Quo
Vadis Pemerintahan Jokowi-JK?
Tandean Rustandy ; Chief Executive PT Arwana Citramulia Tbk
|
KORAN
SINDO, 23 Desember 2014
Rakyat
memantau dan menantikan kinerja Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo-Wakil
Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK). Para menteri mencontoh gaya kepemimpinan
Presiden Jokowi untuk turun ke bawah.
Namun,
blusukan beberapa menteri terkesan mementingkan pencitraan dan cenderung
menyelesaikan persoalan di level mikro. Padahal mereka seharusnya membuat
berbagai kebijakan strategis, bukan banyak bicara mengingat semakin
kompleksnya problem bangsa kita saat ini.
Presiden
Jokowi memulai perjalanan ke luar negeri dengan menghadiri KTT APEC di China,
lalu KTT ASEAN di Myanmar, G-20 di Australia, dan terakhir KTT ASEAN Korea
Selatan di Seoul. Ketika menghadiri berbagai KTT itu, Presiden selalu
mengajak investor asing berinvestasi di Indonesia.
Sejak
Indonesia merdeka, belum pernah ada presiden yang melakukan perjalanan
perdana ke luar negeri langsung promosi investasi sehingga menimbulkan kesan
Indonesia begitu haus bantuan luar negeri. Di sisi lain, Presiden Jokowi juga
belum pernah menawarkan rencana investasi kepada pengusaha lokal. Padahal
cukup banyak pengusaha lokal yang kuat dan mampu.
Amat
disayangkan, belum konsolidasi ke dalam, Presiden sudah “jualan” keluar.
Sebetulnya tanpa promosi Presiden, investor luar negeri sudah sangat tahu
potensi bangsa kita. Tanpa diundang pun, para investor akan datang karena pasar
Indonesia sangat menjanjikan. Pemerintah sekarang seharusnya fokus
menghilangkan hambatan investasi seperti perizinan, pembebasan lahan, dan
kelambanan birokrasi.
Apabila
setiap jajaran pemerintah memiliki niat memperbaiki dan mengimplementasikan good governance, kami yakin niscaya
rakyat akan menginvestasikan kemampuannya yang terbaik bagi bangsa ini.
Sekalipun Indonesia negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, kebijakan
pemerintah tidak boleh terlalu liberal. Memang Indonesia masih butuh
investasi asing, setidaknya untuk modal dan teknologi.
Namun,
sementara pemerintah membiarkan modal asing masuk dengan amat mudah, daya
saing produk industri dalam negeri masih relatif rendah. Khusus untuk sektor
manufaktur yang tidak berkaitan dengan sumber daya alam, modal asing yang
masuk lebih banyak ke Pulau Jawa karena merupakan pangsa pasar terbesar di
Indonesia. Pemerintah seharusnya menggiring mereka berinvestasi di luar Jawa.
Dengan kemampuan keuangan dan know-how
teknologi yang lebih baik, para investor asing memiliki stamina untuk memulai
di tempat yang belum disentuh investor lokal. Pemerintah pasti menyadari
investasi penanaman modal asing (PMA) lebih banyak di sektor sumber daya
alam, mulai dari tambang, perkebunan, dan perikanan.
Namun, PMA tidak membangun pabrik untuk secondary processing. Bisa dilihat di lingkungan kerja
pertambangan, di mana kondisi rakyatnya tetap tidak sejahtera, sedangkan para
penguasa daerah semakin makmur. Dengan royalti dan pajak yang kurang
transparan serta penyerapan tenaga kerja lokal yang sedikit, mereka bisa
bebas mengambil bahan mentah, langsung diekspor, kemudian uang hasil ekspor
diparkir di luar negeri.
Biaya kerusakan alam yang ditimbulkan sangat besar, tetapi kurang
diperhatikan. Semua ini karena law enforcement yang tidak tegas. Harapan
kepada pemerintah baru, problem yang merugikan bangsa dan negara ini bisa
terselesaikan dan pengelolaan kekayaan alam kita bisa berkelanjutan. Demikian
halnya PMA di sektor industri manufaktur yang terlalu digampangkan, padahal
mereka tidak terlalu memikirkan kepentingan jangka panjang bangsa kita.
Indonesia dijadikan “tukang jahit”. Mereka selalu memegang brand tanpa
merencanakan alih teknologi. Pada dasarnya kita diberi order produksi massal dengan kualitas biasa. Kasus ini menjadi
pembelajaran bagi menteri tenaga kerja dan serikat pekerja. Dengan kemampuan
sumber daya manusia yang rendah dan tidak ditingkatkan kualitasnya, produk
yang dihasilkan merupakan produk biasa yang bisa diproduksi negara lain.
Sebagai contoh, sepatu dengan harga jual di atas USD100 selalu
diproduksi di Vietnam dan China. Sedangkan sepatu produk Indonesia untuk
menengah ke bawah. Padahal biaya tenaga kerja Indonesia lebih mahal daripada
Vietnam dan di negara tersebut stabilitas berusaha sangat baik tanpa unjuk
rasa karyawan menuntut kenaikan upah.
Menteri tenaga kerja dan serikat buruh perlu konsolidasi dengan
benchmarking ke negara tetangga yang memiliki kemampuan sama. Apabila selalu
menuntut ke dalam tanpa perbandingan keluar, secara jangka panjang sektor
industri manufaktur berbasis padat karya akan tidak menarik bagi investor
dalam maupun luar negeri.
Sekarang sudah bisa dilihat, tren pertumbuhan investasi berbasis padat
karya terus menurun. Upah buruh Vietnam di bawah Indonesia, tapi
kesejahteraan dan kualitas hidup di sana lebih baik. Biaya hidup Vietnam bisa
terjangkau karena makanan pokoknya sangat murah. Mengapa bisa demikian? Hal
menarik, sekalipun sumber daya alamnya tidak kaya, Vietnam mampu
berswasembada kebutuhan makanan pokok.
Biaya energi mereka tidak disubsidi, tetapi biaya produksi beras mereka
lebih efisien dari kita. Kita bisa bandingkan juga dengan Thailand. Bahan
makanannya bahkan lebih murah dari Vietnam. Biaya energi Thailand salah satu
termahal di ASEAN, tapi mengapa kebutuhan hidup di sana luar biasa murah
dibanding kita? Semestinya dengan kemelut dalam negeri yang cukup parah,
Thailand terpuruk.
Kenyataannya jalanan antarprovinsi di negara tersebut tetap mulus,
jumlah turis tetap terbesar di ASEAN, dan harga makanan boleh dikatakan
termurah. Contoh Vietnam dan Thailand patut menjadi studi kasus untuk
pembelajaran setiap lapisan golongan di Indonesia. Kelemahan fundamental kita
yakni selalu mengandalkan berlimpahnya kekayaansumber daya alam.
Sejak merdeka tidak pernah sekalipun pemerintah berani membangun
ekonomi tanpa bersandar pada hasil sumber daya alam. Tidak heran bila
pertumbuhan ekonomi menjadi musiman, sangat bergantung kepada negara lain.
Kita bukan Singapura maupun Thailand. Kita negara dengan populasi terbesar di
ASEAN, keindahan alamnya tidak kalah dengan Italia, serta kekayaan sumber
daya alamnya jauh dibanding Timur Tengah.
Tetapi, mengapa turis lebih banyak berkunjung ke Thailand dan
Singapura, bahkan Malaysia? Rakyat Thailand, Malaysia, dan Singapura lebih
sejahtera dari rakyat kita. Laut Vietnam dan Thailand tidak seluas Indonesia,
tetapi mampu mengekspor hasil laut jauh di atas kita. Para pemimpin bangsa
perlu berintrospeksi.
Kita negara besar, kaya, dan berdaulat, tetapi rakyat masih belum
sejahtera. Kualitaspendidikanmasihkalah dari Malaysia, Thailand, maupun
Vietnam. Lebih banyak warga negara Thailand, Vietnam, maupun Malaysia yang
kuliah di universitas kelas atas di Amerika Serikat dibanding kita.
Setiap pemimpin mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, wali
kota, dan para pemimpin partai politik perlu belajar dari Confucius, seorang
filsuf besar China yang mengatakan, ”Di
negara yang dipimpin dengan baik, kemiskinan adalah sesuatu yang memalukan,
sedangkan di negara yang dipimpin dengan buruk, kekayaan adalah sesuatu yang
memalukan.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar