Biksu
Tak Berjubah
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi; Penggemar Sirih dan
Cengkih, buat Kesehatan
|
KORAN
SINDO, 23 Desember 2014
Sitor
pernah muda. Dan seperti anak muda pada umumnya dia punya ambisi besar.
”Taklukkan Kota Paris / mimpiku dulu /angan-angan muda: menggetarkan langit!”
Tapi dia tahu, impiannya dianggap sepi.
Dan
langit sama sekali tak tergetar. Dia berkata dengan datar, mungkin malu,
mungkin heran, mungkin kecewa: ”Tapi langit bisu saja”. Langit menganggap tak
penting kehadiran Sitor di dunia ini? Ini bait pertama puisinya, yang
berjudul Biksu Tak Berjubah, yang
kemudian menjadi judul buku kumpulan puisinya yang diterbitkan Komunitas
Bambu pada 2004, sepuluh tahun lalu, ketika Sitor berusia 81 tahun.
Penyair
dari Danau Toba, yang tangkas sekali berdebat ini lahir pada 2 Oktober 1924.
Kini dia pergi untuk takkan kembali pada usia 91 tahun lebih dua bulan. Dia
pergi seperti begitu saja, dan kita tak bisa menemuinya lagi.
Kita pun
tak akan lagi mendengar dia membaca puisinya dengan nada yang begitu khas:
bergumam pelan, tapi tekanan-tekanan suaranya, pilihan-pilihan nadanya, untuk
segi-segi penting dalam kandungan puisinya sangatlah Sitor. Penyair lain
tidak begitu. Tiap membaca puisi, Sitor tidak berdeklamasi, sebagaimana
diajarkan guru-guru di sekolah, dengan ”acting”, dengan mimik yang
dipas-paskan dengan nada, dan semangat dalam puisi, tapi tidak pernah pas.
Sitor
membaca puisi seperti kakek membacakan cerita pada cucunya. Gumam dibuat
jelas, semangat diberi tekanan suara dari dalam jiwanya. Dan bacaan berakhir
seperti film Eropa yang bersifat anti-hero. Berakhir duka, atau suka,
bertanya, atau menjelaskan, bagi Sitor sama saja. Pendek kata, Sitor membaca
puisi seperti gaya dia membaca kitab suci.
Sabda,
berupa perintah, atau larangan, atau sejarah, dibaca dengan nada sama, tapi
getaran jiwanya berbeda, seperti ketika berkata: ”Tapi langit bisu saja” di
atas. Kemudian disambungnya: ”Paris pun jadi tua/aku dewasa.” Sejarah tak
berarti guncangan, dan bukan pula kegetiran. Dalam dewasanya itu dia
”pasrah”, tanpa kecewa, tanpa protes. Dengan kepasrahan ”seperti biksu
tua/berkemas/masuk biara mati raga.”
Di sini,
kita tidak tahu mengapa, menjelang titik puncak kematangan rohaniah, dengan
kepasrahan totalnya, tiba-tiba Sitor mementahkan diri. Kelihatannya dia tidak
tuntas memasuki dunia rohani. Cintanya ttanpa dalam imajinasinya tpada tanah
air, Nusantara, ditonjolkan secara naif, di saat seharusnya dia bicara
tentang kesejatian cinta, seperti layaknya seorang biksu, ”tanpa jubah...”,
karena ”jubahnya” berupa cinta.
Tapi mengapa jubah Sitor berupa cinta, yang bukan wujud kesejatiannya,
melainkan pada benda, pada rupa: Nusantara? Apa perlunya Nusantara, tanah
air, di saat kita sudah berhadapan dengan apa yang lebih sejati, yang tak
lagi perlu diuji, karena dia kebenaran tertinggi?
”Biksu tanpa jubah”, yang dalam situasi meditatif tertinggi, ketika ada
suara tak didengar, ada bau tak dihirup, ada rupa tak dilihat, dan kita hanya
terpesona pada SATU esensi, yang tertinggi, mengapa kita balik ke bumi, dan
sibuk mengurus Nusantara, yang dalam konteks rohaniah itu tak penting, tak
menarik sama sekali, dan tak relevan? Ah, biarlah, Sitor yang tahu jawabnya.
Dia, yang kini dalam perjalanan ”pulang”, biarlah berjalan lempang, ke
”rumah” sejatinya, dan semoga dia lupakan Nusantara, supaya jalannya tak usah
membelok-belok. Ya, tapi bagaimana bisa kita mencelanya? Betul, saya memang
tak pernah meragukan cintanya pada tanah air.
Dia ini seorang nasionalis bukan karena warna partainya, bukan karena
aliran politiknya, melainkan karena jiwanya yang utuh, penuh, cinta pada
tanah air itu. Tak mengherankan, dalam batas dunia ini dan dunia sana, yang
dia ingat Nusantara. Pernah dia mau menginap di rumah saya. Kamar sudah saya
siapkan beberapa lama sebelumnya, tapi mendadak dia membatalkan lewat seorang
teman.
Dia bilang: ”Katakan pada Sobary, buat orang seusia saya, cinta tanah
air ternyata bisa dikalahkan oleh cinta pada istri.” Itu kurang dari sepuluh
tahun lalu, ketika istrinya, Ibu Barbara, sakit. Dan saya memahaminya. Istri
sakit pun diperhadapkan pada persoalan cinta tanah air. Kita tahu, atau
merasakan, dia ”menjerit” ketika cinta tanah air itu dikalahkan oleh cinta
pada istri. Kalau watak nasionalis itu hanya gincu, dan sejenis ”wedhak pupur
” niscaya peduli apa tiap saat bicara tanah air? Sitor merantau jauh.
Tapi hatinya di tanah Batak, di Toba tercinta. Seekor burung boleh
terbang tinggi. Tapi dia mana dia hinggap bila bukan di kubangan? Dan apa
kubangan di sini, bila bukan sekeping tanah, tempat ketika darah pertamanya
tumpah, disusul hirupan napas pertama, di udara terbuka, di tanah airnya
sendiri? Di kantor saya, dia mau membaca sesuatu, tapi dia tak memakai kaca
mata.
Dia minta kacamata saya, dan saya ”pinjamkan”. Dia pun membaca dengan
kacamata itu. Sampai akhir. Kemudian kacamata dimasukkan ke saku kiri
bajunya, dengan cara begitu rupa. ”Kacamata,” kata saya, sambil mengulurkan
tangan kanan, untuk memintanya. ”Saya membaca pakai apa kalau ini kau minta?”
katanya kalem, kemudian berdiri, seolah tak terjadi apa-apa.
Saya merangkulnya dari belakang, dengan perasaan bahwa hal itu luar
biasa, dan saya menerimanya tanpa protes. Bung Sitor, saya mengenangmu,
dengan kehangatan, demi apa yang mungkin bernama kekaguman, atau
persahabatan, yang tak mungkin saya berikan pada banyak orang. Kenangan ini,
dilihat dengan cara lain, bisa berarti seolah saya mengkritikmu.
Tapi persetan apa kata orang, karena bukankah kita sama-sama mengerti
apa maknanya? Bung, selamat jalan. Biksu yang tak lagi berjubah, memang
karena tak memerlukan jubah. Di sana, buat Bung, ada jubah yang lain. Penyair
yang nasionalis, senasionalis-nasionalisnya pun, dalam posisi Bung sekarang,
tak memerlukan lagi tanah air, seperti Nusantara ini, karena di sana, untuk
Bung ada tanah air tersendiri.
Ada jubah, bagi yang melupakan jubah lahiriah. Ada tanah air, bagi yang
melupakan tanah airnya yang dulu, karena tanah air yang akan datang, lebih
otentik, lebih sejati. Dan jubahmu, di sana lebih bagus. Biksu tak berjubah,
bukan karena tak punya jubah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar