Pajak dan Masa Depan
Indonesia
Salahuddin Wahid ; Pengasuh
Pondok Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS, 29 Desember 2014
SAAT ini Direktorat Jenderal Pajak menjadi sorotan publik dalam banyak
hal: dari realisasi penerimaan pajak yang dipastikan tak akan tercapai hingga
lelang jabatan Dirjen Pajak. Di antara beberapa hal itu, pertemuan Presiden
Joko Widodo dengan pejabat Direktorat Jenderal Pajak menarik dikupas karena
Presiden memberi janji berupa dukungan penuh terhadap pelaksanaan tugas
pengumpulan penerimaan negara melalui pajak. Presiden juga menyampaikan
peningkatan target penerimaan pajak pada 2015 sebesar Rp 600 triliun.
Dukungan tersebut menggembirakan rakyat karena ketakadilan pajak atas
warga negara kian parah. Faktanya, pengenaan dan penagihan pajak tajam ke
rakyat kecil tumpul menghadapi konglomerat, orang kaya, dan pejabat negara.
Ketakadilan itu bukan disebabkan kesalahan pegawai Pajak semata karena
sesungguhnya pegawai Pajak hanya bertugas sesuai dengan aturan. Sayangnya,
dalam pelaksanaan tugasnya, pegawai Pajak sering dapat gangguan dari banyak
pihak sebab bersentuhan dengan kepentingan pihak tertentu.
Selama ini tak pernah ada perlindungan dari negara ketika pegawai Pajak
melaksanakan tugas. Dengan dukungan langsung Presiden, pegawai Pajak bisa
dilindungi ketika sedang melaksanakan tugas sehingga mampu melaksanakan tugas
dengan benar tanpa takut lagi.
Mewujudkan
dukungan
Pernyataan Presiden tidak cukup, harus segera ada implementasi
nyatanya. Pada masa lalu pernyataan Presiden kerap dituangkan dalam instruksi
presiden. Jadi, yang seyogianya dilakukan Presiden adalah mengeluarkan
instruksi presiden untuk menerjemahkan perlindungan terhadap pelaksanaan
tugas Ditjen Pajak, sekurang-kurangnya memuat beberapa hal berikut.
Pertama, melakukan penyusunan perppu atau UU untuk menempatkan Ditjen
Pajak badan mandiri secara struktural di bawah Presiden dan terpisah dari
Kementerian Keuangan. Ini penting agar Presiden dapat mengintervensi langsung
dan meminta pertanggungjawaban pemimpin institusi serta untuk menciptakan
ruang komunikasi yang intensif dengan pemimpin otoritas pengumpul penerimaan
pajak tanpa harus melalui birokrasi yang rumit dan berliku. Di sini Menteri
Keuangan hanya sebagai koordinator, tetapi tetap mempertimbangkan kebijakan
perpajakan yang akan diambil.
Pembentukan badan perpajakan terpisah sebenarnya tak mustahil dilakukan
karena hanya ada satu institusi perpajakan di negeri ini sehingga wewenang,
tugas, dan fungsi Ditjen Pajak tak akan tumpang tindih dengan lembaga lain.
Ia seharusnya mempermudah melakukan perubahan struktur pada institusi
perpajakan daripada ketika pemerintah membentuk Otoritas Jasa Keuangan.
Pembentukan badan perpajakan bisa mendorong tercapainya reformasi
birokrasi di institusi perpajakan secara maksimal. Reformasi birokrasi di
Ditjen Pajak sudah berlangsung sejak 2002 dan merupakan salah satu pelopor
reformasi birokrasi.
Kedua, Presiden mengawal perubahan UU Perpajakan, khususnya UU No 28/2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, agar sesuai kepentingan
penerimaan negara. Presiden juga bisa memiliki instrumen perpajakan yang
berwenang dalam penegakan hukum. Instrumen ini bisa mengatur penyelesaian
sengketa perpajakan dan penegakan law enforcement terhadap pengemplang pajak.
Ini penting karena posisi Presiden lebih kuat daripada sekadar direktur
jenderal sehingga ketika bersentuhan dengan pihak-pihak tertentu, ada
kekuatan politik yang dapat menekan dan berkolaborasi dengan kemampuan tugas
dan institusi perpajakan.
Ketiga, Presiden segera menerbitkan peraturan berupa sanksi
administrasi terhadap pemimpin lembaga pemerintah pusat dan daerah, BUMN,
BUMD, badan swasta, dan individu yang menghambat dan/atau menolak permintaan
data dari institusi perpajakan untuk kepentingan penggalian potensi,
pengawasan, dan penegakan hukum. Data perpajakan merupakan alat utama pegawai
Pajak melaksanakan tugas sehingga seharusnya jumlah dan mutunya harus dijamin
pemerintah, serta proses penggalian datanya pun seharusnya dilindungi
pemerintah.
Keempat, membentuk divisi khusus di KPK untuk mengawasi pegawai Pajak.
Penting mendukung dan melindungi petugas dari sisi ketahanan terhadap godaan
korupsi karena nilai pemungutan pajak yang nominalnya luar biasa dan rentan
dikorupsi. Diharapkan, kolaborasi dengan KPK ini akan meningkatkan sisi
integritas para pegawai Pajak dan memaksimalkan pengawasan internal.
Pembentukan badan perpajakan dan divisi KPK khusus pajak harus paralel
sehingga berjalan seimbang dengan tujuan, memiliki kewenangan yang besar,
tetapi juga maksimal diawasi.
Kelima, infrastruktur yang dibangun dengan dana APBN atau APBD perlu
mencantumkan penjelasan bahwa infrastruktur itu dibangun dengan dana pajak
yang dibayar rakyat Indonesia. Penting menumbuhkan kebanggaan dan kepercayaan
masyarakat agar patuh membayar pajak sehingga mengurangi resistensi terhadap
aturan perpajakan.
Peningkatan
penerimaan
Berdasarkan data transformasi kelembagaan Ditjen Pajak, proyeksi penerimaan pajak berdasarkan pertumbuhan
alami: PDB (2015) Rp 11.128 triliun
dan (2019) Rp 17.510 triliun. Rasio pajak (2015) 12,32 persen dan (2019)
12,42 persen sehingga penerimaan pajak pada 2015 Rp 1.371 triliun dan akan
meningkat pada 2019 Rp 2.175 triliun.
Proyeksi penerimaan pajak yang lebih tinggi dapat dicapai dengan
mengadakan sejumlah perbaikan yang dibutuhkan. Proyeksi optimistis itu pada
2019 akan capai rasio pajak 16 persen yang menghasilkan penerimaan pajak Rp
2.802 triliun. Terlihat ada potensi penambahan penerimaan pajak Rp 627
triliun pada 2019 dibandingkan dengan pertumbuhan alami. Proyeksi itu bukan
angan-angan. Kita bandingkan dengan banyak negara Eropa yang rasio pajaknya
di atas 30 persen (tertinggi adalah Belgia sebesar 46,8 persen)
Peningkatan penerimaan pajak itu memerlukan prasyarat lain berupa
peningkatan jumlah, mutu, kesejahteraan pegawai badan perpajakan, serta
penambahan kewenangan dan syarat lain seperti diuraikan di atas. Jumlah
pegawai Ditjen Pajak sejak 2005 semakin meningkat dan mengalami titik balik pada
2012 yang berbalik menjadi menurun. Menurut perkiraan, untuk memenuhi target
penerimaan pajak 2015 diperlukan penambahan 10.000 pegawai Ditjen Pajak
sehingga total pegawai Pajak menjadi sekitar 41.000.
Ketika tangan midas Presiden menyentuh langsung sektor perpajakan, APBN
dengan pembiayaan mandiri dari pajak bukan angan-angan belaka. Dengan dana
melimpah, pembangunan Indonesia menuju negara maju suatu keniscayaan.
Dengan peningkatan penerimaan pajak itu, kita bisa membiayai kebutuhan
kapal dan persenjataannya untuk mengawal kedaulatan laut, membangun sistem
radar, dan membeli pesawat tempur untuk menjaga wilayah udara kita,
meningkatkan peralatan tempur TNI AD, meningkatkan kesejahteraan anggota TNI
dan Polri. Juga meningkatkan kesejahteraan aparat penegak hukum supaya hukum
betul-betul tegak dan menyejahterakan serta meningkatkan mutu para guru
supaya kita bisa mencerdaskan kehidupan bangsa. Juga untuk membangun
infrastruktur, termasuk tol laut, membiayai penelitian untuk memajukan
industri, memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan perumahan. Pajak
adalah masa depan Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar