Normalisasi
Hubungan Kuba-AS
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang
Diplomasi,
Universitas Paramadina
|
KORAN
SINDO, 24 Desember 2014
Pidato
Raul Castro dan Barack Obama untuk melakukan normalisasi hubungan diplomatik
mungkin adalah kado Natal terbaik tahun ini untuk masyarakat Kuba dan Amerika
Serikat, yang selama ini terpisah oleh tembok politik selama lebih dari lima
puluh tahun.
Setelah
runtuhnya tembok Berlin pada 1989, pidato dua kepala negara secara bersama
pada Rabu lalu untuk memperbarui hubungan politik kedua negara adalah
peristiwa politik penting yang menandai rekonsiliasi dua ideologi:
kapitalisme dan komunisme. Peran dari Paus Fransiskus dan pemerintah Kanada
sangat besar dalam mewujudkan upaya rekonsiliasi ini.
Peran
ini sendiri bukanlah sebuah usaha pertama kali yang dilakukan seorang Paus
dalam sejarah Gereja Katolik. Paus Yohanes Paulus II juga pernah memiliki
hasrat yang sama ketika ia mengunjungi Kuba pada 1998, namun belum berhasil.
Terlepas dari sangat tertutupnya proses negosiasi di antara kedua negara dan
para pihak lain yang terkait, kita dapat mengambil pelajaran penting dari
peristiwa diplomatik fenomenal dalam abad ini.
Pertama,
sisi teknis penyampaian berita rekonsiliasi yang dilakukan kedua kepala
negara yang tidak menimbulkan kesan satu negara menang terhadap negara lain
dan sebaliknya. Penyampaian pidato yang bersamaan ini mungkin pertama kali
terjadi dalam catatan saya dalam perjalanan diplomasi.
Waktu
menjadi penting untuk menandakan bahwa Amerika dan Kuba tetap dapat menjaga
integritas mereka di mata penduduknya sebagai sebuah negara yang berdaulat.
Penyampaian berita dalam waktu yang bersamaan menyingkirkan debat yang tidak
produktif tentang siapa yang lebih diuntungkan dari peristiwa tersebut.
Kedua,
kredibilitas dan legitimasi yang tinggi dari pemerintah Vatikan dan Kanada
yang berperan sebagai fasilitator dan penghubung dalam mengupayakan perbaikan
hubungan baik kedua negara ini. Tanpa kredibilitas yang tinggi maka niat baik
dari kedua pemerintah itu mungkin tidak dapat tersalurkan.
Sebaliknya,
banyak negara atau tokoh yang memiliki kredibilitas dan integritas tinggi
namun belum tentu niat mereka untuk membuat kedua negara ini rujuk diterima.
Di sini kita melihat faktor lain, yaitu legitimasi. Legitimasi dapat kita
definisikan dengan sederhana sebagai sebuah kepemimpinan, keputusan, atau
kebijaksanaan yang dapat diterima oleh pihak lain dengan baik.
Kita dapat melihat legitimasi dari beberapa sudut. Dari sisi politik,
legitimasi terkait dengan otoritas pemimpin. Sistem politik dalam sistem
pemerintahan kerajaan/ feodal didominasi oleh raja sebagai penerima mandat
dari Tuhan untuk memerintah. Dalam pemerintahan Jerman di bawah Hitler,
legitimasi sebagai pemimpin dibangun lewat ideologi rasialis dan teror.
Sementara itu pada pasca Perang
Dunia II, pemerintahan mendapat legitimasi dari sejauh mana mereka memenuhi
prinsip-prinsip negara demokratis. Kita dapat memperdebatkan dari mana
sumber-sumber legitimasi diperoleh namun yang pasti legitimasi mengalami
pasang-surut sesuai zaman dan tidak ada legitimasi yang dapat kukuh bertahan
selamanya.
Uni Soviet dan Amerika Serikat pernah menerima legitimasi negara-negara
dunia karena sama-sama menjadi kiblat ideologis negaranegara yang berpaham sosialisme
dan kapitalisme. Pada waktu itu, sulit bagi negaranegara lain untuk tidak
mengikuti apa yang mereka inginkan. Namun demikian, legitimasi tersebut
runtuh seiring dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua negara.
Legitimasi pemerintahan Vatikan juga sebenarnya tergerus dengan kasus
korupsi dan pelecehan seksual di dalam hierarki gereja. Peran-peran
kemanusiaan yang dilakukan, baik oleh para biarawan maupun kaum awam, belum
mampu mengangkat legitimasi gereja dan ini ditandai dengan semakin menurunnya
frekuensi masyarakat Barat untuk hadir dalam upacara keagamaan.
Terpilihnya Paus Fransiskus tampaknya adalah titik balik dari krisis
legitimasi tersebut. Ia membangun kembali citra gereja sebagai penjaga moral
dan demokrasi dengan melakukan revolusi mental di dalam dan di luar gereja.
Di dalam gereja, Paus mereformasi birokrasi gereja, menegur dan memecat
biarawan yang korupsi.
Paus Fransiskus juga membuka penyelidikan kasus-kasus pelecehan seksual
dan tidak menghalangi kaum gay dalam beribadah. Sementara ke luar, ia membela
agama Islam sebagai agama yang membawa perdamaian, membuka pembicaraan dengan
Suriah dan Irak, dan negara-negara lain yang sedang mengalami konflik.
Tidak sedikit yang menentang gerakan reformasi yang dilakukannya, namun
ia tetap bergeming dan melanjutkan proses tersebut. Terakhir, ia mengkritik
birokrat gereja yang sering bergunjing. Faktor ketiga yang memuluskan
perbaikan hubungan kedua negara adalah dinamika politik internal. Setelah
runtuhnya Uni Soviet, Kuba dapat bertahan dengan ideologi sosialisnya
walaupun tidak mudah.
Kuba harus melepaskan perlahan-lahan kontrol negara atas beberapa
aktivitas ekonomi dalam pasar terutama yang terkait dengan sektor pariwisata,
kedokteran, dan jasa. Contoh, di Kuba, sopir taksi adalah pegawai
pemerintahan dan pekerjaan ini adalah bagian yang diliberalisasi sejak 2011.
Kuba membutuhkan investasi asing untuk membiayai pertumbuhan ekonominya
dan itu dapat dilakukan apabila blokade ekonomi terhadapnya dapat dilonggarkan.
Perbaikan hubungan dengan AS tentu akan mendorong negara-negara lain di Eropa
untuk melonggarkan blokade ekonominya dan mendorong turis datang.
Di AS, keputusan untuk melakukan perbaikan hubungan dengan Kuba terjadi
pada saat hasil pemilu sela (midterm election)
keluar di mana kubu Republik menguasai mayoritas kursi. Banyak analis yang
mengatakan bahwa perbaikan hubungan dengan Kuba ini adalah salah satu upaya
Presiden Obama sebagai wakil Partai Demokrat untuk mengambil hati para
pemilih dari keturunan Amerika Latin yang mulai goyah dan berbalik mendukung
Republikan.
Apabila hasil pemilu sela ini berbeda, banyak yang pesimis bahwa upaya
rekonsiliasi ini dapat terjadi. Kita dapat berspekulasi seperti itu, namun
sebenarnya proses negosiasi dengan Kuba sendiri sudah berlangsung lama
sebelum hasil pemilu sela di AS tersebut keluar.
Artinya bahwa ada satu kesungguhan dari awal bahwa AS ingin
mengembalikan legitimasinya sebagai negara patriotik, di mana AS berupaya
membawa pulang para patriot-patriot Amerika yang ditahan di Kuba sebagai
tahanan politik sambil tetap menjaga kredibilitasnya sebagai negara yang
menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Bagi Indonesia, ada sejumlah hal yang
menarik sebagai catatan.
Pertama, di kawasan Asia masih ada sejumlah negara yang bersikukuh
mempertahankan ideologi komunisme yakni China dan Korea Utara. Meskipun
ideologi itu sendiri tidak lagi muncul sebagai pemecah hubungan, negara-negara
kawasan Asia secara tidak langsung selalu diarahkan untuk mengungkapkan
bentuk dukungan atau penolakan terhadap kedua negara tersebut.
Dengan dinamika diplomasi di benua Amerika, arah penguatan diplomasi
menjadi makin penting dalam menghadapi negara-negara yang paling “berbeda”
sekalipun. Dalam konteks Asia, kita tidak boleh gamang meskipun harus
berseberangan dengan AS dan China.
Kedua, Indonesia patut lebih percaya diri karena punya kredibilitas
sebagai negara demokrasi terbesar kedua di Asia setelah India dan mayoritas
penduduknya yang muslim. Kredibilitas tersebut telah mengangkat citra
Indonesia di kawasan Asia melalui ASEAN dan sebenarnya berpotensi juga
mengangkat Indonesia ke tingkat internasional.
Namun, kredibilitas tersebut harus diimbangi dengan memperkuat
legitimasi yang memadai dalam hubungan internasional karena sejumlah kasus
domestik pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan berlabel agama, dan
kurangnya toleransi dalam kehidupan beragama.
Tugas Presiden Joko Widodo adalah memperkuat kredibilitas Indonesia
sebagai negara demokrasi sehingga Indonesia juga punya legitimasi kuat di
mata dunia. Pemerintahan Joko Widodo perlu menjaga relasi berimbang baik
dengan AS maupun China dan Pemerintah juga harus mampu meyakinkan bahwa
kemajuan Indonesia adalah juga kemajuan negara-negara lain, khususnya di
Asia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar