Tata Ruang Jangan
Sektoral
Tommy Firman ; Guru Besar
ITB; Senior Research Fellow, Ash Center for emocratic Governance and
Innovation, Harvard Kennedy School, di Cambridge, Massachusetts
|
KOMPAS, 29 Desember 2014
SUATU sindiran yang beredar di masyarakat mengenai rencana tata ruang
kota dan wilayah selama ini adalah ”yang
direncanakan tak dibangun, yang dibangun tak direncanakan”. Kendati ada
rencana tata ruang yang dapat dilaksanakan dengan baik, di samping yang
memang tidak efektif implementasinya, sindiran itu merupakan masalah nyata
yang terjadi dalam pembangunan kota dan wilayah di Indonesia. Ujung-ujungnya
tata ruang sering pula diibaratkan sebagai ”macan kertas” yang tak bertaji
dalam menghadapi dinamika pembangunan. Padahal, sesungguhnya tata ruang
merupakan alat kendali pembangunan.
Sesungguhnya penataan ruang memiliki tujuan sangat baik. Secara
normatif dan sederhana, ia dapat dirumuskan sebagai upaya mengalokasikan
ruang, khususnya lahan—untuk beragam kegiatan sosial-ekonomi—dengan kebutuhan
infrastukturnya. Dengan begitu, terbentuk sinergitas di antaranya dan
mendukung keberlanjutan kota dan wilayah pada masa depan. Secara formal,
sebenarnya perhatian pemerintah ataupun lembaga legislasi sangat besar dan
sudah cukup lama mengenai hal ini, bahkan sejak Repelita II (1974). Namun,
hingga saat ini penataan ruang dirasakan belum cukup efektif, terutama dalam
implementasinya.
Lintas
sektoral
Penataan ruang bukanlah suatu tujuan akhir, melainkan alat untuk
mencapai tujuan-tujuan yang lebih luas, khususnya pembangunan sosial dan
ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Karena fungsi dan perannya yang
demikian, penataan ruang harus dipandang sebagai kegiatan yang bersifat
lintas sektoral. Masalahnya, kerap terjadi yang sering disebut ”ego
sektoral”, bahkan tak jarang yang terjadi menjadi kegiatan sektoral.
Ada banyak faktor yang memengaruhi kualitas dan implementasi rencana
tata ruang. Pada masa lalu, masalah utama yang dirasakan adalah kurangnya
sumber daya keahlian penyusunan suatu rencana tata ruang, di samping juga
minimnya data dan informasi yang dibutuhkan untuk tata ruang yang baik pada
beragam skala: nasional, provinsi, kabupaten/kota, sampai pada bagian kota.
Hingga kini, masalah tersebut masih dirasakan. Namun, persoalan paling
aktual dewasa ini adalah tidak konsistennya antara rencana dan implementasi.
Banyak hal yang menjadi penyebab. Penyebab-penyebab itu di antaranya terkait
dengan kepentingan bisnis, bahkan politis, serta belum memadainya kapasitas
kelembagaan pembangunan kota dan wilayah, khususnya di tingkat lokal. Sering
terjadi pembangunan kota dan wilayah berujung pada ”pelanggaran” tata ruang.
Misalnya, kawasan hijau kota atau kawasan lindung yang ditetapkan dalam
rencana tata ruang ternyata diubah peruntukannya menjadi kawasan bangunan,
bisa berupa pusat perbelanjaan ataupun perkantoran.
Sesungguhnya kehadiran sektor bisnis (swasta) mutlak diperlukan dalam
pembangunan kota ataupun wilayah. Tanpa kehadiran mereka, pembangunan kota
dan wilayah tidak mungkin dapat diwujudkan secara penuh. Kendati demikian,
sektor swasta jangan sampai menjadi sangat dominan sehingga dapat melobi atau
mengatur perkembangan kota sesuai kepentingannya.
Dalam hal ini, sesungguhnya diperlukan kemampuan dan kapasitas
kelembagaan pemerintah pusat ataupun provinsi, kabupaten/kota yang andal
dalam menggunakan rencana tata ruang sebagai suatu pedoman dan alat
pembangunan dan manajemen kota dan wilayah.
Rencana tata ruang bukan sekadar harus ada lantaran kewajiban untuk
memenuhi ketentuan-ketentuan formal. Kemampuan teknis dan aparat dalam
menerjemahkan tata ruang untuk mengimplementasikannya adalah suatu
keniscayaan. Dan, kemampuan itu harus selalu ditingkatkan sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, semisal penggunaan instrumen
teknologi informasi.
Selain itu, yang juga sangat dibutuhkan adalah suatu kepemimpinan
daerah secara kolektif dalam mengelola pembangunan kota, termasuk jajarannya.
Sebenarnya model kepemimpinan semacam ini sudah ditunjukkan pada beberapa
pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten di Indonesia. Hanya saja, jumlahnya
masih sedikit, juga masih bersifat sporadis. Banyak contoh yang sesungguhnya
dapat ditularkan dan disampaikan dari sejumlah provinsi, kota, dan kabupaten
dalam menangani masalah kota dan wilayah masing-masing.
Masih
bergantung figur
Namun, harus dicatat bahwa hingga saat ini kepemimpinan dan kepeloporan
tersebut masih sangat bergantung kepada sosok (figur) pimpinan daerah, yang
muncul pada setelah reformasi, khususnya melalui pilkada langsung, dan
sekaligus mengambil peran dalam pembangunan nasional. Kini sudah saatnya
dibangun suatu sistem yang memungkinkan pembangunan kota dan wilayah—antara
lain dalam penataan ruang—dapat berlangsung dengan efektif tanpa harus
bergantung banyak kepada figur gubernur, wali kota, dan bupati.
Kini pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla memberikan perhatian lebih
khusus pada penataan ruang, yakni dengan membentuk Kementerian Agraria dan
Tata Ruang dalam Kabinet Kerja. Banyak harapan digantungkan pada kementerian
baru ini agar implementasi penataan ruang lebih efektif. Namun, suatu
tantangan yang perlu diperhatikan dan sekaligus diwaspadai adalah jangan
sampai mengulang ”kekeliruan” lama, yaitu menjadikan tata ruang menjadi
masalah dan urusan (isu) sektoral. Apalagi sekarang ia menjadi semacam
portofolionya suatu kementerian secara eksplisit atau kementerian lain yang
terkait.
Dengan demikian, tantangan yang cukup berat dari kementerian baru ini adalah
membangun kelembagaan dan sinergitas penataan ruang dengan berbagai sektor
terkait (baca: para pemangku kepentingan). Juga tidak memandang dan
menjadikan penataan ruang sebagai urusan dan masalah sektoral, bahkan menjadi
bersaing (kompetitor) dengan sektor-sektor, di samping tentu saja membenahi
dan meningkatkan kualitas penataan ruang beserta kebutuhan data dan informasi
yang diperlukan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar