Etika,
Hukum, dan Transisi Politik
Siswono Yudo Husodo ; Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Universitas
Pancasila
|
KOMPAS,
26 Desember 2014
DALAM
tahun-tahun belakangan ini, muncul
fenomena memprihatinkan di panggung
politik Tanah Air. Masifnya politik uang di pemilihan umum kepala
daerah (pilkada) dan pemilu legislatif, penyuapan Ketua Mahkamah Konstitusi
untuk menentukan pemenang pilkada, kampanye hitam dan fitnah di kampanye
pemilu presiden, DPR yang belum bekerja efektif sejak dilantik 1 Oktober
2014, serta sidang-sidang DPR yang diwarnai perkelahian. Berkembang pula
sarkasme politik dalam ungkapan kasar yang tidak bermutu seperti kata sinting
yang merendahkan lawan politiknya.
Ada
perkelahian di markas parpol besar dan langkah-langkah manipulatif
memobilisasi dukungan lewat intimidasi serta politik uang di musyawarah
nasional partai. Bekas narapidana korupsi jadi ketua panitia munas dan
ditunjuk sebagai wakil ketua umum partai besar; wakil ketua DPRD provinsi
adalah seseorang yang baru saja keluar dari penjara; serta istri bupati
terpilih menggantikan suaminya yang terpidana korupsi. Sepertinya tak ada
lagi sanksi sosial.
Etika politik
Idealisme
politik berupa pengabdian untuk negara bangsa dan rakyat terbenam oleh maksud
politik yang semata-mata mengejar kekuasaan, menguasai sumber daya, dan
bersifat machiavelistis, tujuan menghalalkan segala cara.
Ada pula
revisi UU MD3 yang berumur belum sampai satu tahun. Menyedihkan, DPR banyak
membuat UU berdasarkan kepentingan politik jangka pendek untuk keuntungan
kelompok. Akibatnya tidak sedikit UU yang berumur singkat. Praktis setiap
lima tahun kita memperbarui UU Pemilu, UU Pilpres, UU Pilkada, UU MD3, Tata
Tertib DPR, dan lain-lain yang menyita waktu, dana, dan energi.
Sebuah
UU seharusnyalah dirancang sebagai perbaikan sistem bernegara dan berbangsa
serta dapat berlaku untuk jangka waktu lama, bukan yang baik bagi kelompok
yang berkuasa dalam jangkauan waktu yang pendek. Sistem politik harus
dibangun secara sistemis dan bergenerasi. Etika kekuasaan politik pada
tingkat paling tinggi menyatakan adalah tak patut apabila pemegang kekuasaan
membuat aturan yang menguntungkan dirinya dan merugikan orang lain.
Etika
politik selayaknyalah dipromosikan institusi-institusi politik utama—seperti
DPR, parpol, MPR, DPD—karena politik juga dipahami sebagai etik mengabdi
kepada negara dan bangsa. Etika memang lebih halus daripada hukum. Orang yang
melanggar hukum pasti melanggar etika, tetapi melanggar etika belum tentu
melanggar hukum.
Kita
sedang menyaksikan kemerosotan etika politik amat dalam dan itulah yang
membuat potret politik nasional jadi meresahkan. Tak terhitung pejabat
negara, menteri, anggota DPR, DPRD, gubernur, bupati, dan wali kota yang
tertangkap korupsi.
Aktivitas
korupsi juga tak mengenal batas tabu. Ada wakil bendahara partai divonis
kasus korupsi Al Quran. Sulit membayangkan ada Menteri Agama yang seharusnya
menegakkan amar makruf nahi mungkar ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus
korupsi.
Menjelang
pemilu legislatif lalu, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada
merilis hasil penelitian korupsi parpol 2009-2014 di tingkat nasional.
Ditemukan dugaan dan praktik korupsi terjadi di semua parpol yang punya wakil
di parlemen atau kabinet. Sungguh kasihan negara dan bangsa ini. Apa yang
salah?
Kalau
kekuasaan politik dipegang orang-orang yang korup dan berperilaku menyimpang,
kita sedang mengalami krisis kepemimpinan politik. Banyak politikus yang
tersangkut masalah hukum berusaha membelokkan isu menjadi masalah politik.
Ada juga yang habis-habisan mempertahankan jabatan politiknya agar terlindung
dari jerat hukum. Aparat penegak hukum, polisi, jaksa, dan KPK memang tidak
mudah menangani pelanggaran hukum yang dilakukan politisi karena politisi
umumnya memiliki kepercayaan diri yang besar, pandai berargumentasi, dan
punya pendukung yang dapat menimbulkan kerawanan politik.
Tanpa sanksi sosial
Di
negara-negara beradab, umumnya politisi—baik presiden, menteri, anggota
parlemen, bupati, maupun kepala daerah—jika melakukan hal-hal tak etis,
menghukum dirinya sendiri. Akhir 2012, Direktur CIA David Petraeus mundur
karena terlibat perselingkuhan. Pada 2009, mantan Presiden Korea Selatan Roh
Tae-woo mengucilkan diri dan Roh Moo-hyun bunuh diri karena malu dituduh
korupsi.
Sebaliknya,
ada hal yang sangat berbahaya berkembang
di Indonesia karena, di masyarakat kita, sanksi sosial itu seolah-olah
sudah tiada. Tidak adanya sanksi sosial pada pelanggaran atau perilaku tak
patut menyebabkan makin jauhnya
penyimpangan pada hukum, etika, dan tradisi.
Pada
masyarakat tradisional, justru sanksi sosial itu yang paling ditakuti.
Bahkan, dalam masyarakat Jawa tradisional berlaku ungkapan lewih becik mati ketimbang wirang,
’lebih baik mati daripada malu karena cemar’. Dalam kondisi budaya politik
yang demikian itu, berlaku ungkapan Inggris the bad leader beat the good leader. Pemimpin yang buruk
mengalahkan pemimpin yang baik karena pemimpin yang baik tidak mampu
melakukan hal-hal yang mampu dilakukan oleh pemimpin yang buruk. Kondisi ini
harus disadari sebagai bahaya besar untuk negara.
Kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara berjalan dengan baik memang tidak cukup diatur
hukum yang menuntun tentang yang boleh dan yang tidak. Perlu juga dituntun
oleh etika yang menuntun tentang yang
patut dan yang tidak patut. Juga penting mengikuti tradisi yang telah teruji
menjaga harmoni yang dalam masyarakat adat menjadi hukum adat.
Etika,
fatsun, proses, dan dinamika politik perlu ditingkatkan mutunya agar memberi
peluang munculnya politisi-politisi muda berbakat yang bermoral dan
berintegritas. Menjadi panggilan seluruh masyarakat Indonesia mewarnai
perkembangan politik ke depan melihat dinamika politik yang diwarnai
dekadensi moral yang sedang terjadi.
Sebagai
negara demokrasi, peran parpol amat penting dan strategis. Tidak hanya untuk
menyerap dan mengartikulasikan ide, tetapi juga menyiapkan kader-kader bangsa
untuk duduk di lembaga-lembaga politik. Kalau parpol menyiapkan hanya putra-putri
terbaik dan rakyat memilih yang
terbaik, yang duduk di lembaga-lembaga politik adalah primus inter pares,
tokoh yang terbaik di antara yang baik. Namun, kalau parpol mengabaikan merit
system, mendasarkan pada patron-client, kolusi, dan nepotisme ditambah rakyat
memilih dengan dasar transaksional,
yang duduk di lembaga-lembaga politik pastilah bukan putra-putri terbaik
bangsa.
Hukum
yang tegas, berdasarkan kebenaran dan keadilan; etika yang semakin halus dan
tradisi yang unggul akan menuntun masyarakat, termasuk para politisi, untuk
mencapai peradaban yang lebih tinggi dan dinamika serta proses politik yang
sehat.
Kehidupan
politik yang sehat akan meningkatkan
energi sosial-ekonomi masyarakat untuk membangun negara. Sebaliknya,
kehidupan politik yang tidak sehat akan menguras energi sosial-ekonomi
masyarakat seperti yang kita alami sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar