Ibu
Membentuk Mental Bangsa
Anna Muawanah ; Anggota Komisi XI DPR RIFraksi PKB
|
KORAN
SINDO, 23 Desember 2014
Hari Ibu
yang diperingati tiap tanggal 22 Desember tahun ini menjadi tahun pertama
pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Di waktu yang berdekatan,
pemerintahan ini juga baru berusia dua bulan terhitung 20 Oktober lalu.
Pemerintahan
Jokowi hadir dengan narasi besar yang populis dengan sebutan revolusi mental.
Sederhananya, revolusi mental diharapkan mampu mengubah secara radikal mental
masyarakat Indonesia. Dalam konteks revolusi mental dan peringatan Hari Ibu
pemerintah harus sadar bahwa ibu adalah awal dari pembentukan mental semua
manusia Indonesia, karena itu ibu perlu mendapatkan perhatian khusus.
Ide
revolusi mental Presiden Jokowi ini harus didukung dalam praktik di lapangan.
Operasionalisasi ide ini tentu tidak mudah seperti membalikkan telapak
tangan. Ada perangkat lunak yang mesti disiapkan. Ada pula kesiapan di
lapangan yang juga harus siap dioperasikan. Terdapat dua pendekatan yang juga
harus ditempuh.
Pendekatan
struktural dan pendekatan kultural. Pendekatan struktural secara sederhana telah
ditampilkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy Chrisnandi dengan penerbitan sejumlah surat
edaran (SE) seperti SE Nomor 10/2014 tentang Hidup Sederhana. Bagaimanapun
terdapat catatan kritis atas aksi Menpan-RB ini.
Imbauan
menteri sifatnya masih artifisial dan tidak membumi. Buktinya, ada resistensi
yang tidak kecil dari internal aparatur sipil negara. Sejak awal, kami
mendukung keseriusan ide revolusi mental, dengan mendorong lahirnya UU
Revolusi Mental. Tujuannya nyata, agar ide Presiden Jokowi tidak berhenti
pada jargon atau slogan semata. Lebih dari itu, dengan adanya undang-undang,
ada payung hukum dalam operasionalisasi revolusi mental.
Ini
melengkapi berbagai regulasi lain yang memiliki benang merah dengan ide dasar
revolusi mental. Sebut saja UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Proyek besar
revolusi mental juga tak bisa dihindari dengan menerapkan pendekatan
kultural.
Pendekatan
ini menjadi muara dari berbagai ikhtiar sebagaimana disebutkan di atas.
Bahkan di pendekatan inilah esensi dari revolusi mental diletakkan. Salah
satu pintu masuk utama untuk pendekatan kultural dalam melakukan revolusi
mental dimulai dari ibu yang juga merupakan sekolah pertama bagi anaknya
(al-um madrasatul ulaa li ibniha ).
Dari
Ibu Revolusi Mental Dimulai
Dalam literatur keislaman, baik
di dalam Alquran maupun Hadis, peran orang tua khususnya ibu menjadi cukup
vital. Seperti gambaran tentang ibu yang mengandung selama sembilan bulan
lamanya dilanjutkan dengan proses menyusui selama dua tahun.
Dalam konteks ini, ibu memiliki peran penting untuk mewujudkan salah
satu tujuan bersyariah (maqashid al-syariah)
yakni menjaga keturunan (hifdz al-nasl).
Gambaran peran signifikan orang tua terhadap masa depan anak juga ditujukan
dengan sabda Nabi Muhammad SAW tentang keridaan Tuhan kepada hamba-Nya sangat
tergantung keridaan orang tua kepada anaknya.
Singkat, beragam argumentasi keagamaan tentang peran sentral orang tua
atau ibu dalam peran membentuk mental anak menegaskan peran signifikan orang
tua, khususnya ibu. Situasi ini menemukan padanannya dengan narasi besar yang
didengungkan Presiden Jokowi yakni dengan ide revolusi mentalnya.
Gerakan kultural untuk menyemai revolusi mental tidaklah berlebihan
bila hal tersebut dimulai dari ibu atau orang tua. Ibu sebagai gerbang
pertama dalam pembentukan karakter anak juga menjadi etalase masa depan
peradaban sebuah bangsa.
Semakin bagus tingkat kualitas ibu, maka akan lebih baik pula generasi
berikutnya. Namun, peran signifikan ibu dalam membentuk karakter anak
tidaklah berdiri sendiri. Banyak faktor yang memengaruhinya, seperti
persoalan pembangunan manusia di Indonesia.
Kondisi
Riil
Dalam konteks di Tanah Air, Indeks Pembangunan Manusia (IPM/Human
Development Index ) merujuk data UNDP, pada tahun 2014 masih berada di
peringkat ke-108. Beberapa indikator IPM di antaranya terkait dengan harapan
hidup (life expectancy at birth),
pendidikan (melek huruf dan rata-rata sekolah), pendapatan, dan standar hidup
layak (kemampuan daya beli masyarakat).
Beberapa indikator tersebut bila diurai satu per satu seperti harapan
hidup masyarakat Indonesia memang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.
Seperti pada tahun 2014 ini, merujuk data dari Kementerian Kesehatan, harapan
hidup masyarakat Indonesia hingga usia 72 tahun, alias meningkat dibanding
satu dekade sebelumnya, yaitu hingga usia 66 tahun.
Persoalan daya beli masyarakat juga menjadi catatan khusus, terlebih
setelah ada kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada
pertengahan November lalu. Diprediksikan, inflasi pada Desember tahun ini
akan mengalami peningkatan. Ini merujuk data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
pada Juli 2013 atau setelah satu bulan kebijakan kenaikan harga BBM di era
pemerintahan SBY, tingkat inflasi year on year (Juli 2013 terhadap Juli 2012)
sebesar 8,61 persen.
Angka ini tertinggi secara bulanan sejak Juli 1998 silam. Belum lagi,
bila memedomani target yang diterapkan dalam Millenium Develpment Goals
(MDGs) 2015, dalam urusan ibu dan bayi ditargetkan kematian ibu maksimal 102
per 100.000 kelahiran dan angka kematian bayi 23 per 100.000 kelahiran.
Kenyataannya, menurut survei kedokteran pada tahun 2012 angka kematian
ibu masih di atas 200 per 100.000 kelahiran dan kematian anak di atas 34 per
100.000 kelahiran. Tentu ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Dalam
konteks inilah, tantangan pemerintahan Presiden Jokowi dalam menggulirkan
gagasan revolusi mental dapat dimulai dengan peningkatan kualitas hidup
manusia Indonesia.
Bila dirunut lebih detail lagi peningkatan kualitas hidup dapat
dikhususkan kepada para ibu di Indonesia. Karena memperbaiki kualitas hidup
perempuan di Indonesia sama saja negara mengawali peradaban baru masa depan
Indonesia. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar