2015
Konsolidasi Kesadaran
Asep Salahudin ; Dekan Fakultas Syariah IAILM Pesantren
Suryalaya Tasikmalaya
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Desember 2014
BETUL apa yang dibilang Heraclitus,
waktu mengalir tak ubahnya air. Panta
rhei kai uden menei. “Semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang
tinggal tetap.“ Filsuf yang dalam tulisan-tulisannya banyak mencela Homerus,
Arkhilokhos, Hesiodos, Phythagoras, Xenophanes dan Hekatios tentu tidak
sedang bermain kata-kata tapi mendedah kenyataan tentang hakikat waktu yang
berada di hadapan setiap kita.Waktu yang menyatu dan menjadi bagian dari
pengalaman keseharian walaupun sering kali terlupakan keberadaannya.Waktu
sebagai sesuatu yang bersifat substansi yang berdiri sendiri (Newton), relasi
antara berbagai entitas (Einstein) dan hal yang amat penting (Bunge).
Tak terasa kita berada di
penghujung 2014. Sebentar lagi memasuki fajar baru 2015. Tahun baru dengan
beribu kemungkinan dan kesimpulan akhir yang tidak mustahil jauh dari
perkiraan. Ada banyak persoalan yang belum selesai, tidak sedikit juga ihwal
yang kita anggap telah dikerjakan dengan tuntas.
Penghujung tahun mengandaikan
kita melakukan renungan baik dalam konteks personal, sosial, atau kebangsaan.
Renungan yang diharapkan menjadi pintu masuk untuk meraih `kesadaran' yang
dapat mengantarkan kita bisa menemukan wujudiah eksistensialnya, menjadi
paripurna.
Saya menjadi paham betapa
pentingnya `kesadaran' itu, sehingga tema inilah yang tempo hari menjadi hal
yang pertama kali dipromosikan para nabi dan kaum sufi (manusia suci). Tema
itu juga yang mendominasi pemikiran para filsuf sepanjang masa.
Nabi menjangkarkan kesadaran itu
pada kekuatan haluan ilahiah berupa agama dengan semangat pencarian kebenaran
yang tak mengenal batas (hanif) dan kepasrahan total kepada Sang Kuasa
(Islam), kaum pemikir melandaskannya pada kekuatan akal (Descartes),
keteguhan memegang moralitas (Kant), cinta kasih (Levinas), kebersamaan
(Martin Buber) atau pada pengalaman menggetarkan ketika manusia bisa bersatu
dengan Tuhannya, manunggaling Kaulo Gusti (Syekh Siti Jennar).
Hanya dalam kesadaran, manusia
berhak menahbiskan dirinya sebagai manusia. Dalam kesadaran manusia
dinobatkan sebagai makhluk berpikir (animal
rationale), makhluk berbahasa (animal
loquens), makhluk petanda (animal
symbolicum) kata Ernst Cassirer, atau makhluk yang berkehendak kata Mains
de Biran.
Kesadaran yang salah satunya
dapat kita raih ketika kita kuasa merenungkan makna peralihan waktu, dalam
pergantian tahun. Kata Muhammad SAW, “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali
dia berseru, “Putra putri Adam, aku
waktu, aku ciptaan baru, yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku
tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat“. Dalam firman Tuhan
disebutnya, “Waktu itu datang
tiba-tiba, Tidak bisa dimajukan, tak pula mampu diundurkan“.
Melampaui tahun politik
Tentu momen penting tahun 2014
yang tidak terlupakan dalam aras kebangsaan ialah hiruk-pikuk penyelenggaraan
pileg dan pilpres. Ada banyak ramalan tentang akan terjadinya anarkisme dalam
pesta demokrasi itu. Namun, sebagai bangsa, kita telah menunjukkan
kedewasaan. Semua bisa berlangsung damai tanpa gejolak yang berarti.
Tentu ada pemenang dan ada yang
belum dapat kesempatan. Yang menang kita harapkan tidak jumawa dan yang kalah
bisa menghikmati kekalahannya. Dalam sebuah pertandingan tidak mungkin menang
semuanya, dan mustahil kalah seluruhnya.
Politik zero sum game: permainan menang kalah mutlak dengan
mengoperasikan tujuan menghalalkan segala cara sekaligus mengamini
Machieveli' “Mereka yang kalah menjadi lebih vokal daripada para calon
pemenang“ bukan hanya tidak perlu, melainkan juga harus lekas disingkirkan
dari iklim perpolitikan kita.
Pemenang harus membuktikan
seluruh janji politiknya selama kampanye, harus memberikan kepastian bahwa
mereka bekerja untuk khalayak. Jokowi dan JK tidak sekadar dicatat pernah
menjadi presiden dan wakil presiden tapi harus tampil sebagai `negarawan', m
enjadi pemimpin dari dua ratus juta lebih penduduk negeri kepulauan.
Kekeliruan pemimpin sebelumnya yang hanya sibuk curhat dan pencitraan harus
dihentikan dengan cara menunjukkan keseriusan bekerja.
Mereka yang kalah tentu masih
banyak kiprah yang dapat diperankan untuk bersama-sama memajukan negeri ini
sambil tetap merawat harapan `kemenangan' di hari depan. Suksesi kepemimpinan
haruslah dilakukan melalui cara-cara konstitusional, lewat pemilihan umum.
Biar kelak rakyat dengan kearifannya sendiri menjatuhkan pilihan siapa yang
layak menjadi pemimpin mereka. Mereka punya catatan sendiri tentang setiap
tokoh yang tengah berkontestasi.
Politik perkauman
Harus juga dicatat dan
diharapkan bahwa hal itu tidak terjadi di tahun-tahun mendatang. Tahun 2014
ditandai dengan menjamurnya kelompok keagamaan berhaluan puritan yang
mangaksentuasikan keyakinannya di ruang publik bukan hanya melakukan amar maruf nahyil munkar dalam
perspektifnya sendiri namun juga melakukan `nikah siri' dengan partai
politik.
Tentu yang paling kentara dan
mendapat liputan media ialah artikulasi politik keagamaan di DKI yang
dikomandoi Front Pembela Islam pimpinan Habieb Rizeq yang mendesak di
batalkannya pelantikan Gubernur Ahok dan kemudian berujung pada klaim
gubernur tandingan.
Garis keagamaan model FPI
seperti itu dalam konteks Islam Nusantara bukan hanya tidak relevan melainkan
juga sejatinya berseberangan dengan nilai nilai universal agama itu sendiri
yang sangat menjunjung tinggi keragaman, memuliakan sikap lapang, dan memberikan
penghargaan tinggi terhadap perbedaan pilihan mazhab dan agama.
Para penyebar Islam pertama di
bumi Nusantara telah memberikan teladan cukup elok bagaimana beragama tanpa
harus mencaci maki, melakukan penghayatan tanpa menganggap liyan keliru bahkan jauh lebih dari
itu dengan kreatif memuncul kan wajah agama yang bisa beradaptasi dengan
budaya lokal yang dalam bahasa antropologi disebut akulturasi.
Manusia pergerakan juga telah
menampilkan contoh elok, agama yang mereka yakini justru di jadikan modal
sosial untuk se makin mengukuhkan nasional isme. Keindonesiaan dan agama
tidak mereka pertentangkan dalam garis dikoto mik tapi justru di carikan
jalan keluarnya dalam wujud `titik temu' yang kita sebut Pancasila.
Sejarah mencatat bagaimana SDI,
SI, Muhamadiyah, Nahdlatul Ulama, Persis, mereka pada masa pergerakan
memosisikan agama sebagai kekuatan ideologis untuk mengusir kaum penjajah.
Dan setelah kemerdekaan itu
diproklamasikan Bung Karno dan Hatta semua ormas dan tokoh agama itu
bahu-membahu satu sama lain dengan caranya masingmasing bekerja untuk
mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan.
Soekarno menyampaikan pidatonya
pada 1 Juni 1945 sangat menarik, “Untuk
pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya
pun adalah orang Islam --maaf beribu-ribu maaf, keislaman jauh belum
sempurna--tetapi kalau Saudara-Saudara membuka saya punya dada, dan melihat
saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tak lain, tidak bukan, hati Islam. Dan
hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam
permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, juga
keselamatan agama yaitu dengan jalan pembicaraan atau pun permusyawaratan di
dalam Badan Perwakilan rakyat.“
Agenda 2015
Kekeliruan-kekeliruan di 2014
tidak terulang lagi. Tahun 2015 ditekadkan menjadi tahun-tahun yang jauh
lebih bagus. Tahun yang menjadi awal pembuktian bahwa kita sebagai bangsa
memiliki martabat luhur baik di bidang sosial, politik, ekonomi, atau
kebudayaan.
Di bawah
kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah saatnya bekerja, bekerja, dan
bekerja. Program unggulan yang meliputi kepastian kehadiran negara sebagai
pelayan, mewujudkan kemandirian, memperteguh kebinekaan, meningkatkan kualitas
dan produktivitas rakyat, membangun dari pinggiran, revolusi mental,
memberikan kepastian hukum serta mengembalikan Indonesia sebagai negara
maritim bukan hanya wacana tapi harus lekas dibuktikan dalam kehidupan nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar