Kuasa
DPR Tidak Terbatas
Wiwin Suwandi ; Peneliti Pusat Kajian Konstitusi (PKK)
Universitas Hasanuddin
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Desember 2014
BARANGKALI banyak dari kita
sepakat jika UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3)
ialah UU yang sangat hegemonik dan dominan, tidak demokratis. Lihat saja
pembahasan dan pengesahan UU MD3, yang dikebut dalam beberapa hari menjelang
berakhirnya masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014, melanggar aspek
formal dengan tidak dilibatkannya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), tapi juga
terkait materi (isi) dari UU tersebut yang banyak menyimpang.
Sejak masih dalam bentuk
rancangan, kelompok masyarakat sipil sudah sering mengkritik materi UU yang
dianggap menyimpang. Saat disahkan menjadi UU, beberapa pasal dalam UU MD3
yang dipandang menyimpang tersebut tetap dipertahankan, menjadikan DPR
sebagai lembaga superbodi. Hal itu dapat dilihat dalam Pasal 73 terkait
mekanisme penentuan pimpinan DPR. Aroma `balas dendam' dari kubu yang kalah
dalam pilpres menjadi suntikan semangat dalam upaya menguasai kursi pimpinan
DPR. Jika dalam UU MD3 sebelumnya (UU No 27/2009) kursi pimpinan DPR menjadi
hak partai pemenang pileg, dalam UU MD3 yang baru (UU No 17/2014),
mekanismenya diubah menjadi paket.
Superioritas DPR pun dapat
ditemui dalam kewenangan Mahkamah Kehormatan DPR yang menggantikan Badan
Kehormatan DPR. Peningkatan status dari `badan' menjadi `mahkamah' patut
diapresiasi jika semangatnya untuk menegakkan wibawa DPR dari laku anggotanya
yang sering meyimpang dari konteks etik. Namun, nyatanya tidak demikian, mari
kita lihat dan diskusikan secara saksama.
Pasal 245 ayat (1) berbunyi `Pemanggilan dan permintaan keterangan
untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana
harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan'.
Pasal itu termasuk yang dikritik sejak masih dalam rancangan, tetapi tetap
dipertahankan. Meski ada pengecualian pada ayat (2) terkait waktu 30 hari
penyidikan dapat dilakukan jika izin tertulis tersebut belum keluar, serta
ayat (3) terkait tindak pidana khusus, pasal tersebut tetap menyandera proses
penegakan hukum.
Semangat dari pasal itu ingin
melindungi anggota dewan yang diduga terlibat dalam kasus tindak pidana
tertentu, salah satunya korupsi. Agaknya, DPR lupa membaca putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) No: 73/PUU-IX/2011 dalam PUU No 32 Tahun 2004 dalam pengujian
UU Pemda No 32 Tahun 2004, Pasal 36 ayat (1). Pasal 36 ayat (1) UU Pemda yang
dibatalkan MK tersebut berbunyi `Tindakan
penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas
permintaan penyidik.'
MK membatalkan pasal 36 ayat (1)
karena dianggap bertentangan dengan Pasal 27 UUD 1945 yang menempatkan setiap
warga negara sama kedudukannya di depan hukum (prinsip equality before the law), serta dipandang akan menghambat proses
penegakan hukum. Sama halnya, Pasal 245 ayat (1) UU MD3 berpotensi menghambat
proses penegakan hukum terhadap anggota dewan dalam kasus tindak pidana.
Kritik terhadap pasal itu
ditujukan pada beberapa alasan. Pertama, independensi hukum yang dilanggar.
Dengan adanya kewenangan/kekuasaan Mahkamah Kehormatan DPR dalam menerbitkan
izin tertulis terkait pemeriksaan anggota dewan, hukum ditempatkan dalam
posisi subordinat kekuasaan. Posisi hukum inferior, di bawah superioritas
politik Mahkamah Kehormatan DPR. Padahal, hukum bekerja secara mandiri dan
independen. Lepas dari intervensi kekuasaan manapun.
Kedua, dari segi hukum acara, pasal
itu berpotensi menghambat proses penyelidikan dan penyidikan. Umum dipahami
bahwa tujuan dilakukannya penyelidikan ialah untuk mendapatkan bukti atau petunjuk
awal adanya dugaan tindak pidana yang terjadi. Kalau dalam melakukan
penyelidikan, penegak hukum harus menunggu izin tertulis dari Mahkamah
Kehormatan DPR, hal itu berpotensi menghambat pengumpulan barang bukti.
Ketiga, pasal itu melegitimasi
kekuasaan Mahkamah Kehormatan DPR sebagai badan yang sangat superior.
Penamaan `mahkamah' pun kurang tepat dan tidak lazim meng ingat penamaan
`mahkamah' hanya dikenal pada lembaga mandiri dan independen semisal MK atau
Mah kamah Agung.
Pasal 73 UU MD3 yang memuat ketentuan `pemanggilan paksa' juga mengandung cacat materiil. Ancaman salah
satu politisi kubu KMP yang bisa memanggil paksa menteri yang menolak
panggilan DPR juga salah alamat. Alasannya. DPR itu lembaga politik, bukan
lembaga penegak hukum. Pascaamendemen konstitusi, eksekutif-legislatif dalam
posisi setara, tidak ada yang bersifat subordinat satu terhadap yang lain.
Dalam konteks demikian, jika pemerintah tidak memenuhi panggilan DPR, DPR
hanya bisa menggunakan kekuasaan politiknya, menggunakan kewenangannya. Misal,
menyetop pembahasan anggaran untuk sejumlah kementerian, tidak membahas RUU
yang diajukan pemerintah (yang akan membuat tekanan kepada pemerintah untuk
bersikap lunak dan bersedia menghadiri panggilan dewan), dan menggalang hak
menyatakan pendapat atau hak interpelasi.
Kemudian
perspektif pidana. Pasal 73 ayat (4) itu hanya berlaku bagi badan hukum dan
atau warga masyarakat, tidak untuk pejabat negara (ayat 3). Lagi pula,
panggilan paksa hanya berlaku dalam sistem peradilan pidana (Pasal 112
KUHAP). Apakah panggilan paksa itu terkait pertanggungjawaban pidana, misal
sebagai saksi atau tersangka? Melibatkan polisi dalam pemanggilan paksa juga
keliru karena menabrakkan ranah administrasi tata negara dengan pidana.
Keputusan untuk menaikkan harga BBM itu kebijakan pemerintah yang tidak bisa
dipidana, kecuali ada unsur TPK di situ (yang bisa membuat penegak hukum
masuk tanpa ada perintah dari dewan). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar