Natal
dan Perubahan Mentalitas
Aloys Budi Purnomo ; Rohaniwan;
Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan, Keuskupan
Agung Semarang
|
KOMPAS,
24 Desember 2014
Bagi bangsa ini, frasa ”revolusi
mental” kian populer sejak didengungkan Joko Widodo saat masih calon hingga
menjadi Presiden RI. Dari wacana hingga gerakan revolusi mental digemakan
dalam berbagai bidang sebagai daya dorong untuk membangun kehidupan bangsa
ini agar kian berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan
bermartabat dalam kebudayaan.
Izinkan saya melalui renungan
Natal 2014 ini memberikan perspektif spiritual-teologis terkait revolusi
mental. Dalam perspektif spiritual-teologis peristiwa Natal, yakni kenangan
atas peristiwa historis kelahiran Yesus Kristus, revolusi mental mendapatkan
landasannya melalui penjelmaan dan pelayanan yang murah hati.
Dalam keyakinan iman Kristiani,
Natal adalah kenangan penuh syukur dan kegembiraan atas sosok pribadi yang
datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani; bukan untuk merampas
kehidupan, melainkan memuliakannya; bukan untuk menguasai, melainkan untuk
mengabdi.
Teologi inkarnasi (penjelmaan)
menegaskan bahwa peristiwa Natal adalah awal dari komitmen kasih Allah,
pencipta langit dan bumi, yang karena begitu besar kasih-Nya, mengutus
putra-Nya yang tunggal menjadi manusia agar dunia dan seisinya beroleh
keselamatan (bdk Yohanes 3:16).
Penjelmaan ditandai oleh
pengosongan diri demi representasi bela rasa di antara kita. Persis di
sinilah esensi revolusi mental dihayati bukan sebagai suatu yang statis,
melainkan dinamis. Ia tidak mandek, melainkan mengalir dan menggerakkan.
Tujuannya adalah keselamatan,
kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan orang lain, bukan diri sendiri.
Maka, revolusi mental itu meretas segala bentuk egoisme personal ataupun
komunal.
Perwujudan
Penghayatan dan perwujudan
revolusi mental tampak dalam gerakan keluar dari diri sendiri dan hadir dalam
kebersamaan dengan yang lain, terutama yang sedang mengalami kehampaan,
kekeringan, kesulitan, penderitaan, peminggiran, dan pemiskinan.
Subyek perwujudan revolusi
mental adalah kelompok kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel.
Lawan dari itu adalah sikap menutup diri yang membuat kemanusiaan menjadi
lebih buruk karena terbelenggu egoisme dan pencitraan diri yang narsistik.
Dewasa ini, kita menyaksikan
banyak pihak mencoba untuk menjauhkan diri dari pihak lain, bahkan dengan
semangat permusuhan.
Mereka berlindung dalam
kenyamanan privasi dan lingkaran kelompok kecil sebagai kawan dan memunculkan
pihak lain sebagai lawan, bahkan musuh.
Dengan demikian, realitas sosial
hidup bersama yang mestinya saling menopang diretas, dikhianati. Masyarakat
politik kita cenderung bermental demikian, tak heran muncul kelompok-kelompok
yang saling bersitegang.
Hal ini tampak dari munculnya
Koalisi Merah Putih versus Koalisi Indonesia Hebat. Atau, di kalangan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) kita pernah muncul kelompok DPR tandingan. Di dalam
partai muncul partai tandingan.
Kehidupan sosial politik menjadi
terbelenggu oleh penyakit kecurigaan, ketidakpercayaan, ketakutan kehilangan
privasi, bahkan sikap defensif yang cenderung destruktif bagi tercapainya
kemaslahatan hidup bersama.
Semua itu tak lebih dari sebentuk
imanentisme, pengucilan, pengingkaran, dan pengkhianatan terhadap liyan. Relasi dibelenggu oleh
kepentingan sesaat, bahkan hasrat akan kekuasaan yang melahirkan kekerasan
dan kehancuran.
Revolusi mental Natal menawarkan
dan menghadirkan relasi baru di antara kita, antara sesama dan semesta,
antara kita dengan Sang Pencipta. Romantisisme Natal pascamodern yang
egoistik dan komunalistik tak lagi relevan dalam konteks revolusi mental
Natal.
Natal diwartakan dalam hakikat
kerelaan untuk senantiasa menjalankan dan menjalani risiko perjumpaan tatap
muka dengan sesama dan semesta.
Itulah makna kelahiran sosok
pribadi yang dinamai Yesus Kristus. Ia hadir di tengah kita, dengan segala
rasa sakit siapa pun yang dijumpainya, sekaligus dengan kegembiraan yang terus
merasuki kehidupan.
Karena itu, penghayatan iman
yang benar terkait dengan Natal tidak mandek pada perayaan, melainkan
perwujudannya.
Meminjam seruan Paus Fransiskus
dalam Evangelii Gaudium (2013 no 88), iman yang benar akan Putra Allah yang
menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus ”tidak
bisa dilepaskan dari pemberian diri, keanggotaan dalam komunitas, pelayanan,
rekonsiliasi dengan sesama. Putra Allah, dengan menjadi manusia, memanggil
kita kepada revolusi mental sepenuhnya menuju pada kelemahlembutan.”
Memberdayakan
Mentalitas baru bersumber dari
spirit Natal mewujud melalui relasi baru yang ditandai kehadiran yang
memberdayakan. Kelahiran Yesus membuka lembaran baru kehidupan yang ditandai
oleh kehadiran Allah yang menyertai Sang Emmanuel agar manusia menemukan
peneguhan dan makna dalam hidup bersama. Dia tinggal di antara kita,
menumbuhkan solidaritas, persaudaraan, serta hasrat akan kebaikan, kebenaran,
dan keadilan.
Kehadiran sosok pribadi yang
demikian akan selalu menjadi kerinduan sepanjang zaman tak akan hancur oleh
serangan apa pun.
Tak heran, meski Munir telah
dibunuh, atau Wiji Thukul yang sejak 27 Juli 1996 hingga hari ini masih
dihilangkan, tetap menggemakan gerakan revolusi mental melalui kehadiran yang
memuliakan martabat kehidupan manusia.
Semoga
era baru pemerintahan Jokowi-JK membangkitkan kembali hasrat terwujudnya
keadilan bagi mereka yang selama ini diperlakukan tidak adil—tetapi kasusnya
tak pernah tuntas diselesaikan dalam perspektif kemanusiaan—sebagai sisi lain
gerakan revolusi mental. Selamat Natal
2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar