Pendidikan Berbasis
Pembangunan Mental-Spiritual
Abdul Syukur ;
Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Negeri Jakarta (UNJ) dan Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana UNJ
|
KOMPAS,
30 Desember 2014
RAKYAT Indonesia sedang
menanti Presiden Jokowi untuk memenuhi janji kampanye melakukan revolusi
mental. Seluruh menteri Kabinet Kerja sudah ditugaskan untuk turut serta
merealisasikan janji kampanye sesuai bidang kerjanya masing-masing. Tulisan
ini membahas peran yang dapat dilakukan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Revolusi mental dalam
konteks program kerja kependidikan didasarkan pada evaluasi terhadap
kebijakan pendidikan sebelumnya yang menyebabkan rakyat Indonesia kehilangan
jati diri sebagai satu bangsa bermartabat dan terhormat. Ini dampak dari
sistem pendidikan nasional pemerintahan terdahulu yang terfokus pada
pencapaian kompetensi kognitif.
Melalui tahapan
pembangunan lima tahun yang dilaksanakan secara gradual sejak tahun 1969,
pemerintah terdahulu menyiapkan generasi Indonesia sebagai warga negara
industri sehingga visi kurikulum pendidikan nasional dirumuskan untuk
menghasilkan lulusan yang mempunyai kecerdasan intelektual tinggi dalam bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Tingkat kecerdasan intelektual diukur
melalui teori kecerdasan intelligence quotients (IQ), yakni pembagian skor
dalam matematika, logika matematika, dan bahasa dengan umur kalender.
Popularitas tes IQ di
Tanah Air pada dekade 1980-an menyebabkan pencapaian hasil tesnya menjadi
kebanggaan tersendiri. Sejalan dengan cara pandang ini, standar kurikulum
pendidikan nasional memberikan jam pelajaran yang sangat banyak untuk mata
pelajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam karena dinilai dapat membawa
bangsa Indonesia sebagai warga negara industri maju.
Sistem ini mengabaikan
pendidikan berbasis kebudayaan yang dirintis Menteri Pendidikan, Pengajaran,
dan Kebudayaan pertama Ki Hajar Dewantoro, dan ditetapkan UU No 4 Tahun 1950
ataupun UU No 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pengajaran dan Pendidikan
Nasional.
Tercerabut
akar budaya
Pengabaian ini mencabut
generasi muda yang terdidik dari akar budaya bangsa Indonesia. Mereka adalah
generasi baru yang tidak mewarisi nilai-nilai kebajikan leluhurnya. Contoh
sederhana adalah menghilangnya nilai-nilai kegotongroyongan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Hingga ke tingkat desa
sekalipun, kegotongroyongan diganti dengan upah kerja. Pendorong perubahan
adalah pemerintah terdahulu melalui program kerja padat karya, yakni
melibatkan masyarakat secara luas berdasarkan sistem upah kerja.
Satu dekade terakhir,
penulis, dalam rangka tridharma perguruan tinggi, sering mendengar
keluh-kesah para kepala desa ataupun lurah yang kesulitan mengerahkan
warganya bekerja sosial berdasarkan nilai-nilai kegotongroyongan.
Berbagai contoh hilangnya
kepedulian sosial dan sikap religiositas sebagai jati diri bangsa Indonesia
dapat kita saksikan melalui media cetak dan elektronik. Banyak orang terdidik
yang melakukan perbuatan tidak terhormat, sedangkan elite politik tanpa ragu
memperlihatkan sikap mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan
orang banyak.
Para pelajar dan mahasiswa
tanpa sungkan mempertontonkan tawuran ataupun demo anarki. Sementara pimpinan
sekolah ataupun kampus tidak berdaya mencegahnya. Kita dapat saja berkilah
bahwa demo anarki mahasiswa kerap disusupi ”penumpang gelap bernama
provokator” dengan kepentingan politik tertentu, tetapi ini adalah cerminan
pembenaran terhadap ketidaksediaan kita mengakui adanya kesalahan dalam
sistem pendidikan nasional.
Wajar saja apabila banyak
orangtua meragukan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk menciptakan
anak-anaknya menjadi manusia berkualitas, baik perilaku maupun kemampuannya.
Maka, banyak orangtua mengirimkan anak-anak mereka bersekolah di luar negeri.
Tinggal
kenangan
Predikat sebagai
masyarakat religius dan sosial yang pernah disandang bangsa Indonesia menjadi
kenangan yang sulit dipahami generasi muda karena sistem pendidikan nasional
tidak menjadikannya sebagai prioritas dari target kompetensi lulusan.
Kesalahan sistemik ini disadari konseptor Kurikulum 2013 sehingga berubahlah
substansi kurikulum yang semula terfokus pada kemampuan kognitif menjadi
kemampuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Keterpaduan itu dapat
dilihat pada empat kompetensi inti seluruh mata pelajaran dalam Kurikulum
2013. Kompetensi sikap religius menjadi kompetensi pertama dan sikap sosial
menjadi kompetensi kedua.
Namun, kedudukan terhormat
ini tidak berbanding lurus karena penghargaan tertinggi pemerintah masih
tercurah pada kemampuan kognitif yang dalam Kurikulum 2013 merupakan
kompetensi inti ketiga. Dengan demikian, ukuran keberhasilan seorang pendidik
tidak berubah, yakni pencapaian kompetensi kognitif.
Kampanye revolusi mental
memberikan harapan baru tersusunnya sistem pendidikan berbasis
mental-spiritual yang dapat mengembalikan jati diri bangsa Indonesia sebagai
bangsa religius yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi.
Diperlukan penciptaan
sistem penghargaan yang membanggakan terhadap pencapaian kompetensi religius
dan sosial dalam kegiatan belajar dan mengajar yang dilakukan para guru di
ruang kelas ataupun kepala sekolah dalam mengelola lingkungan sekolahnya.
Peserta didik yang
memperoleh prestasi kompetensi religius dan sosial juga harus mendapatkan
penghargaan yang membanggakan.
Saat ini kita sama-sama
mengetahui bahwa kemajuan negara-negara industri maju dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi juga diimbangi dengan kemajuan di bidang humaniora
dan ilmu-ilmu sosial dan budaya sehingga jati diri mereka sebagai bangsa
semakin kuat sebagaimana diperlihatkan bangsa-bangsa maju, seperti Amerika,
Jerman, dan Jepang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar