CATATAN DARI ISTANA
Saat Mengejar
Tanggungjawab Rakyat
Wahyu Haryo dan Suhartono ; Wartawan
Kompas
KOMPAS, 29 Desember 2014
TIDAK mudah jalan yang ditempuh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla memimpin negeri ini. Tak hanya saat bertarung dalam pemilu
presiden dan wapres, tetapi juga setelah diumumkan sebagai pemenang oleh
Komisi Pemilihan Umum. Jokowi-Kalla yang disokong kekuatan rakyat dengan
atribut relawan harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi untuk memperkuat
kemenangan itu.
Meskipun sudah dilantik MPR, Jokowi-Kalla masih harus melalui jalan
berliku. Mengantongi 53,15 persen suara atau 70,9 juta suara pemilih dari
total 134,9 juta suara tak cukup bagi pemerintahan Jokowi-Kalla melenggang.
Berbagai rintangan terus menghadang, mulai dari partai-partai oposisi dari
Koalisi Merah Putih yang mendominasi parlemen hingga posisi Jokowi-Kalla yang
bukan elite partai di Koalisi Indonesia Hebat.
Meski demikian, saat harus memilih 43 menteri kabinet, Jokowi-Kalla
juga tak harus meninggalkan dukungan rakyat. Di balik keharusan mengakomodasi
kepentingan partai, kelompok pendukung, dan relawan di belakangnya,
Jokowi-Kalla cukup cerdik. Sejumlah kelompok dilibatkan untuk menjaring awal
nama calon menteri terbaik, punya integritas dan komitmen kerakyatan. Dari
jumlah ribuan orang, selanjutnya terseleksi ratusan dan akhirnya menyusut
tinggal puluhan orang.
Jokowi-Kalla juga mensyaratkan menteri tak lagi merangkap jabatan struktural
partai dan institusi. Bahkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dilibatkan agar tak ada
sosok yang terlibat dan terindikasi korupsi dan pelanggaran HAM. Akibatnya,
calon menteri yang ditopang elite partai tergusur. Namun, sejauh mana hasil
KPK dan PPATK benar-benar menyaring sosok menteri, tak ada yang tahu,
termasuk Kalla.
”Sampai sekarang, saya tidak tahu hasil KPK dan PPATK seperti apa.
Biarlah, itu, kan, hak prerogatif Presiden. Namun, yang kami sepakati, calon
itu harus bersih dan punya integritas, selain mewakili daerah, jender, dan
agama,” kata Kalla setelah terbentuknya kabinet. Jokowi pun hingga kini
seperti tak mau menanggapi.
Yang jelas, Jokowi menjadikan ”tameng” KPK dan PPATK dari parpol dan
kepentingan lain, termasuk Kalla. Sebab, calon-calon kuat Kalla pun tergusur,
seperti Hamid Awaluddin. Dengan dasar klarifikasi KPK dan PPATK, Jokowi
memilih Kabinet Kerja yang dianggap bersih dan berintegritas. Harapan yang
demikian besar dari rakyat terhadap kabinetnya menjadi taruhan Jokowi
mempertanggungjawabkan dukungan rakyat. Partisipasi masyarakat saat
penjaringan awal jadi sebuah dukungan dan kepercayaan yang diyakini tak akan
bisa dibendung saat memimpin.
Setelah terpilih, beberapa sosok dinilai kurang tepat di bidangnya,
berbau kepentingan politik, bahkan dituding bermasalah. Jokowi-Kalla tak
menggubrisnya meski dikritik. Kritik itu dianggap angin lalu karena keyakinan
mereka pada partisipasi dan dukungan rakyat.
Butuh
waktu
Kini, Kabinet Kerja sudah diumumkan. Slogan kerja, kerja, dan kerja
dicanangkan. Baju putih yang digulung sudah dipakai. Pakaian batik yang
identik dengan kesederhanaan juga sudah dibiasakan untuk acara formal
kenegaraan, termasuk ke luar negeri, kecuali ke negeri yang dilanda dingin,
seperti Korea Selatan. Efektivitas dan efisiensi birokrasi serta penghematan
anggaran dijalankan. Namun, bukti harus diwujudkan dan bukan hanya instruksi.
Blusukan ke sejumlah pelosok daerah yang tercatat lebih dari 15 kali
sejak dua bulan memimpin terus menjadi pertanyaan. Apakah itu memberikan
hasil ataukah sekadar pencitraan. Rakyat bisa menerima Kartu Indonesia Pintar
dan Indonesia Sehat, ditambah Program Sosial Keluarga Sejahtera yang mau tak
mau serupa dengan program pemerintah sebelumnya, hanya beda jumlah dan
cakupannya.
Perbaikan postur APBN akibat membengkaknya subsidi dengan mengalihkan
subsidi sektor konsumtif ke produktif sudah mulai diterima meski awalnya
berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok dan transportasi yang membuat
Jokowi-Kalla tak populer. Akan tetapi, karena keberanian Jokowi, yang
didampingi Kalla dan menterinya, mengumumkan langsung di Istana Merdeka,
akhirnya rakyat bisa menerima. Rakyat paham, dana hasil pengalihan memberi
ruang fiskal yang ujung-ujungnya benar-benar untuk kesejahteraan rakyat lewat
kesehatan, pendidikan, pembangunan infrastruktur, dan program sosial.
Apalagi saat penegakan hukum di laut dan pengamanan sumber daya,
pemerintah lugas mengejar, menangkap, dan menenggelamkan kapal-kapal pencuri
ikan asing sehingga ada harapan baru dari nelayan untuk masa depannya.
Harapan nelayan juga membubung tak hanya saat Satuan Tugas Pemberantasan Illegal Fishing dibentuk, tetapi juga
ketika Badan Keamanan Laut diwujudkan.
Di sektor pertanian, petani juga memiliki harapan besar karena selain
infrastruktur irigasi rusak bertahap diperbaiki, distribusi pupuk dan
pengadaan benih dibenahi, tenaga penyuluh pun ditambah. Demikian pula di
sektor energi serta minyak dan gas ketika Tim Reformasi Tata Kelola Migas
mulai membongkar permainan dan mafia impor minyak seraya memberi alternatif
bahan bakar minyak yang tak mesti harus disubsidi.
Untuk mengimbangi pembebasan bersyarat Pollycarpus Budihari Priyanto
yang kontroversial karena terkait tewasnya aktivis HAM Munir, Jokowi-Kalla
menolak grasi terpidana mati narkoba dan memberi grasi aktivis agraria Eva
Bande.
Optimisme Jokowi terlihat saat peringatan Hari Anti Korupsi
Internasional di Yogyakarta, belum lama ini. ”Yang dikejar saat ini kepercayaan rakyat. Pemerintah harus
memberikan kebijakan terbaiknya. Membangun kepercayaan perlu waktu. Namun,
kalau (kepercayaan rakyat) itu dikejar, kemakmuran dan kesejahteraan bisa
segera diraih,” tuturnya. Terwujudkah? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar