Laporan Akhir Tahun
Saat AS Diguncang
Protes Rasial
|
KOMPAS, 29 Desember 2014
SEORANG pria kulit hitam tampak berbicara dengan polisi. Sesaat kemudian
polisi, dibantu rekan-rekannya, memiting leher pria itu hingga terjatuh di
trotoar. Pria bertubuh tinggi besar itu berupaya memberontak, tetapi tak
berdaya.
Badannya tertelungkup, kepalanya ditekan. Teriakannya, ”Saya tak bisa
bernapas, saya tak bisa bernapas”, yang terdengar dalam video, terlihat tak
digubris.
Penangkapan Eric Garner, pria kulit hitam itu, ditayangkan
berulang-ulang di televisi dan membangkitkan kemarahan masyarakat Amerika
Serikat. Puncaknya terjadi setelah juri utama pada 5 Desember menyatakan tak
ada tuduhan pembunuhan terhadap polisi yang menangkap Garner.
Sontak masyarakat menggelar protes. Awalnya protes terjadi di New York,
tempat Garner ditangkap gara-gara dituduh menjual rokok secara ilegal. Ribuan
warga membanjiri pusat kota New York dan menyampaikan kekecewaan pada
keputusan juri utama. Mereka berbaring di jalan-jalan utama, menjajarkan peti
mati, dan meneriakkan yel- yel menirukan ucapan Garner sebelum meninggal,
”Saya tak bisa bernapas, saya tak bisa bernapas.”
Aksi itu meluas ke kota-kota lain, seperti Washington, Chicago, dan
California. Sebagian mengambil cara damai. Namun, di tempat tertentu, seperti
Berkeley, terjadi unjuk rasa yang berujung kekerasan. Lebih dari 200 orang
ditahan.
Bagi AS, kerusuhan yang dipicu isu bernuansa rasial bukan barang baru.
Hanya beberapa pekan sebelumnya, kerusuhan dan penjarahan terjadi di
Ferguson, Missouri. Masyarakat yang marah merusak dan membakar toko setelah
menjarah isinya. Kerusuhan terjadi karena juri membebaskan polisi kulit putih
yang menembak Michael Brown (19) pada 9 Agustus lalu.
Prasangka masyarakat kian kuat karena insiden di New York dan Ferguson
ini bukan satu-dua kali terjadi. Di tengah hangatnya protes yang meluas atas
kematian Garner dan Brown, terjadi penembakan di Phoenix, Arizona, 5 Desember.
Lagi-lagi korbannya pria kulit hitam, Rumain Brisbon (34).
Polisi yang menggelar operasi narkoba mengaku mengira Brisbon membawa
senjata di sakunya. Padahal, pria ini tidak membawa senjata dan polisi hanya
menemukan pil dalam saku celana Brisbon.
”Ini tragedi tanpa perasaan. Dia (Brisbon) tak bersenjata dan tidak
mengancam siapa pun. Kami ingin penyelidikan hukum secara menyeluruh,” kata
pengacara keluarga korban.
Ketika isu ini masih hangat, tiba-tiba saja tanpa didahului peringatan,
Sabtu dini hari lalu, seorang pria kulit hitam dengan dingin menembak dua
polisi yang sedang berpatroli di Brooklyn, New York. Polisi menduga kuat
penembakan ini adalah balas dendam pelaku, Ismaaiyl Brinsley, atas kematian
Eric Garner dan warga kulit hitam lain di tangan polisi. Indikasi ini didapat
dari pernyataan pelaku dalam akun Instagram. ”Mereka mengambil dua dari
kita... mari kita ambil dua,” tulis Brinsley.
Isu
yang berulang
Jika dirunut ke belakang, terdapat banyak peristiwa yang menempatkan
warga kulit putih berhadapan dengan kulit hitam dan berbuntut kerusuhan. Pada
1996, misalnya, terjadi kerusuhan di Florida akibat juri menyatakan polisi
yang menembak Tyron Lewis dalam sebuah operasi lalu lintas tak bisa dituntut.
Kerusuhan dengan alasan serupa terjadi di Cincinnati, Ohio, April 2001.
Media Amerika memberikan porsi cukup banyak dan lama pada peristiwa
kematian warga kulit hitam oleh polisi kulit putih, berikut berbagai reaksi
yang mengikutinya. Perdebatan tentang perlakuan aparat kepada masyarakat minoritas,
khususnya warga kulit hitam, kembali ramai. Media sosial ikut berperan
mengangkat isu.
”Terjadi pertemuan antara media sosial dan kekejaman,” kata Sharon
Gordon, pengunjuk rasa di New York. ”Saya percaya untuk pertama kalinya kita
akan mengalami perubahan,” katanya.
Presiden AS Barack Obama mengatakan, apa pun aksi warga AS sesungguhnya
diperlukan, sepanjang hal itu dilakukan dengan damai. ”Kalau berubah menjadi
kerusuhan malah tidak produktif,” kata presiden pertama AS yang berkulit
hitam.
Menurut Obama, perubahan memerlukan waktu. Apa yang tengah dihadapi AS
adalah masalah penting. Dia menggarisbawahi tingginya kecurigaan warga
terhadap polisi kulit putih.
Obama, awal Desember, mengajukan anggaran 263 juta dollar AS khusus
untuk mencegah terulangnya penganiayaan oleh polisi. Sebagian anggaran
diusulkan untuk membeli 50.000 kamera kecil yang akan ditempelkan pada
seragam polisi yang bertugas. Sisanya diperuntukkan membentuk gugus tugas
yang akan menjembatani hubungan masyarakat umum dengan warga minoritas.
Jaksa Agung AS Eric Holder mengeluarkan ketentuan baru yang intinya
melarang pemeriksaan identitas berdasarkan ras, agama, jender, dan orientasi
seksual. Razia mendadak yang sering dilakukan, menurut Holder, tidak hanya
keliru, tetapi juga salah langkah dan tidak efektif. Ia berjanji akan
mengusut tuntas kematian Garner dan Brown.
Dari kepolisian, Kepala Polisi New York William Bratton menyatakan akan
memperbaiki institusi yang dipimpinnya. Polisi diminta tak melakukan
kekerasan saat menangkap tersangka. Bratton juga berjanji memperbaiki
hubungan yang terkoyak antara warga mayoritas dan minoritas yang miskin.
Publik kini menunggu hasilnya kendati mungkin dengan perasaan
berkecamuk curiga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar