Harga Minyak dan
“Jokowinomics”
A Prasetyantoko ; Dosen di Unika
Indonesia Atma Jaya, Jakarta
|
KOMPAS, 29 Desember 2014
KENDATI Jepang tak menganggap hari raya Natal sebagai libur nasional,
gemerlap kemeriahan tetap terlihat di berbagai sudut kota Tokyo. Bulan
Desember perlu energi lebih besar, selain karena musim dingin, juga ada
perayaan Natal dan Tahun Baru. Anomali terjadi jika harga minyak dunia justru
turun.
Sebagai negara pengguna energi, Jepang diuntungkan penurunan harga
minyak dunia sehingga punya kesempatan mendorong pilar terakhir Abenomics,
yaitu meningkatkan daya saing ekonomi domestik. Demikian juga India yang
berencana mendorong industrialisasi secara masif sebagai bagian dari program
Modinomics seiring dengan turunnya harga energi global. Bagaimana dengan
Indonesia?
Minyak mentah West Texas Intermediate untuk pengiriman Januari sempat
turun ke harga 54,11 dollar AS per barrel di New York Mercantile Exchange. Turunnya
harga minyak disebabkan dua hal pokok. Pertama, faktor fundamental terkait
dengan penurunan permintaan energi akibat pertumbuhan global masih lemah.
Kedua, faktor kompleksitas geopolitik global. Oleh karena itu, tak ada
jaminan harga minyak tak akan naik lagi pada masa depan.
Penurunan minyak dan dinamika nilai tukar menandai perang kepentingan
antarnegara dalam rangka pemulihan ekonomi. Ada kecenderungan setiap negara
menjalankan kebijakan beggar-thy-neighbour atau kebijakan berorientasi
domestik yang cenderung merugikan negara lain. Tanpa harus merugikan negara
lain, sepertinya kita harus merumuskan yang kita mau terkait dengan dinamika
harga minyak dunia.
Tim Reformasi Tata Kelola Migas telah mengeluarkan rekomendasi. Dua
yang terpenting adalah menghapus produksi bensin jenis RON 88 dan mengganti
dengan RON 92 yang lebih ramah lingkungan serta mengusulkan sistem subsidi
tetap. Rekomendasi pertama mensyaratkan revitalisasi kilang pengolah minyak
oleh Pertamina. Rekomendasi kedua membutuhkan legislasi dari parlemen.
Keduanya tidak mudah secara teknis dan politis.
Meskipun sulit secara teknis, rekomendasi pertama jauh lebih
memungkinkan segera dijalankan pemerintah. Adapun rekomendasi kedua
membutuhkan kerja politik. Sangat mungkin perlu perombakan kabinet untuk
mengakomodasi partai koalisi yang akan bergabung.
Jalan tengah bisa dilakukan dengan memproduksi premium bersubsidi (RON
88) secara terbatas. Selebihnya memperbanyak premium nonsubsidi (RON 92).
Jalan apa pun yang diambil pemerintah sebaiknya diletakkan dalam konteks
besar strategi pembangunan ke depan. Perlu ada definisi konkret dari
Jokowinomics. Penurunan harga minyak harus dimanfaatkan untuk mempercepat
program pembangunan ala Joko Widodo.
Penerapan subsidi tetap dengan menentukan besaran subsidi setiap liter
premium dan solar, misalnya Rp 1.000 per liter, akan mengubah lanskap fiskal
kita. Pertama, ada kepastian besaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk
satu tahun anggaran sehingga revisi APBN bisa diminimalkan. Kedua, memberikan
ruang penambahan belanja modal untuk mendorong pembangunan infrastruktur.
Ada dua opsi kebijakan subsidi tetap, yakni diberikan kepada produsen
atau konsumen.
Presiden Joko Widodo sebenarnya sudah menorehkan sikap politiknya dalam
pengelolaan ekonomi saat menaikkan harga BBM bersubsidi pada November lalu.
Seperti disampaikan dalam pidato pengumuman kenaikan harga, pemerintah ingin
mengubah lanskap perekonomian, dari berbasis konsumsi menjadi produksi.
Pernyataan ini bisa menjadi kerangka politik dalam kebijakan ekonomi yang
diterjemahkan dalam strategi yang lebih mikro dan sektoral. Penerapan sistem
subsidi tetap bisa dimaknai sebagai tindak lanjut upaya membangun basis
produksi dalam perekonomian domestik.
Selama sepuluh tahun terakhir, tak ada kebijakan industrial yang
memadai dalam rangka membangun basis ekonomi produktif. Ini saatnya kembali
pada kebijakan industrial yang benar dengan cara merumuskan peran pemerintah
dalam perekonomian.
Ruang fiskal Rp 230 triliun yang diproyeksikan tersedia dalam R-APBN
2015 sebagai dampak dari kebijakan BBM dan reformasi perpajakan bisa menjadi
modal awal yang memadai untuk mendorong pembangunan infrastruktur.
Investasi asing harus diarahkan untuk lebih banyak membangun industri
penghasil bahan baku di dalam negeri agar permintaan bahan baku impor bisa
dikurangi secara sistematis. Selain itu, daya saing produk ekspor nonmigas
kita harus mendapatkan perhatian, baik lewat komitmen fiskal maupun regulasi
lain.
Penurunan harga minyak di pasar dunia ini harus dimanfaatkan dengan
baik karena momentum ini tak akan datang lagi dalam pemerintahan Presiden
Joko Widodo. Harus diakui, kebijakan ekonomi selalu mengandung unsur
”keberuntungan”. Namun, hal yang lebih penting adalah memanfaatkan
keberuntungan parsial ini dalam kerangka lebih besar, dalam kebijakan
industri dan ekonomi secara umum. Penurunan harga minyak harus mampu
mendorong Jokowinomics. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar