Refleksi Natal
2014
Agama
dan Koridor Kemanusiaan
Max Regus ; Rohaniwan Katolik; Kandidat
Doktor, The Graduate School of Humanities, Universitas Tilburg, Belanda
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Desember 2014
TAHUN ini, Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
menulis pesan Natal dengan tema Berjumpa dengan Allah dalam keluarga dengan
inspirasi pada Injil Lukas Pasal 2, ayat 16. Di level paling pertama,
keluarga selalu memiliki sisi emosional. Tidak ada manusia yang tiba-tiba
muncul dari ruang kosong. Semuanya selalu berawal dari keluarga.
Tidak ada
manusia yang lahir seragam, bahkan di dalam satu keluarga sekalipun. Dengan
ungkapan yang lebih lugas, Allah berjumpa dengan manusia yang tidak seragam,
dan manusia berjumpa dengan Allah dalam ketidakseragaman.
Empedu sosial
Namun, tidak tersangkalkan,
ketika Allah tinggal di dalam agama-agama, dan bagaimana Dia diperlakukan para
pemeluknya, di belakang dari semua rasa takjub tentang-Nya, banyak cerita
keji yang terekam dalam sejarah. Sudah menjadi kisah yang umum, bagaimana
para pemeluk agama menyelipkan ritualisme kekerasan dan kebrutalan di dalam apa
yang mereka namakan dan agungkan sebagai tapa laku keagamaan. Ironisnya,
kemurnian satu agama dianggap rusak jika muncul satu intensi spiritual lain
yang berbeda di luar sana.
Sejumlah pertanyaan mendasar mencuat
ke permukaan. Mengapa ada sebagian orang merasa begitu memiliki hak dan
wewenang istimewa untuk menyeragamkan hasrat berjumpa dengan Allah? Benarkah agama
telah menjadi candu, bukan saja untuk memaafkan kemiskinan ekonomi, eksklusi
politik dan kepapaan sosial, melainkan juga membuat para pembunuh kemanusiaan
dalam nama Tuhan menjalankan semua itu dengan perasaan sebagai orang suci?
Apakah agama yang dianggap kotor harus dibersihkan dengan darah kemanusiaan?
Apakah Tuhan pernah mengirim pedang dan mewariskannya kepada segelintir orang
untuk membunuh dan memusnahkan setiap hasrat yang ingin mempertahankan warna
dalam keberagaman?
Pertanyaan-pertanyaan utama itu
sebetulnya hendak menegaskan kebenaran penting bahwa salah satu bahaya
terbesar bagi kemanusiaan ialah ketika ekstremisme religius dan
fundamentalisme keagamaan menjelma sedemikian pekat menjadi mesin jagal paling
efektif dalam peradaban. Kepekatan itu datang dari beragam alasan dan
musabab. Arogansi merupakan bunga terakhir dari fundamentalisme keagamaan
yang berakar pada ketidakwarasan.
Betapapun agama hadir sebagai
salah satu institusi terpenting dalam sejarah, kehidupan yang bersimbah darah
akibat kesombongan dan kepongahan yang muncrat darinya telah menjadikannya
sebagai salah satu ruang benturan dan konflik paling laris sepanjang zaman.
Di sisi cerita, kekejian dan kebrutalan sosial atas nama agama akan berhadapan
dengan jenis kejahatan impunitas baru bernama pembungkaman kemanusiaan atas
nama Tuhan.
Tidak sulit untuk menemukan
bagaimana orang yang menganggap berjiwa suci secara tidak segan mendirikan
tiang doa dan pujian kepada Tuhan dengan mempreteli kebebasan milik orang
lain. Mereka tidak saja menyempitkan substansi Tuhan, mungkin Tuhan tidak memusingkannya
juga, tetapi secara sadis menyebabkan kematian orang lain hanya karena
sikap-sikap keagamaan yang sempit. Mungkin kita tidak pernah percaya, agama ialah
alasan paling kuat dari kemunculan pembantaian massal di sekujur tubuh
sejarah.
Mitos kematian suci
Kita dapat menghitung rentetan genosida
yang terekam dalam sejarah kehidupan manusia yang pendek ini. Pembersihan
etnik berawal dari kebencian religius. Kekejian-kekejian itu bisa dengan mudah
dioperasikan karena hanya kejahatan jenis itu memiliki pendasaran paling
kuat. Hanya ada dua ungkapan yang beredar di seputar kejahatan tersebut. Jika
karena agama dan Tuhan seseorang atau sekelompok orang membunuh orang lain,
tindakan itu disebut pembunuhan suci. Ketika ada orang kehilangan nyawa saat
menjalankan misi pemusnahan hidup orang lain, itu disebut dengan kematian
suci.
Bagaimanapun, penjelajahan
akademis dan pengalaman sosial telah sekian lama menyodorkan kesimpulan berbahaya
bahwa agama memiliki kecenderungan mempromosikan kekerasan. Memang tidak bisa
dibantah bahwa dengan satu atau dua alasan yang sahih, apa yang berhubungan dengan
Tuhan (agama) telah menguras energi manusia sepanjang sejarah. Entah untuk mempertahankan
keteguhan dalam membela warna-warni hati manusia memuji Sang Maha Ada. Atau,
entah untuk memupuk arogansi yang berdiri di atas niat jahat mengurung dunia
dalam kerangkeng kebenaran tunggal yang dipaksakan sebagian orang. Tragisnya,
untuk maksud yang kedua itu, sebagian orang telah membuat dunia menggelepar
dalam sketsa kerusakan dan aroma kematian yang meracuni kesadaran murni
kehidupan.
Koridor kemanusiaan
Sebetulnya, jika ditarik secara sederhana
sebab seseorang atau sekelompok orang menyebut diri dengan bangga sebagai
makhluk religius, semuanya berawal dari kerelaan Allah untuk turun dari orbit
maha tinggi dan berbicara dengan manusia. Dengan itu, tidak terbantahkan, segala
kebenaran hanya ada pada Allah saja. Manusia hanya kecipratan selarik cahaya
kebenaran itu tanpa ada jaminan mutlak dia sepintas menjadi kebenaran. Jika kita
hanya kecipratan gelombang cahaya kebenaran, lalu apakah kita punya cukup
alasan untuk mengadili seseorang sebagai benar dan salah dalam memuji Allah.
Natal dengan ingatan akan
iktikad baik Allah yang mau datang dan menjadi salah satu anggota keluarga besar
umat manusia niscaya menantang pilihan-pilihan nilai moral sosial di tengah
kehidupan bersama. Salah satu karakter penting dari keluarga ialah kesediaan dan
kerelaan setiap penghuninya menerima keragaman di dalamnya. Natal menitipkan
panggilan religius bagi setiap orang yang berkenan untuk membangun kehidupan (keindonesiaan)
sebagai koridor kemanusiaan. Konkretnya, Indonesia akan bergerak menjadi
komunitas (keluarga) sosial dan politik yang beradab tatkala keragaman
mendapatkan penghargaan dan sesama warga yang kecil mendapatkan perlindungan negara
dan sesamanya lebih besar dan kuat.
Salam
damai Natal. Damai bagi Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar