Belokan
Pluralisme Gus Dur
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 27 Desember 2014
Tiga
hari lagi, genap lima tahun kita ditinggalkan oleh Presiden Republik
Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang wafat pada 30
Desember 2009.
Di
Indonesia, kalau orang berbicara Gus Dur, tak bisa dilepaskan dari gerakan
pluralisme sebagai bagian penting dari paham kebangsaan kita. Tak kurang dari
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mengatakan bahwa Gus Dur adalah Bapak
Pluralisme Indonesia, seperti yang diucapkan pada sambutan resminya saat
pemakaman Gus Dur di kompleks Ponpes Tebuireng, Jombang.
Gus Dur
memang gigih memperjuangkan pluralisme untuk merawat Indonesia. Bagi Gus Dur,
pluralisme adalah fakta dan keharusan karena perbedaan primordial
antarmanusia ke dalam berbagai agama, ras, suku, daerah, bahasa takmungkin
dihindari. Orang yang beriman pasti yakin bahwa Tuhan sendirilah yang
menciptakan perbedaan itu.
Maka itu
kita harus mau hidup di dalam perbedaan primordial, tetapi bersatu dalam
kesamaan tujuan berbangsa dan bernegara. Konsekuensinya, bangsa ini harus
menerima Pancasila sebagai dasar negara untuk kemudian perbedaan-perbedaan
yang niscaya ada di dalam masyarakat yang plural harus diatur dengan prinsip
dan sistem demokrasi.
Di dalam
demokrasi harus ada persamaan dan kebebasan tetapi harus dikawal dengan
tegaknya hukum. Itulah sebabnya pluralisme tidakdapatdipisahkandari
kedaulatan rakyat (demokrasi), kedaulatan hukum (nomokrasi) dan ketaatan pada
konstitusi sebagai dasardasar pengaturan berdemokrasi dan bernomokrasi.
Bagi Gus
Dur, mengonsepkan pluralisme tak perlu rumit-rumit, apalagi sampai menggeser
debat konsep ke debat kusir. Kata Gus Dur, bayangkan saja kita hidup di
sebuah rumah besar yang banyak kamarnya dan kita mempunyai kamar
sendiri-sendiri.
Saat di
dalam kamar maka masing-masing pemilik kamar bisa menggunakan dan merawat
kamarnya sendiri-sendiri serta boleh berbuat apa pun di dalamnya, tetapi
ketika ada di ruang keluarga atau di ruang tamu maka kepentingan
masing-masing kamar dilebur untuk kepentingan rumah bersama.
Penghuni rumah, tanpa mempersoalkan asal kamar masing-masing, harus
bersatu merawat rumah itu dan mempertahankannya secara bersama-sama dari
serangan yang datang dari luar. Begitulah gambaran pluralisme. Kita mempunyai
rumah besar NKRI yang sudah dibangun dengan fondasi kokoh Pancasila dan yang
terdiri dari kamar-kamar primordial.
Kita harus
bersatu menjaga rumah NKRI ini tanpa kehilangan identitas primordial
masing-masing. Tentu saja sangat banyak pejuang pluralisme lainnya di
Indonesia, tetapi Gus Durlah yang paling efektif memperjuangkannya sebab dia
mempunyai puluhan juta umat NU yang tawadu
terhadapnya. Terlebih lagi keulamaan dan intelektualitas Gus Dur sangat
mumpuni.
Mengapa dan
sejak kapan Gus Dur meyakini dan kemudian memperjuangkan pluralisme?
Pertanyaan ini penting karena kalau mau jujur sebenarnya pada awalnya NU
maupun Gus Dur berada dijalur perjuangan Islam eksklusif. Pada tahun 1945 di
Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tokoh
NU Wachid Hasyim berada di barisan kelompok pejuang dasar negara Islam
bersama Agus Salim, Ki Bagoes Hadikusumo, dan tokoh-tokoh lain yang kemudian
ikut aktif menyusun Piagam Jakarta.
Wachid Hasyim
pun membantah ketika Hatta menyatakan bahwa perubahan Piagam Jakarta menjadi
Pembukaan UUD 1945 sudah di-mintakan persetujuan terhadap empat tokoh Islam,
termasuk dirinya. Dalam perjuangan di Konstituante, NU berada dalam satu
barisan dengan Masyumi memperjuangkan dasar Islam bagi Indonesia.
BPUPKI dan
Konstituante memang forum resmi untuk memperjuangkan dasar negara secara sah,
sehingga pilihan politik NU pun saat itu adalah sah. Gus Dur sendiri saat
mudanya adalah pengikut paham al-Ikhwan al-Muslimun satu gerakan politik
Islam yang sangat radikal di bawah pimpinan Hasan al Banna.
Menurut
Syafii Anwar pada 1963 Gus Dur sempat membuka cabang al- Ikhwan al-Muslimun
sendiri di Jombang tetapi Greg Barton mengatakan, Gus Dur belum sempat mendirikan
cabang Ikhwan meskipun memang penganut politik gerakan tersebut. Keduanya
mengonfirmasi bahwa Gus Dur adalah penganut Ikhwan.
Yang kita
tahu, sepulang dari studinya di Mesir dan Irak, Gus Dur tampil sebagai
penganut inklusivisme Islam serta pejuang pluralisme yang paling berpengaruh
di Indonesia. Bahkan ketika masih banyak kaum muslimin menolak asas tunggal
Pancasila, pada tahun 1984, Gus Dur berduet dengan K. Achmad Sidiq menyatakan
bahwa NU menerima Pancasila sebagai asas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tak banyak yang tahu, bagaimana dan kapan belokan dari eksklusivisme ke
pluralisme itu terjadi.
Saya sendiri
hanya pernah mendengar cerita kecil. Pada suatu hari di tahun 1970-an Gus Dur
mampir ke perpustakaan di Kota Fes, Maroko. Setelah hampir seharian membaca
sebuah buku Gus Dur menangis tersedu-sedu sampai menarik perhatian petugas
perpustakaan yang kemudian menanyakan kalaukalau dirinya sakit dan perlu
bantuan.
Gus Dur
bercerita bahwa di perpustakaan itu dia membaca karya filosof Yunani Aristoteles,
“Etika Nikomakean”. Dari buku itu dirinya menemukan filsafat yang sangat
tinggi tentang manusia, masyarakat, dan negara yang dasar-dasarnya juga ada
di dalam Quran dan Sunah Nabi.
Di dalamnya ada penjelasan tentang
asal-muasal (di dalam Islam disebut fitrah) manusia, adanya perbedaan-perbedaan,
dan tuntutan etik yang harus dilaksanakan oleh manusia. Tentu saja, kisah
buku Ethika Nomkeia di Fes itu
hanya setetes peristiwa yang ikut membangun falsafah pluralisme Gus Dur.
Secara akademis, kita masih ingin tahu lebih rinci tentang kapan dan
bagaimana belokan ke pluralisme itu terjadi. Kami selalu berdoa untukmu, Gus.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar