Pemerintah
Tunggangi Kisruh Golkar
Bambang Soesatyo ; Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi
III DPR RI
|
KORAN
SINDO, 26 Desember 2014
Keputusan
Kementerian Hukum dan HAM mengakui dua formasi kepengurusan Partai Golkar
periode 2014-2019 sama sekali tidak masuk akal. Bukan hanya mengeskalasi
masalah, pemerintah juga jelas-jelas telah menunggangi kisruh internal Partai
Golkar dengan target utama memperlemah peran dan fungsi DPR yang didominasi
Koalisi Merah Putih (KMP).
Sikap
dan posisi yang dipilih pemerintah atas kisruh Partai Golkar bukan hanya
tidak masuk akal, tetapi juga tidak beretika. Dengan mengakui Munas Ancol,
pemerintah tidak mengakui dan tidak menghormati Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART) Partai Golkar yang menjadi pijakan bagi semua agenda
kepartaian. Terlihat jelas betapa pemerintah berperilaku tidak etis.
Dengan
mengakui Munas Ancol Jakarta, nafsu pemerintah menunggangi kisruh Partai
Golkar begitu nyata. Dengan model keputusan seperti itu, pemerintah bahkan
telah melakukan intervensi terbuka terhadap Partai Golkar. Dengan mengakui
kepengurusan ganda di tubuh Partai Golkar, pemerintah telah menggunakan
wewenangnya untuk mengadu domba faksi-faksi di tubuh partai agar kisruh
semakin berlarut-larut.
Sejak
awal pemerintah memang sudah berniat untuk tidak bersikap bijaksana dalam
merespons persoalan Partai Golkar. Karena itu, sikap dan posisi yang diambil
pemerintah pun lebih dilandasi kalkulasi politik, bukan aspek legal
berdasarkan konstitusi Partai Golkar. Kalkulasi politiknya, bagaimana
memperlemah peran dan fungsi KMP di DPR. Inilah yang menjadi tujuan akhir
pemerintah.
Dengan
membiarkan kisruh Partai Golkar berlarut-larut, pesan yang ingin disampaikan
adalah ketidak percayaan pemerintah terhadap KMP di DPR. Pemerintah menolak
memosisikan KMP sebagai mitra kritis. Lebih ekstrem lagi, pemerintah tidak
punya kemauan politik sedikit pun untuk percaya kepada KMP sebagai mitra
kritis.
Rupanya,
rivalitas pemilihan presiden (pilpres) Jokowi-JK versus Prabowo-Hatta belum
berhenti. Memang, dalam banyak kesempatan, Presiden berulang menegaskan
pilpres sudah selesai. Sayangnya, rivalitas pilpres itu justru dilanjutkan
dan terus diaktualisasikan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Memberi
pengakuan atas kepengurusan ganda Partai Golkar adalah cerminan dari
kelanjutan rivalitas itu. Dari disharmoni di tubuh Golkar, pemerintah
berharap KMP tidak efektif sebagai mitra kritis. Bahkan sudah muncul dorongan
untuk membubarkan KMP. Semangat membubarkan KMP sudah terang-terangan
dinyatakan oleh kelompok yang diduga menjadi agen atau tunggangan pemerintah.
Artinya, pemerintahan Presiden Jokowi sejatinya tetap berambisi mengontrol
dan mengendalikan DPR. Dengan begitu, publik bisa memahami bahwa Presiden
menolak kesetaraan eksekutif-legislatif. Kini bahkan terlihat bahwa
pemerintah justru proaktif mencegah kesetaraan itu.
Bagaimana strateginya? Karena Partai Golkar berperan dominan dalam
menentukan arah KMP, pemerintah harus mencari cara agar disharmoni di tubuh
Partai Golkar makin berlarut-larut. Diakuilah kepengurusan ganda di Partai
Golkar melalui keputusan yang tidak etis itu.
Minus
Kompetensi
Sekali lagi, Munas IX Partai Golkar di Bali sah secara hukum. Munas itu
dilaksanakan sesuai AD/ART Partai Golkar dan Undang-Undang No 2/2011 tentang
Partai Politik. Karena itu, munas yang sah itu tidak patut untuk dipadankan
dengan forum lain yang mengatasnamakan Partai Golkar.
Dasar hukum bagi Kementerian Hukum dan HAM mengesahkan formasi
kepengurusan Partai Golkar produk Munas IX di Bali tentu tak perlu
dipersoalkan lagi. Sebaliknya, perlu dipertanyakan kepada Menteri Hukum dan
HAM tentang dasar hukum apa yang digunakan untuk mengesahkan sekelompok orang
yang mengklaim juga sebagai pengurus Golkar, padahal mereka nyata-nyata
menyalahgunakan identitas Partai Golkar.
Ketika mengesahkan kelompok ini sebagai pengurus Partai Golkar,
argumentasi Menteri Hukum dan HAM terdengar dangkal alias asal-asalan. Apakah
para pengurus yang menyalahgunakan identitas Partai Golkar itu datang dari
langit atau lahir dari sebuah forum yang tidak diatur dalam AD/ART Partai
Golkar?
Kalau pengurus partai lahir dari forum yang tidak diatur oleh AD/ ART
partai diakui keabsahannya, pemerintah bukan hanya tidak etis, melainkan juga
punya motif yang tidak terpuji. Kalau nanti motif tak terpuji itu terbukti,
menkumham patut didakwa menyalahgunakan kekuasaan.
Forum Partai Golkar itu tidak layak disebut munas. Karena itu, forum
itu tidak punya kompetensi untuk melahirkan atau membentuk DPP Partai Golkar.
Penyelenggaraan forum yang kemudian disebut Munas Ancol Jakarta itu tidak
mengikuti mekanisme yang telah diatur AD/ART Partai Golkar. Forum itu
terselenggara karena kehendak segelintir orang yang tergabung dalam Presidium
Penyelamat Partai, bukan kehendak atau rekomendasi DPD maupun DPD I Partai
Golkar se-Indonesia.
Dengan begitu, menjadi sangat aneh jika Kementerian Hukum dan HAM masih
berani mengakui produk dari forum tersebut. Bandingkan dengan proses
persiapan dan penyelenggaraan Munas IX Partai Golkar di Bali. Munas Bali
terselenggara karena kehendak DPD dan DPD I Partai Golkar se-Indonesia, yang
kemudian ditetapkan pada forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) VII di
Yogyakarta.
Bagaimana strateginya? Karena
Partai Golkar berperan dominan dalam menentukan arah KMP, pemerintah harus
mencari cara agar disharmoni di tubuh Partai Golkar makin berlarut-larut. Diakuilah
kepengurusan ganda di Partai Golkar melalui keputusan yang tidak etis itu.
Minus
Kompetensi
Sekali lagi, Munas IX Partai Golkar di Bali sah secara hukum. Munas itu
dilaksanakan sesuai AD/ART Partai Golkar dan Undang-Undang No 2/2011 tentang
Partai Politik. Karena itu, munas yang sah itu tidak patut untuk dipadankan
dengan forum lain yang mengatasnamakan Partai Golkar.
Dasar hukum bagi Kementerian Hukum dan HAM mengesahkan formasi
kepengurusan Partai Golkar produk Munas IX di Bali tentu tak perlu
dipersoalkan lagi. Sebaliknya, perlu dipertanyakan kepada Menteri Hukum dan
HAM tentang dasar hukum apa yang digunakan untuk mengesahkan sekelompok orang
yang mengklaim juga sebagai pengurus Golkar, padahal mereka nyata-nyata
menyalahgunakan identitas Partai Golkar.
Ketika mengesahkan kelompok ini sebagai pengurus Partai Golkar,
argumentasi Menteri Hukum dan HAM terdengar dangkal alias asal-asalan. Apakah
para pengurus yang menyalahgunakan identitas Partai Golkar itu datang dari
langit atau lahir dari sebuah forum yang tidak diatur dalam AD/ART Partai
Golkar?
Kalau pengurus partai lahir dari forum yang tidak diatur oleh AD/ ART
partai diakui keabsahannya, pemerintah bukan hanya tidak etis, melainkan juga
punya motif yang tidak terpuji. Kalau nanti motif tak terpuji itu terbukti,
menkumham patut didakwa menyalahgunakan kekuasaan.
Forum Partai Golkar itu tidak layak disebut munas. Karena itu, forum
itu tidak punya kompetensi untuk melahirkan atau membentuk DPP Partai Golkar.
Penyelenggaraan forum yang kemudian disebut Munas Ancol Jakarta itu tidak
mengikuti mekanisme yang telah diatur AD/ART Partai Golkar. Forum itu
terselenggara karena kehendak segelintir orang yang tergabung dalam Presidium
Penyelamat Partai, bukan kehendak atau rekomendasi DPD maupun DPD I Partai
Golkar se-Indonesia.
Dengan begitu, menjadi sangat aneh jika Kementerian Hukum dan HAM masih
berani mengakui produk dari forum tersebut. Bandingkan dengan proses
persiapan dan penyelenggaraan Munas IX Partai Golkar di Bali. Munas Bali terselenggara
karena kehendak DPD dan DPD I Partai Golkar se-Indonesia, yang kemudian
ditetapkan pada forum Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) VII di Yogyakarta.
Semua tahapan dan prosesnya transparan serta legal seturut AD/ART
Partai Golkar. Munas IX Partai Golkar 2014 di Bali pun berjalan lancar dan
sudah menetapkan program kerja serta formasi kepengurusan. Aspirasi semua DPD
I dan DPD II terakomodasi. Tidak ada penolakan atau keberatan atas formasi
kepengurusan yang dibentuk dari forum Munas IX di Bali.
Sejatinya, Partai Golkar tidak pernah pecah, apalagi ada kepengurusan
ganda. Maka itu, sangat jelas bahwa dengan mengakui kepengurusan ganda di
Partai Golkar, pemerintah tidak mau bersikap jernih dalam memahami persoalan
Partai Golkar. Karena tidak jernih, seorang ahli hukum mencibir pemerintah
yang bermain api dalam kasus ini.
Sudah terbukti bahwa pemerintah sedang dan terus berupaya menggerogoti
soliditas KMP. Perilaku tidak etis itu terlihat dari perlakuan terhadap
Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ternyata, pemerintahan
Jokowi belum siap menghadapi kesetaraan eksekutif-legislatif.
Modus menghancurkan lawan seperti yang dilakukan pemerintah secara
terang-terangan dan tanpa rasa malu terhadap Partai Golkar dan PPP secara
sistematis itu telah menjadi preseden buruk bagi demokrasi di Indonesia.
Sikap tidak ksatria tersebut berpotensi melahirkan dendam politik di kemudian
hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar