkan gedung-gedung pemerintahan, menguasai Ibu Kota Sanaa, dan
mendesak Hadi untuk mendirikan pemerintahan bersatu dengan faksi-faksi
politik yang lain, membubarkan parlemen, mendirikan pemerintahan interim di
bawah Mohammed Ali al-Houthi. Hadi melarikan diri ke Aden dan menyebut kota
itu sebagai ibu kota sementara.
Meskipun
Houthi disebut-sebut sebagai biang kerok masalah, ada sumber-sumber lain yang
menyebut bahwa mantan Presiden Saleh juga ikut “bermain” dengan menggandeng
kelompok Houthi demi menjatuhkan Hadi karena dia masih berharap anaknya,
Ahmed Ali Abdullah Saleh, bisa menjadi generasi politisi berikutnya di Yaman.
Itulah
sebabnya, meskipun pada awal 2014 Yaman dianggap membaik secara ekonomi dan
politik sejak dipimpin oleh pemerintahan transisi Presiden Hadi, kawasan Ibu
Kota Sanaa tetap panas akibat kelompok Houthi dan Sunni Salafi terus tegang.
Pengungsian terus terjadi dalam jumlah besar, terutama di bagian utara Yaman.
Kerentanan
ini diperumit dengan beroperasinya afiliasi Al-Qaeda di Yaman. Akibatnya, di
Indonesia pun Yaman dikenal perlu diwaspadai karena menjadi tempat
orang-orang belajar radikalisme dan paham agama yang menyimpang. Narasi di
atas menggambarkan alasan mengapa Yaman dianggap negara-negara lain tidak
mampu menyelesaikan problem internalnya secara independen.
Itu sebabnya
ketika Presiden Saleh enggan mundur dan justru melakukan pengejaran kejam
kepada warga negara yang dianggap anti terhadap pemerintahannya. Saat negara
sedang dalam kondisi genting, The Gulf
Cooperation Council turun tangan. GCC adalah persatuan politik ekonomi
antarpemerintahan negara-negara Teluk yang terdiri atas Arab Saudi, Bahrain,
Kuwait, Oman, Qatar dan Uni Emirat Arab.
Selain kerja
sama ekonomi seperti perdagangan dan pembentukan Dewan Moneter, negara-negara
GCC juga punya kesepakatan menyatukan pasukan untuk merespons kebutuhan
dukungan politik dari pemerintahan negara-negara anggotanya. Semua negara ini
adalah kerajaan dan karenanya kerap disindir sebagai gerakan mempertahankan
karakter otoriter dari negara-negara Timur Tengah.
Campur tangan
GCC ini berlanjut terus ketika Arab Saudi menganggap gerakan Houthi sebagai
bagian dari meluasnya pengaruh dan kekuasaan Shiah Iran di Teluk. Houthi,
yang terbukti terampil di bidang persenjataan dan taktis memberikan tekanan
pada pemerintahan Hadi, dianggap sebagai momok oleh negaranegara Teluk dan
yang negaranegara berpenduduk mayoritas Sunni.
Suasana ini
menggambarkan betapa konflik Yaman berpotensi berlarut-larut dan memakan
banyak korban. Keterlibatan GCC dan simpati yang dikirimkan oleh
negara-negara lain seperti Pakistan dan Turki bukan mustahil membuat suasana
kawasan menjadi semakin panas. Daniel Brumberg (2013) dari Georgetown
University mengatakan, kejadian di Yaman adalah bukti bahwa upaya menciptakan
“tatanan politik baru” di Timur Tengah sebagai sangat menyakitkan dan fatal
(secara politis maupun fisik).
Konsep
patronase (mahsubiyya) yang selama
ini dipakai oleh mantan Presiden Saleh telah menyuburkan rasa takut
antarkelompok bila patronnya tersingkir. Istilah Brumberg, politik di Yaman
bergantung pada metode autokrasi berbasis perlindungan-pemerasan (protection-racket autocracies). Kelompok
yang biasa dilindungi dibuat merasa takut, rentan karena tidak bisa
memenangkan pemilu,
sementara
kelompok yang berkuasa takut pada lawannya itu karena secara pengaruh
kelompok oposisi tersebut tetap signifikan dan karena itu mereka enggan berkonsesi
dengan mereka. Dengan imbuh senjata yang beredar bebas, sektarianisme,
ketidakpercayaan pada pemerintah, dan ketiadaan sistem penegakan hukum yang
adil, suasana yang hidup adalah kecurigaan dan upaya saling menihilkan.
Perang
saudara di Yaman tentu memberi dampak langsung atau tidak langsung terhadap
proses perdamaian di Timur Tengah. Kejadian politik di Yaman seakan
membenarkan kekhawatiran negaranegara Arab dan Israel bahwa kelompok-kelompok
politik yang berafiliasi kepada Iran tengah melakukan ekspansi dan terutama
akan medelegitimasi perundingan nuklir yang sedang dilakukan antara Iran dan
kelompok perundingan dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, Jerman,
dan China.
Kita juga
melihat situasi yang ironis di Timur Tengah, yaitu negara-negara Arab cepat
tanggap ketika kepentingan mereka terancam dan bukannya turun tangan
memberikan bantuan ekonomi yang diperlukan oleh Yaman untuk dapat keluar dari
lingkaran kemiskinan. Situasi tersebut tentu akan merugikan rakyat Yaman dan
negara-negara Timur Tengah yang penduduknya masih hidup di bawah garis
kemiskinan. Bila hal ini terus terjadi, niscaya perdamaian di Timur Tengah
impian belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar