Natal
dan Revolusi Mental
MGR Yustinus Harjosusanto MSF ; Uskup Tanjung Selor
|
KOMPAS,
24 Desember 2014
ADA yang istimewa dalam perayaan Natal tahun
ini karena dirayakan di tengah ajakan pemerintah kepada seluruh rakyat
Indonesia untuk melakukan revolusi mental. Apa hubungan Natal dengan revolusi
mental?
Bagi
umat Kristiani, Natal adalah peristiwa ketika Tuhan, yang mengenal manusia
yang tak berdaya karena dosa, berbela rasa dan bertindak langsung
menyelamatkan umat-Nya. Pengenalan keadaan itu bukan hanya menanti pihak
manusia berseru minta tolong, melainkan dan terlebih dari pihak Allah yang
Maha Mengenal.
Bela
rasa inilah, ketika tiba waktunya, membuat Ia bertindak dengan cara apa pun
agar manusia diselamatkan. Sikap dan tindakan-Nya itu nyata dengan wujud
tidak mempertahankan keadaan mulia, tetapi mengosongkan diri, mengambil rupa
seorang hamba, dan menjadi manusia.
Pilihan
tempat lahir bukan Jerusalem, kota terbesar pada zaman itu, melainkan
Betlehem, kota kecil. Istana raja yang megah dan gemerlap tidak menjadi
pilihan-Nya, tetapi kandang hewan yang sangat sederhana. Dengan
penjelmaan-Nya itu, relasi manusia dengan Allah dipulihkan, dasar mendalam
relasi antarmanusia diletakkan, yaitu kasih-Nya.
Merasakan
masih jauhnya wujud cita-cita bangsa Indonesia, sementara kerinduan untuk itu
semakin kuat, diperlukan perubahan mentalitas, yaitu cara berpikir, sikap
dasar, dan perwujudannya. Sebagian kecil warga terbuai menikmati kenyamanan
dan kemapanan, sementara sebagian besar masyarakat hidup sangat miskin dan
tak berdaya, tergoda untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa peduli akan
sesama.
Bela rasa
Mentalitas
individualistis telah menjiwai sebagian besar warga masyarakat. Sikap itu
melemahkan sikap bela rasa terhadap sesama, khususnya yang menderita.
Mentalitas itu tanpa disadari telah menelikung begitu banyak orang.
Egoisme,
dan ketidakpedulian, menyelinap di setiap bidang kehidupan sehingga
perorangan ataupun kelompok telah dirasuki sikap lebih mengedepankan
kepentingan pribadi, kelompok, golongan, suku, asosiasi, partai, dan
seterusnya daripada kepentingan bangsa.
Persaingan
tidak sehat berangkat dari sikap tidak peduli akan sesama, bahkan
menginginkan pesaingnya kalah atau bahkan mati. Mentalitas itu mesti diubah
secara mendasar kalau kebersamaan bangsa dalam menggapai cita-cita bersama
sungguh-sungguh mau dikembangkan.
Segenap
warga masyarakat perlu berubah dari sikap individualistis dan egoistis ke
altruis (alter = yang lain), yaitu
mengarahkan diri keluar, melihat keprihatinan di sekitarnya, mengembangkan
sikap bela rasa, dan bertindak nyata sekalipun sederhana dan dalam skala
kecil.
Sikap
dasar berbela rasa itu bukan hanya soal sosial, melainkan moral. Membiarkan
sesama menderita pada dasarnya adalah sikap tidak memberikan hak sesama hidup
layak. Padahal, semua orang bermartabat sama di hadapan Sang Pencipta.
Maka,
semua orang yang selama ini diam, tertutup, dan merasa aman serta menikmati
”kemuliaan” mesti meninggalkan rasa mapan dan nyaman untuk blusukan demi
melihat ke-nyata-an, mengembangkan sikap bela rasa, dan mewujudkan tindakan
nyata.
Mentalitas
menyenangkan atasan merupakan usaha mengelabui dan sekaligus menutupi
ke-nyata-an. Alhasil, pemimpin tidak mengenal realitas yang sesungguhnya dan
masyarakat hidup dalam dunia, meminjam istilah Gus Dur, seakan-akan;
seakan-akan mutu pendidikan telah merata, pelayanan kesehatan telah memadai
ke seluruh pelosok, dan seterusnya. Untuk berubah, diperlukan sikap terbuka,
rendah hati, dan jujur.
Mentalitas
lain yang dibiarkan hidup dan tumbuh subur adalah mencari keselamatan diri
dengan melepaskan prinsip baik dan benar. Tata nilai yang benar dikorbankan
demi keselamatan diri. Nilai-nilai luhur yang mesti dijunjung tinggi dikalahkan
demi kepentingan tertentu sehingga memupuk sikap oportunistis dan pragmatis.
Tidak mengherankan banyak orang bersikap mencla-mencle;
esuk dele, sore tempe (pagi dele, sore tempe), kata pepatah Jawa.
Ubah mentalitas
Promosi
media massa secara agresif, masif, dan meluas, dengan prinsip mendulang
untung sebesar-besarnya, harus diubah. Masyarakat tanpa sadar telah
”digiring” menganut tatanan nilai tertentu, khususnya menempatkan nilai
kenikmatan indrawi dan kenyamanan sebagai yang utama.
Parahnya,
kenikmatan dan kenyamanan itu mesti dibeli sehingga uang diutamakan, bahkan
menjadi penguasa. Akibatnya, dunia seakan arena perburuan dan perebutan uang
dengan cara apa pun: menipu, mencuri, merampok, dan khususnya korupsi.
Tindakan tersebut berangkat dari tata nilai yang telah terjungkirbalikkan.
Media
massa yang berkontribusi penting perlu berubah mentalitas dari kecenderungan
berorientasi bisnis ke pengutamaan pendidikan nilai luhur kemanusiaan.
Perubahan mentalitas secara revolusioner itu membutuhkan proses panjang,
kerja keras, dan wujud nyata berupa tindakan yang konsisten. Tanpa itu, yang
akan terjadi hanya gebrakan sesaat, tidak akan membawa banyak perubahan.
Perubahan
membangun sikap baru itu berat karena bagai berbalik arah 180 derajat. Tidak
semua pihak setuju dan mendukung gerakan itu. Maka diperlukan sikap sabar,
tahan banting dan sekaligus optimistis. Selamat
Natal! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar