Satria
Piningit
Suwidi Tono ;
Koordinator Forum Menjadi Indonesia
|
KOMPAS,
31 Desember 2014
DALAM
pusaran arus zaman Kalatidha dan Kalabendu, ketika akal sehat diremehkan dan tata
nilai jungkir balik, alam biasanya menubuatkan candikala, pendulum menuju
keseimbangan baru. Sekalipun kondisi politik-ekonomi-sosial kisruh dan
pengap, serasah alias humus dari nilai-nilai kemanusiaan sabar menyemai benih
menjadi pohon-pohon kebajikan menjulang. Niskala ini melekat dalam kearifan
Jawa (dan universal) saat menjumpai keadaan merisaukan. Dalam perlawanan
terhadap kedangkalan hidup bermasyarakat dan bernegara, selalu muncul
pribadi-pribadi menyebal, menentang pakem bobrok, kemudian bertindak dan
memandu normanya sendiri.
Satria
Piningit, para bangsawan pikiran dan tindakan itu, tentu saja tidak lahir
seketika. Mereka umumnya menempa diri dari suasana kemelut tak berujung.
Inilah jenis pemimpin the doer: aktif memecahkan masalah dan mewujudkan
tujuan, serta peka menangkap sikap masyarakat. Jenis pemimpin semacam ini
juga mahir memengaruhi, penuh aksi, dan mudah mendapatkan kepercayaan.
Karakteristik
lain, sangat antusias mempromosikan ide, bergerak cepat, serta memiliki
keyakinan kuat memilah mana yang benar dan yang salah. Ketabahan melekat pada
prinsipnya. Jika the doer memutuskan sesuatu perlu dilakukan demi kepentingan
publik, ia akan melakukannya tanpa peduli pujian dan kecaman. Mereka
kualifikasi pemimpin yang disebut John C Maxwell mumpuni, yakni manakala
sebuah pekerjaan diselesaikan, orang-orang yang dipimpinnya mengatakan: kami
melakukannya bersama-sama.
Gelombang pertama
Berakhirnya
patronase politik Orde Baru menumbuhkan selapis pemimpin formal tipikal the doer yang menjanjikan meskipun
bagian terbesarnya tetap bercorak predatorik-koruptif. Mereka gencar
menginisiasi partisipasi publik dalam aneka best practices sekaligus menjentikkan virus pemberdayaan sebagai
sumbu perubahan.
Kecambah
kepemimpinan otentik gelombang pertama muncul awal tahun 2000-an di sebagian
penjuru negeri, di antaranya Jusuf Serang Kasim (Tarakan, Kalimantan Timur),
Masriadi Martunus (Tanah Datar, Sumatera Barat), Untung Wiyono (Sragen, Jawa
Tengah), dan Rustriningsih (Kebumen, Jawa Tengah). Mereka menginspirasi para
kepala daerah lain untuk mengambil-oper, mengadopsi program, dan
menyempurnakannya. Sragen tahun 2002 adalah daerah pertama yang menerapkan
inovasi pelayanan satu atap (one stop services) berbasis teknologi informasi
dan menggiatkan pinjaman bergulir usaha kecil-menengah dengan penjamin
pemerintah daerah.
Generasi
kedua pemimpin daerah, seperti Joko Widodo (Solo, Jawa Tengah), Tri
Rismaharini (Surabaya, Jawa Timur), Nurdin Abdullah (Bantaeng, Sulawesi
Selatan), Azwar Anas (Banyuwangi, Jawa Timur), menggebrak dengan pertaruhan
risiko besar melawan birokrasi gemuk, lamban, dan politik korup. Sejajar
dengan tingginya harapan publik, tokoh-tokoh itu beroleh simpati masyarakat
(public darling) dan media (media darling). Otonomi dan pers juga berperan besar
mendorong keberhasilan politis daerah dalam ”melahirkan” Jokowi sebagai
produk ”massa” dan daerah, menyisihkan bangsawan asali (darah biru),
bangsawan pemikir, dan elite militer.
Para
pemimpin pilihan ”massa” ini ikhlas menunda kenikmatan (delayed gratification),
konsisten menjadi teladan dengan memberi suntikan gairah, energi, dan nurani
serta punya kemampuan untuk terus bertumbuh dan belajar menjadi pemimpin
sejati. Merujuk Umar Kayam (Sang Priyayi, 1992), merekalah priayi dalam makna
sesungguhnya: yaitu pribadi-pribadi yang merangkak dari bawah dan fokus
mendarmabaktikan hidupnya di jalan pengabdian.
”Beyond material”
Transformasi
Satria Piningit mencapai kematangan akan ditentukan kesanggupannya mengelola
hal-hal yang bersifat beyond material pada urusan peradaban dan lingkungan.
Yang pertama bersangkut paut dengan pendidikan dan kebudayaan, sedangkan yang
kedua pada kemampuan membangun basis creative capital untuk mendorong
kapasitas bangsa mencapai batas tertinggi kemampuannya.
Pendidikan
dan kebudayaan tak sebatas menyiapkan peta jalan menuju bangsa
berkepribadian, keseriusan menangani rekayasa pendidikan formal, dan
internalisasi perubahan paradigma. Pendidikan semestinya mengantarkan pada
jalan pembebasan, kemampuan untuk terus-menerus memupuk tugas-tugas hakiki
manusia pada setiap generasi.
Penghormatan
atas manusia dan kemanusiaan serta kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat
beserta hak-hak kemajuannya membutuhkan pembuktian setelah sekian lama negara
lalai dan membiarkan pelanggaran HAM terus berulang. Pemimpin yang meremehkan
martabat rakyat dan defisit belas kasih tidak akan pernah mendapatkan
legasinya.
Di
lapangan kompetisi kemajuan, sekurang-kurangnya diperlukan 100.000 doktor
(sekarang baru terdapat sekitar 23.000 doktor) dengan basis riset cemerlang
untuk membangkitkan gairah inovasi dan kreasi. Tujuannya untuk mendorong
negara ke status innovation driven sekaligus mengikis mentalitas bangsa
konsumen. Lapangan kreativitas tidak mungkin tumbuh berkembang tanpa
memperhatikan kecukupan manusia kreatif dan cerdas untuk mengarungi dan
menghadapi geoekonomi global.
Pemberantasan
korupsi juga tidak mungkin terus-menerus melalui pendekatan ad hoc, menguras
energi, riuh rendah, tetapi tidak juga mengurangi kualitas dan kuantitasnya.
Perkara ini adalah pertaruhan besar terhadap hidup-mati peradaban, di tengah
pengingkaran kerusakan parah mentalitas aparat dan birokrat.
Pemimpin
sejati tahu benar tugas esensialnya, yakni membangun persenyawaan hakikat
antara cara dan tujuan. Mementingkan kelangsungan daripada ketergesaan,
mengutamakan kedalaman struktur ketimbang terpukau standar-standar fisik dan
numerik simplistis. Lebih memuliakan rakyat ketimbang penghormatan dan pesona
popularitas.
Pemimpin
paripurna memahami jawaban kerinduan rakyatnya untuk bebas dari tirani
kekuasaan dan belenggu kapital yang terus melanggengkan kemiskinan struktural
pada bagian terbesar rakyat. Pemimpin ini cakap menempatkan harga diri
rakyatnya agar tak terkepung keserakahan modal dan permainan bengis
kekuasaan.
Penyair
besar Kahlil Gibran mengejawantahkan cintanya pada kemanusiaan dan kehidupan
lewat puisi. Pemimpin besar berpuisi melalui perbuatan-perbuatan besar yang
menerbitkan harapan sembari mengenyahkan beban utang kemanusiaan dan
peradaban, baik yang diperbuatnya maupun oleh rezim-rezim sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar