Menguatkan Kembali Cita Kebangsaan
Anna Luthfie ;
Ketua
DPP Partai Perindo
|
KORAN
SINDO, 01 April 2015
Salah satu
kalimat yang seharusnya melekat dalam memori bangsa ini adalah tujuan untuk
apa bangsa dan negara ini berdiri.
Dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea terakhir disebutkan bahwa negara
dan bangsa ini, melalui pemerintahnya, memiliki tujuan untuk melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,
dan keadilan
sosial Untuk menuju dan merealisasikan tujuan tersebut, bangsa ini sudah
membekali dirinya dengan UUD 1945 yang terbentuk dalam susunan negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada
Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Di sinilah esensi demokrasi menemukan
perannya. Sila pertama Pancasila menjadi inspirasi bagi sila-sila yang lain.
Sementara aktivitas operasionalnya lebih dimainkan oleh sila keempat yang
berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi. Dalamilmupolitik, demokrasi dipahami
dalam dua aspek yaitu substansi dan prosedural.
Esensi
substantif demokrasi, meminjam apa yang dinyatakan oleh Presiden Amerika
Serikat Abraham Lincoln: ”government from
the people, by the people and for the people”. Demokrasi itu sejatinya
kegiatan pemerintahan yang dibangun dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Sayangnya, demokrasi tidak berhenti di dalam kerangka substansi.
Demokrasi harus dilihat juga dari sisi praktik di lapangan.
Di sinilah
peran demokrasi sebagai prosedural mendapatkan perhatian. Adalah Joseph
Schumpeter (1942) yang mencoba melengkapi pendekatan substansi tentang
demokrasi yang cenderung klasik. Shcumpeter menawarkan sebuah” teori lain mengenai
demokrasi” (metode demokrasi).
Demokrasi
dipahami sebagai sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai kekuasaan yang
diraih melalui kontestasi politik. Sementara Samuel Huntington mengemukakan
bahwa prosedur utama demokrasi adalah pemilihan para pemimpin secara
kompetitif oleh rakyat.
Dengan
mengikuti tradisi Shcumpeterian, Huntington mendefinisikan bahwa sistem
politik yang demokratis adalah sejauh mana para pembuat keputusan kolektif
yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui proses pemilihan umum yang
adil, jujur, dan berkala.
Semua calon
bebas bersaing untuk memperoleh dukungan suara pemilih. Dengan demikian,
esensi sistem politik demokrasi adalah terwujudnya kebebasan politik rakyat
dalam mengekspresikan preferensi dan hakhak politiknya serta ada rekrutmen
politik terbuka dan pemilihan umum yang langsung, bebas, dan adil.
Pertarungan Politik
Tidak jarang
kemudian yang terjadi dalam tataran praktik lapangan, demokrasi ibarat
sekadar pertarungan, panggung kontestasi elite. Konflik di sejumlah partai
politik terkait dualisme kepengurusan partai seperti yang dialami Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golongan Karya, polemik pemilihan
Kapolri, sampai pada tarik-menarik dukungan di legislatif seperti ketegangan
antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP) menjadi
suguhan politik dari elite kepada publik.
Namun, satu
yang terkesan hilang, yaitu partisipasi publik. Berpijak dari hal tersebut
menjadi maklum jika kemudian muncul kecenderungan sistem politik yang
memunculkan dua arus besar yaitu arus yang berorientasi pada kepentingan
masyarakat (populis), tapi juga ada kecenderungan munculnya arus yang
berorientasi pada kepentingan kelompok kekuasaan elite (elitis).
Di mata
sentimen publik selama ini arus kedua yang cenderung mendominasi panggung
politik di negeri ini. Arus populis dimaknai sebagai kekuatan dinamika publik
yang di dalamnya ada masyarakat sipil yang kuat untuk berpartisipasi aktif
dalam proses politik dan perubahan. Munculnya berbagai kekuatan civil society
dalam tataran masyarakat menjadi simbol arus ini meski akses terhadap
kekuasaan cenderung relatif tidak dekat.
Sementara
kecenderungan arus elite tentu lebih dikuasai oleh kaum elite. Mereka lebih
menonjolkan perilaku elite politik maupun birokrat yang berorientasi pada
kepentingan pribadi dan kelompok. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme
cenderung lahir atas kuatnya arus elite ini. Dalam pendekatan transisi
demokrasi seperti yang dialami Indonesia pascaruntuh rezim politik Orde Baru
Soeharto yang otoriter pada 1998, duaarustersebut bertarung dalam sebuah
kondisi liberalisasi politik.
Ini disebut
oleh ilmuwan politik O’Donnell dan Schmitter sebagai fase yang secara
teoritis sebagai ”fase transisi dari otoritarianisme entah menuju ke mana.”
Liberalisasi ini tidak lepas dari pemaknaan demokrasi sebagai hak dan
kebebasan yang ”sebebas-bebasnya” sehingga yang muncul kemudian bukanlah
perilaku yang memberikan kontribusi bagi upaya demokratisasi dan reformasi.
Perilaku
politik para elite yang kurang beretika, institusi legislatif, pers, dan
masyarakat sipil yang menjalankan demokrasi cenderung masih kurang menjunjung
tinggi nilai-nilai etika berdemokrasi akhirnya melahirkan perilaku dan
kondisi yang ”korup dan chaos”. Kondisi ini dikhawatirkan akan memunculkan
arus balik demokrasi menuju otoritarianisme baru.
Otoritarianisme
baru jangan sekadar dibayangkan kita kembali ke era Soeharto dengan munculnya
sosok dari generasi Soeharto atau sosok yang mendewakan kekuasaan Orde Baru.
Tidak sekadar itu. Otoritarianisme model baru juga berlaku ketika kondisi
politik cenderung lebih banyak dikuasai oleh arus politik yang lebih
mengutamakan kepentingan politiknya.
Arus politik
yang mengingkari janji-janji reformasi. Arus politik yang mengingkari
kepentingan rakyat. Untuk itu, penulis melihat arus ini memang tidak bisa
dihindari dan dicegah, namun bisa dilawan dengan membangun kembali kesadaran
bahwa bangsa ini masih memiliki nilai yang diperjuangkan, melebihi nafsu
politik berjangka pendek.
Politik
kebangsaan menjadi kebutuhan sekaligus kerinduan di tengah semakin jauhnya
harapan rakyat dengan elitenya, semakin berjaraknya kebutuhan rakyat dengan
pemenuhannya, semakin terkikisnya kesadaran berbangsa karena terkalahkan oleh
sentimen kelompok. Setiap energi bangsa harus membangun komitmen kebangsaan
dan menyadari bahwa era transisi demokrasi harus dapat memberikan iklim yang
kondusif bagi berlangsungnya konsolidasi demokrasi di semua aspek kehidupan
bangsa.
Konsolidasi demokrasi yang berjalan baik
akan memberikan jaminan bagi upaya pemantapan dan pengembangan sistem politik
demokratis sebagai landasan bagi berlangsungnya proses reformasi yang sudah
berlangsung hampir 17 tahun terakhir ini.
Pemerintahan Baik
Penulis
melihat salah satu upaya yang relatif efektif untuk menata kembali gerak arus
reformasi, agar tetap didominasi arus kekuatan publik sebagai pemilik saham
reformasi, bisa dimulai dari terbukanya partisipasi publik pada penataan dan
pengelolaan pemerintahan yang baik. Salah satu yang bisa dilakukan adalah
dengan keterlibatan publik pada upaya melahirkan pemimpin yang baik,
berkarakter, dan tentu saja bersih.
Selama ini
keterlibatan publik sekadar menjadi konsumen dari apa yang sudah disediakan
oleh partai politik. Pemilihan kepada daerah misalnya cenderung pada tahap
penjaringan calon didominasi oleh partai politik. Mestinya mulai dibuka ruang
agar publik turut berperan dalam calon-calon yang dilahirkan. Publik bisa
menilai apakah seseorang layak menjadi calon kepala daerah atau tidak.
Publik bisa
menjadikan rekam jejak kinerja sang calon sebagai ukuran. Seperti yang
digagas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam satu hasil risetnya
yang menyebut perlunya skor pro bono publik
sebagai syarat untuk menjadi anggota Dewan atau kepala pemerintahan. Wakil
rakyat harus mempunyai skor pro bono
publik agar nanti perihal substantif seperti akuntabilitas,
representabilitas, dan responsibilitas terwakili dalam diri orang yang
mewakili rakyat.
Skor pro bono publik ini dimaknai sebagai
syarat di mana calon wakil rakyat atau calon kepala daerah yang sudah
bekerjadulu untuk masyarakat, baru ikut kompetisi. Selama ini yang menjadi
calon wakil rakyat, mereka berkampanye dulu dengan janji-janji yang pada
akhirnya membuat publik seperti membeli kucing dalam karung. Kita tak tahu
siapa dan kualitasnya bagaimana.
Tentu ini
menjadi bagian dari agenda untuk memperbaiki agar proses politik tidak lagi
terdominasi oleh perilaku elite yang korup, konflik kepentingan partai,
sampai pada pertarungan politik yang tidak produktif. Upaya-upaya ini lebih
dimaksudkan untuk mengupayakan kembali agar bangsa ini menata lagi cita dan
kehendaknya ketika bangsa dan negara ini didirikan.
Seperti yang
diungkap oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis, yang mengatakan
nasionalisme sebagai ”le desire d’entre
ensemble” (kehendak untuk bersatu). Demokrasi yang kita bangun semestinya
mengembalikan sekaligus menguatkan kehendak kebangsaan tersebut yang menjadi
cita-cita besar bagi negeri ini. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar